loading...

POLITIK “BAGI-BAGI” DAN POTENSI TERHADAP ANCAMAN PERLINDUNGAN HAM

 Politik ‘bagi-bagi’ sendiri merupakan bentuk permainan politik dengan tujuan pembagian kepentingan atau juga bisa disebut sebagai alat yang memfasilitasi serangkaian actor dalam membuat keputusan politik. Biasanya pihak-pihak yang termasuk kedalam pembagian kepentingan ini merupakan etnis kelompok, partai politik, angkatan bersenjata/militer, individu atau organisasi lain. Studi mengenai politik ‘bagi-bagi’ juga telah dibahas oleh Arend Lijphart yang menyatakan bahwa dalam negara demokrasi selalu ada politik ‘bagi-bagi’ dimana masyarakat atas akan terpecah ditandai dengan adanya koalisi besar yang tidak semestinya. Selain itu, beberapa studi menyatakan bahwa politik ‘bagi-bagi’ digunakan sebagai alat untuk meredakan konflik. Namun, terdapat pandangan bahwa dengan adanya politik ‘bagi-bagi’ ini justru memulai sebuah konflik.  Mereka yang kontra terhadap prinsip pembagian kepentingan ini percaya bahwa dalam negara demokrasi seharusnya kepentingan oleh rakyat bukan atas pembagian kepentingan oleh kaum pusat.

Studi literasi mengenai politik ‘bagi-bagi’ sangat minim secara teoritis. Namun, dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia hal ini sangat terlihat jelas, terkhusus dalam roda pemerintahan negara kita. Dengan adanya politik ‘bagi-bagi’ ini secara langsung akan berdampak dalam sistem pemerintahan. Linder dan Bachtiger (2005) telah melakukan penelitian yang menganalisis mengenai politik ’bagi-bagi’ dengan tingkat demokratis yang menggunakan kasus di Afrika dan Asia dari tahun 1965 hingga 1995. Mereka mengidentifikasi dua jenis politik ‘bagi-bagi’ : horizontal (mirip dengan dimensi inklusif) dan vertical (mirip dengan dispersif). Lalu kemudian apa yang dimaksud inklusif dan dispersive? Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Strøm et al. (2017), terdapat tiga bentuk politik ‘bagi-bagi yang berbeda, yaitu : (1) inklusif yang menekankan partisipasi beberapa pihak atau kelompok di masyarakat/pemerintah yang tidak ada batasan (2) dispersif yang menekankan partisipasi beberapa pihak. Namun, salah satu pihak tetap menjadi pengontrol  (3) constraining yang menekankan partisipasi beberapa pihak. Namun, dengan aturan/batasan tertentu.

Politik ‘bagi-bagi’ dan Manuver Politik

Politik adalah perebutan kekuasaan, takhta, dan harta. Dari kutipan tersebut jelas dituliskan bahwa dalam politik perebutan kekuasaan tahta dan harta adalah hal yang wajar dilakukan. Hal ini juga sama halnya dalam politik ‘bagi-bagi’. Secara tidak langsung kutipan tersebut juga menjadi dasar pokok politik ‘bagi-bagi’. Politik ‘bagi-bagi’ yang dimaksudkan diatas kemudian akan merubah dunia perpolitikan yang ‘semestinya’ dan hal ini adalah akibat bagi-bagi kepentingan serta bentuk manuver politik yang lainya. Penulis menyimpulkan bahwa bagi-bagi kepentingan tersebut ialah semata-mata untuk melanggengkan kekuasaan demi mencapai kekuasaan, takhta, dan harta. Berbagai manuