Uji Coba Nuklir di Kawasan Pasifik Selatan dan Usaha Pembentukan South Pacific Nuclear Free Zone (SPNFZ)

Layli Ramadani - 1910852007
Mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas, Padang Lailiramadhani1612@gmail.com
Abstrak
Penggunaan senjata nuklir masih menjadi senjata yang ditakuti oleh negara-negara di dunia. Dalam pembahasan hubungan internasional, nuklir menjadi hal dan isu yang concern dan menarik untuk dibahas. Efek radiasi dari bahan radioaktif yang di hasilkan ledakan nuklir membuat banyak masyarakat dunia mengecam dan melarang penggunaannya. Efek dan dampak seperti kerusakan parah pada bangunan, banyaknya korban berjatuhan, mulai munculnya wabah, penyakit kelainan pada bayi, tumor, polusi udara, dan efek lainnya yang tidak akan hilang dalam jangka waktu pendek. Serangkaian uji coba nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris dan Prancis dikawasan Pasifik Selatan memberikan efek radiasi dan radioaktif yang merugikan masyarakat. Terbentuknya Rarotonga Treaty sebagai pencapaian terbesar masyarakat Pasifik Selatan dalam mewujudkan kawasan South Pacific Nuclear Free Zone (SPNFZ) dan menjadikan kawasan ini lebih aman dari ancaman dampak uji coba senjata nuklir.
Kata Kunci : Uji coba nuklir, Pasifik Selatan, Rarotonga Treaty, South Pacific Nuclear Free Zone (SPNFZ)
Pendahuluan
Nuklir merupakan salah satu senjata pemusnah masal (weapon mass destruction) yang pertama kali di gunakan dan diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada akhir perang dunia kedua. Amerika Serikat pada saat itu termasuk ke dalam blok sekutu menjatuhkan nuklir berupa bom atom ke Jepang, tepatnya di dua kota besar yaitu Hiroshima dan Nagasaki dengan tujuan untuk menaklukan dan membuat Jepang menyerah dengan Amerika Serikat pada Agustus 1945 (Emilia 2016, 19). Kerusakan yang dahsyat menjadikan kedua kota ini termasuk Jepang secara keselutuhan menjadi lumpuh total dan Jepang mundur dari perang dunia kedua. Oleh karena kerusakan, efek radioaktif, masalah kesehatan seperti kanker dan wabah, hingga polusi yang tidak akan hilang dalam jangka waktu yang singkat, menjadikan senjata nuklir di banned/dilarang penggunaannya (Roberta 2011, 1-2).
Meskipun penggunaan senjata nuklir telah di larang, namun berbagai macam uji coba pasca perang dunia kedua masih gentar dilakukan baik oleh Amerika Serikat, Inggris dan Prancis terutama di wilayah Pasifik Selatan. Berdalih melakukan uji coba untuk mengamankan dan menjamin kedamaian di dunia tidak membuat masyarakat Pasifik Selatan merasa tenang. Berbagai uji coba yang dilakukan memberikan dampak buruk terhadap masyarakat yang berada di wilayah ini. Terlebih efek yang ditimbulkan sangat besar kerusakannya baik kesehatan, property, hingga lingkungan. Oleh karena itu, masyarakat berusaha semaksimal mungkin menghalau pihak-pihak yang berusaha untuk melakukan uji coba nuklir di kawasan ini. Integrasi negara kawasan sanagat dibutuhkan demi terciptanya South Pacific Nuclear Free Zone (SPNFZ). Zona bebas nuklir ini di capai melalui perjanjian bersama yaitu Rarotonga Treaty yang berisikan larangan kepemilikan, penggunaan dan uji coba nuklir di kawasan Pasifik Selatan. Tulisan ini akan menjelaskan rangkaian uji coba nuklir di Pasifik Selatan dan upaya masyarakat untuk menghentikan uji coba ini.
Uji Coba Nuklir di Dunia
Amerika Serikat sering melakukan uji coba pasca perang dingin dengan tujuan untuk memperhatikan dan mempelajari bagaimana plutonium bereaksi di bawah tekanan yang kemudian menghasilkan letusan. Selain itu, uji coba nuklir dilakukan untuk memperkuat keamanan negaranya. Banyak pihak yang telah menegur keras perbuatan Amerika ini karena terakhir uji coba dilakukan pada tahun 2006 membuat masyarakat dunia merasa tidak aman. Namun Amerika Serikat berdalih bahwa perbuatannya dalam melakukan uji coba senjata nuklir ini tidak melanggar Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) karena uji coba dilakukanhanya dalam skala kecil dan tidak menghasilkan efek radioaktif yang membahayakan sekitar (Emilia 2016, 20).
Selain Amerika Serikat, Inggris dan Perancis sebagai negara yang telah menandatangani dan meratifikasi CTBT juga tak kunjung menghentikan uji coba nuklirnya terutama di wilayah Nevada Test Side. Sebelum menandatangani CTBT di tahun 1998, Prancis telah melakukan berbagai uji coba nuklir di kawasan Pasifik Selatan tepatnya di Mururua Atoll pada tahun 1995. Prancis melakukan uji coba nuklir ini dengan tujuan untuk melihat bagaimana hulu ledak nuklir bekerja, menguji hulu ledak yang baru, hingga melihat dan memperlajari sistem komputer untuk menjadikan uji coba nuklir lebih aman dan terkendali kedepannya. Namun tetap saja banyak negara dan pihak yang mengkritisi perilaku Prancis ini, hingga Prancis menghentikan uji coba nuklirnya di tahun 1996 (Emilia 2016, 20).
Uji coba nuklir lainnya juga dilakukan oleh Russia di Novaya Zembla, Artic mulai tahun 1996 hingga 1999. Namun uji coba yang dilakukan Rusia ini tidak begitu besar intenseitasnya, akan tetapi ujia coba nuklir pastilah tetap di kecam oleh masyarakat global. Di tahun 2000 Rusia akhirnya menandatangani CTBT sebagai upaya agar Rusia tidak mengambil tindakan yang lebih jauh lagi (Emilia 2016, 20). China, India dan Pakista juga termasuk negara yang melakukan uji coba nuklir untuk menunjukkan bahwa negara mereka pantas untuk disegani, ditakuti, dan upaya memperlihatkan kekuatannya. China di tahun 2000 sudah memberikan tanda-tanda untuk menandatangani CTBT, namun hingga tahun 2006 belum ada kabar bahwa China meratifikasinya. Untuk India dan Pakistan, Amerika Serikat memberikan sanksi dalam hal ekonomi untuk menghentikan kedua negara melakukan uji coba. Pakistan bersikeras tidak akan menandatangai dan meratifikasi CTBT sebelum sanksi ekonomi atas negaranya di cabut. Sama halnya dengan China, hingga bulan April 2006 Pakistan belum ada kabar kepastian terkait penandatanganan CTBT (Emilia 2016, 20-22).
Keadaan Wilayah Pasifik Selatan
Kawasan Pasifik Selatan dihuni oleh negara-negara kepulauan kecil kecuali Australia dan Selandia baru yang memiliki pulau yang lumayan luas, dengan berbagai macam kekayaan sumber daya alam dan baharinya. Meskipun kawasan Pasifik Selatan kaya akan hasil sumber daya alam dan baharinya dan menjadikan hal tersebut sebagai perekonomian utama masyarakat, namun masih ada permasalahan lainnya seperti keadaan politik dan sosial yang masih belum stabil. Selain itu dikarenakan wilayah ini terdiri dari kepulauan kecil, membuat populasi penduduk yang tidak begitu banyak dan kurang berkembang (Hardi 2019). Sehingga hal ini membuat kawasan Pasifik Selatan tidak begitu banyak di bahas dan diperbincangkan dalam urusan Internasional. Beberapa negara dan daerah yang berada di Pasifik Selatan di bagi mejadi tiga kepulauan dimana masing-masing kepulauan terdiri dari negara-negara yang saling berdekatan yaitu Mikronesia, Melanesia, dan Kepulauan Polinesia. Kepulauan Mikronesia terdiri dari wilayah Mariana, Ponape, Kepualauan Marshall, Guam, Bikini, Majuro, Mariana, Peleliu, Angaur, Palau, dan banyak wilayah lainnya, sedangkan Kepualauan Melanesia terdiri atas wilayah Salomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, Fiji, dan Papua Nugini, dan Kepulauan Polinesia terdiri dari wilayah Tonga, Samoa Barat, Nauru, Kiribati, Tuvalu, Wallis, Amerika, Pitcairn, Australia, Selandia Baru, Polenesia Prancis, Samoa, Kepulauan Paskah, dan beberapa wilayah lainnya (Hardi 2019).
Negara-negara di kawasan Pasifik Selatan tergabung ke dalam suatu organisasi bersama yaitu Forum Pasifik Selatan, namun sekarang telah berganti nama dan dikenal sebagai Pacific Island Forum (PIF) (Hardi 2019). Di dalam forum ini nantinya para pemimpin negara akan membawa masalah negaranya masing-masing untuk di bahas dan dicarikan solusi dan jalan keluarnya bersama-sama. Permasalahan yang biasanya di alami oleh negara di kawasan ini bukanlah masalah yang bersifat tradisional seperti keamanan dan militer. Namun lebih banyak masalah dan isu terkait non-militer, seperti permasalahan penangkapan ikan ilegal, konflik internal, perdagangan manusia, masalah lingkungan seperti perubahan iklim, penanggulangan bencana, hingga permasalahan sosial dan perekonomian negara (Hardi 2019). Kenapa demikian, karena keadaan geografis kawasan Pasifik Selatan yang jauh dari negara-negara besar di sekitarnya membuat mereka hanya berinteraksi dengan negara-negara tetangga yang mayoritas adalah negara kepulauan di Pasifik Selatan itu sendiri.
Permasalahan internal di Kawasan Pasifik Selatan ini sendiri seperti konflik internal terjadi karena perebutan sumber daya alam sehingga membuat mereka saling memusuhi dan bersitegang satu sama lain. Konflik menjadi lebih besar dan berkepanjangan di akibatkan oleh pendudukan Bangsa Eropa pada saat itu. Bangsa Eropa melihat bahwa ada kekayaan sumber daya alam di Kawasan Pasifik Selatan dan mereka juga berusaha untuk menguasainya. Bangsa Eropa menjadikan konflik internal sebagai konflik adu domba karena dengan hal tersebut mereka akan mudah untuk mencapai tujuan dan kepentingannya. Wilayah Suku Maori di New Zealand, Suku Kanak di Celadonia, dan wilayah Fiji hampir keseluruhan di ambil alih oleh Eropa seperti Prancis dan Inggris saat itu (Naser 2020). Sedangkan permasalahan lainnya di Kawasan Pasifik Selatan ialah ancaman yang ditimbulkan dari uji coba nuklir yang dilakukan beberapa negara yang memberikan rasa tidak aman dan ketakutan pada masyarakat.
Uji Coba Nuklir di Kawasan ini
Kawasan Pasifik Selatan merupakan kawasan yang terdiri atas negara dengan pulau-pulau kecil yang mengelilinginya. Dengan keadaan kawasan yang jauh berada di tengah samudera dan jumlah penduduk yang minim membuat negara seperti Amerika Serikat, Inggris hingga Perancis melakukan uji coba nulir di kawasan ini. Mereka berfikiran bahwa dengan melakukan uji coba nuklir di kawasan ini, tidak akan menimbulkan dampak yang besar karena wilayah yang jauh terisolasi dari daratan yang besar. Namun tidak demikian, meskipun hanya pulau-pulau kecil, masih banyak masyarakat yang tinggal dan menetap di sana, dan pengaplikasian hak asasi manusia untuk dapat hidup tanpa adanya ancaman masih berlaku dimanapun manusia berada.
Salah satu kawasan yang dijadikan sebagai pacific proving ground, atau dapat kita sebut sebagai pusat militer yang dimiliki oleh Amerika Serikat, digunakan sebagai lahan uji coba nuklirnya semasa perang dingin yang berada di kepulauan Marshall (Republik Marshall Island) (Suaidah 2016, 546). Republik Marshall Island atau dapat kita singkat menjadi RMI di masa perang dunia kedua di pegang kendali di bawah kepemerintahan Jepang sesuai dengan keputusan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Namun otoritas administratif dan pemerintahan dialihkan ke Amerika Serikat karena kekalahan Jepang saat akhir perang dunia kedua karena bom nuklir yang diluncurkan Amerika Serikat ke wilayahnya. Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) nomor 21 tahun 1947, menyebutkan bahwa wilayah RMI dan wilayah kepulauan sekitar Mikronesia berada di bawah arahan dan perlindungan PBB dan Amerika Serikat sebagai perwakilannya untuk dapat membantu masyarakat dan wilayah agar tidak kembali direbut dan di serang selepas perang dunia kedua (Suaidah 2016, 546).
Meskipun perang dunia kedua sudah berakhir usai kekalahan Jepang, namun hal ini membuat Amerika Serikat merasa tidak begitu aman karena masih merasa terancam dengan kemenangan yang di dapatkannya. Terlebih masih ada negara great power lainnya yang mempunyai senjata nuklir ataupun militer yang masih kuat. Kembali lagi ke serangan bom nuklir ke wilayah Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki, hal ini membuat Amerika Serikat berfikir kembali dan merasa takjub melihat ledakan yang dihasilkannya mampu menghancurkan dua kota besar tersebut.
Menjadikan nuklir sebagai suatu senjata dan kekuatan yang mampu membuat Amerika Serikat menjadi negara yang besar dan hegemoni yang kuat, hal ini memberikan alasan bagi Amerika Serikat untuk melakukan uji coba terhadap kekuatan nuklir yang dimilikinya (Hardi 2019). Jika Amerika Serikat melakukan uji coba di wilayahnya sendiri, tentunya hal ini akan menjadi suatu percobaan bunuh diri, karena Amerika Serikat belum tahu seberapa besar nantinya ledakan yang dihasilkan, karena bisa saja menjadi ledakan yang besar atau ledakan yang kecil intensitasnya. Hal ini juga akan berimbas kepada masyarakat negaranya sendiri yang akan terkena dampak dari radioaktif ledakan nuklir dan juga akan melemahkan kekuatannya dihadapan negara lain. Oleh karena itu, Amerika Serikat butuh wilayah yang sedikit penduduknya dan jauh dari pemukiman untuk melakukan uji coba nuklir ini (Suaidah 2016, 546). Dengan adanya otoritas yang diberikan oleh PBB terhadap wilayah RMI dan Mikronesia untuk melindungi masyarakat, wilayah, dan sumber daya alamnya, namun Presiden Harry S Truman yang saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat malah mengarahkan Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat untuk membentuk pacific proving ground tadi sebagai wilayah uji coba senjata nuklirnya (Suaidah 2016, 547). Amerika Serikat berdalih dengan mengatakan kepada masyarakat RMI terutama yang berada di wilayah Bikini Atol, dan wilayah Enewetak bahwa kegiatan uji coba ini adalah untuk meningkatkan keamanan dan usaha untuk mencegah perang di masa depan (Suaidah 2016, 547).
Untuk kawasan RMI sendiri, Amerika Serikat telah melakukan puluhan kali uji coba nuklir, terhitung mencapai 67 kali dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1958. Di tahun 1946 pertama kali uji coba nuklir yang diberi nama crossroad operation. Dalam operasi pertama ini, Amerika Serikat menyebutnya sebagai uji coba terbuka dengan banyak pihak yang datang. Akibat dari uji coba ini ialah tenggelamnya 5 kapal, efek radioaktif yang tidak terlalu tinggi dan matinya beberapa hewan yang berada dekat dengan lokasi nuklir meledak (Suaidah 2016, 546). Serangkaian uji coba masih tetap dilakukan, seperti operasi BAKER yang menguji coba senjata nuklir bawah laut namun menyebabkan tsunami dengan intensitas sedang, operassi standstone pada April 1948, meledakkan termonuklir dengan intensitas 400 kali lebih kuat daripada bom di Hiroshima dan Nagasaki. Operasi ini memberikan dampak berupa efek radioaktif yang tinggi dan membentuk cekungan seperti kawah sedalam 1 km. Operasi dengan efek terbesar dan terparah yaitu operasi Castle Bravo di tahun 1954 dengan intensitas 1000 kali lebih besar dari bom di Hiroshima dan Nagasaki. Asap hasil dari ledakan yang dahsyat tersebut sampai ke wilayah pengungsian penduduk RMI dengan efek kesehatan parah seperti batuk, gangguan pernapasan, iritasi pada kulit, hingga pendarahan. US Atomic Energy Commission mengeluarkan pernyataan bahwa gejala yang dialami para pengungsi bukanlah akibat dari efek radiaktif uji coba nuklir Amerika Serikat, melainkan hanyalah sebagai gelaja biasa karena Amerika Serikat hanya menjalani uji coba seperti biasanya (Suaidah 2016, 547).
Amerika Serikat tidak jera dengan efek dan dampak yang sangat besar terhadap masyarakat terkait ledakan Castle Bravo, di tahun berikutnya Amerika Serikat tetap melakukan rangkaian uji coba nuklirnya di kawasan ini. Amerika Serikat mulai memberikan bantuan sosial berupa uang kompensasi kepada masyarakat (Suaidah 2016). Hal ini diakibatkan bahwa masyarakat RMI banyak mengalami kerugian, baik dalam hal kesehatan, makanan dan pangan, ataupun perasaan terancam akibat ledakan nulir dan efeknya yang terus menghantui mereka. Seberapa banyak pun bantuan yang diberikan baik itu dalam hal korban bencana ataupun kompensasi, hal ini tidak akan mengobati luka yang ada di hati masyarakat, karena untuk mengobati rasa takut, penderitaan dan rasa terancam akan membutuhkan waktu yang lama.
Akhirnya di tahun 1958 Amerika Serikat berhenti melakukan uji coba nuklirnya di kawasan ini karena banyaknya pihak yang menentang perilaku Amerika dan dampak yang diakibatkan dari radiasi nuklir. Amerika Serikat menandatangani perjanjian Nuclear Test Ban Treaty bersamaan dengan Uni Soviet di tahun 1963 (Suaidah 2016). Namun hal ini tidak mengurangi dampak yang diakibatkan oleh ledakan nuklir. Karena efek radioaktif yang di hasilkan dari ledakan nuklir ini akan memakan waktu yang lama untuk dapat hilang dari permukaan, Baik efek yang berada di udara, air, hingga kerusakan parah yang diakibatkannya. Kehidupan masyarakat juga terganggu karena air dan udara menjadi kebutuhan primer demi keberlangsungnya kehidupan.
Tidak hanya uji coba yang dilakukan Amerika Serikat, Inggris dan Prancis juga ikut berpartisipasi melakukan uji coba di kawasan Pasifik Selatan ini. Tercatat bahwa Prancis telah melakukan uji coba sebanyak 86 kali di mulai tahun 1966 sampai 1986, dan Inggris juga telah memulai uji coba nuklirnya di tahun 1957 di kawasan Pasifik Selatan (Hardi 2019). Kedua negara ini tidak mengindahkan dampak yang mungkin muncul karena radiasi bahan radioaktif yang dihasilkan oleh ledakan nuklir tersebut. Radiasi dan kerusakan yang dilakukan Amerika Serikat saja sudah separah itu apalagi di tambah dengan berbagai uji coba nuklir yang dilakukan oleh dua negara ini. Kawasan Pasifik Selatan kemudian berada dalam ancaman nuklir meskipun tidak ditujukan secara langsung, namun dampak yang ditimbulkan seperti polusi udara, tanah, air dan berbagai penyakit yang timbul merugikan dan memberikan penderitaan kepada masyarakat.
Pembentukan Zona Bebas Nuklir di Pasifik Selatan (South Pacific Nuclear Free Zone)
Zona bebas nuklir/ nuclear free zone muncul pertama kali di tahun 1957 yang di sebut sebagai Rapacky Plan, dimana Polandia mengajukan proposal kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjadikan Eropa Tengah sebagai zona yang bebas dari ancaman dan penggunaan senjata nuklir (Finaud 2014, 2). Negara-negara seperti Republik Federal Jerman, Polandia, Cekoslowakia, dan Republik Demokratik Jerman akan dilarang untuk menggunakan, menyimpan, dan membuat senjata nuklir (Finaud 2014, 2). Tujuan dari pembentukan zona bebas nuklir ini adalah untuk memastikan bahwa tidak ada negara yang berada dalam zona yang memiliki nuklir, memiliki keinginan untuk menyerang negara lain dengan nuklir, sehingga dapat dibentuk suatu zona yang aman dan jauh dari ancaman nuklir.
South Pacific Nuclear Free Zone (SPNFZ) atau zona bebas nuklir di wilayah Pasifik Selatan merupakan hasil dari respon dan kekhawatiran masyarakat setempat karena dampak yang sangat buruk terjadi di wilayahnya karena uji coba nuklir yang dilakukan oleh negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Zona bebas nuklir di Pasifik Selatan ini bukanlah awal dari pembentukan zona bebas nuklir yang ada di dunia. Di tahun 1959, kawasan Antartika membuat suatu perjanjian yang disebut Antartica Treaty yang melarang segala hal yang berurusan dengan nuklir baik itu hanya sekedar meletakkan atau menyimpan nuklir, meledakkan nuklir hingga pelarangan pembuangan limbah nuklir di kawasan Antartika. Namun pada Tlateloco Treaty di tahun 1976 berisi kesepakatan dengan tetap melarang penggunaan senjata nuklir yang memberikan ancaman kepada masyarakat, namun memberikan sedikit ruang dengan memperbolehkan penggunaan nuklir untuk tujuan mengamankan dunia, menciptakan suasana damai dan untuk tujuan melakukan penelitian (Rieman 2020, 215-216).
Untuk dapat menciptakan zona bebas nuklir tadi, langkah nyata yang harus dilakukan oleh negara kawasan tersebut adalah melakukan perjanjian regional. Perjanjian regional ini nantinya akan mengikat negara-negara di dalamnya untuk tidak memiliki dan menggunakan nuklir dan menghilangkan segala bentuk kepemilikan nuklir di kawasan termasuk negara luar. Terbentuknya Rarotonga Treaty merupakan langkah awal masyarakat di kawasan Pasifik Selatan untuk menciptakan South Pacific Nuclear Free Zone (SPNFZ). Rarotonga Treaty berisi perjanjian mengenai larangan dan penghapusan penggunaan dan uji coba nuklir di kawasan Pasifik Selatan, kepemilikan, penempatan, hingga larangan pembuangan limbah hasil nuklir yang berisi radioaktif (Rieman 2020, 217-218). Ditandatangani oleh sepuluh negara yang tergabung ke dalam Pacific Island Forum (PIF) diantaranya ada Kepulauan Cook, Fiji, Samoa Barat, Tuvalu, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Selandia Baru, Australia, dan Niue pada tanggal 6 Agustus 1985 di Kepulauan Cook (Hardi 2019).
Inisiatif untuk pembentukan SPNFZ dengan ditandatanganinya Rarotonga Treaty ini berasal dari kalangan masyarakat Pasifik Selatan sendiri seperti mahasiswa, serikat buruh, gereja dan para ilmuan yang paham dengan dampak yang mungkin terjadi dari uji coba ini. Juga terbentuk organisasi penentang seperti Against Testing On Moruroa (ATOM) yang dikelola oleh ilmuan biologi dari Universitas Pasifik Selatan yang fokus meneliti dan memperhatikan bagaimana dampak radiasi terhadap makhluk hidup (Weir 2012). Kelompok pergerakan yang melakukan penolakan lainnya seperti Gerakan Mahasiswa Kristen, Dewan Gereja Fiji, dan berbagai asosiasi mahasiswa yang ikut prihatin dengan uji coba ini. Pengaplikasian dari perjanjian ini tidak berjalan mulus, karena untuk mengusir kekuatan sebesar Amerika Serikat, Inggris dan Prancis tidaklah mudah. Selain karena Amerika Serikat tidak mau meratifikasi protokol karena jika uji coba nuklir di berhentikan, maka usaha Amerika Serikat untuk mempertahankan kekuatannya akan menjadi lemah. Begitu juga dengan Inggris dan Prancis yang menolak ratifikasi protokol larangan uji coba nuklir di kawasan ini (Rieman 2020, 220-222). Hambatan juga datang dari dalam kawasan sendiri, dimana Vanuatu memutuskan untuk tidak menandatangai Rarotonga Treaty ini dan masih menerima kapal yang berisi nuklir untuk bersandar dan datang ke pelabuhannya.
Meskipun implementasi dari perjanjian ini tidak berjalan dengan baik, namun kita dapat melihat bagaimana integrasi antar negara yang terjadi di kawasan ini. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mengamankan wilayahnya dari dampak radiasi nuklir yang memberikan efek jangka panjang. Hal ini terbukti dengan beberapa pulau yang tenggelam, pulau yang sudah tidak layak huni lagi hingga pencemaran baik di air, udara, dan daratan. Kepatuhan negara yang melakukan uji coba nuklir terhadap aturanpun juga harus di pertanyakan. Karena kepatuhan suatu negara terhadap aturan internasional akan mencerminkan bagaimana perilaku suatu negara dan perilaku negara lain terhadapnya. Karena kepatuhan juga sebagian dari norma internasional yang sudah memang seharusnya menjadi standar negara dalam mengambil tindakan dan bersikap.
Kesimpulan
Serangkaian uji coba nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris, hingga Prancis pasca perang dunia kedua dan di era perang dingin di kawasan Pasifik Selatan menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan bagi masyarakat di sana. Terlebih kawasan yang berada di Mikronesia dan Kepulauan Marshall memiliki tingkat kerusakan yang tinggi, baik tanah, air, ataupun udaranya. Dampak seperti kerusakan bangunan, terbentuknya kawah yang sangat besar, tenggelamnya pulau, rusaknya ekosistem laut dan darat, munculnya berbagai penyakit aneh, beberapa pulau yang sudah tidak layak huni, hingga polusi yang diakibatkan zat radiaktif hasil ledakan nuklir tersebut.
Melihat berbagai dampak yang timbul dan memberikan penderitaan kepada masyarakat ditambah lagi kerusakan dan polusi akan memakan waktu yang lama untuk hilang, membuat masyarakat timbul kesadaran untuk menciptakan kawasan yang bebas dari ancaman uji coba nuklir. Oleh karena itu, ditandatanganilah Rarotonga Treaty sebagai salah satu cara agar terciptanya South Pacifik Nucear Free Zone, supaya negara yang berniat untuk melakukan uji coba nuklir diharuskan untuk mematuhi protokol yang ada dan menciptakan kawasan Pasifik Selatan yang bebas nuklir. Meskipun pengaplikasiannya tidak berjalan dengan baik, namun dengan adanya perjanjian ini memperlihatkan integrasi masyarakat dan negara juga memperlihatkan peran Pacific Island Forum (PIF) dalam menciptakan lingkungan bebas nuklir.
Referensi
Alunaza, Hardi. "South Pacific Nuclear Free Zone Treaty of Rarotonga As The Response of South Asia Pacific Region on Nuclear Weapon Test." (2019).
El Haq, Muhammad Naser, and Muhammad Saef El Islam. "Australia Sebagai Kekuatan Regional Dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam di Kawasan Pasifik." Indonesian Journal of International Relations 4, no.1 (2020): 49-68.
Finaud, Marc. "The Experience of Nuclear Weapon Free-Zones." BASIC, May (2014).
Mulas, Roberta. "Nuclear Weapon Free Zones and the Nuclear Powers." Academic Peace Orchestra Middle East, Policy Brief , no.5 (2011).
Purwanto, Adi Joko. "Senjata Pemusnah Massal dan Masa Depan Keamanan Internasional." SPEKTRUM 8, no.1 (2011).
Rieman, Arthur M. "Creating a Nuclear Free Zone Treaty That Is True to Its Name: The Nuclear Free Zone Concept and a Model Treaty." Denver Journal of International Law & Policy 18, no.2 (2020).
Suaidah. "Vokalitas Perempuan Marshall Islands dalam Menyuarakan Isu Dampak Uji Coba Nuklir Amerika Serikat (AS) di Republik Marshall Islands (RMI)." Jurnal Analisis Hubungan Internasional 5, no.2 (2016)
Weir, Christine H. "Ending nuclear testing in the Pacific: Bishop Bryce and the Pacific Conference of Churches." (2012).
Yustiningrum, RR Emilia. "Masalah Senjata Nuklir dan Masa Depan Perdamaian Dunia." Jurnal Penelitian Politik 4, no.1 (2016): 19-32.
?uber, Marian. "Nuclear-Weapon-Free Zones in the Asia and Pacific Region in the Context of Global Security." (2011).
0 Comments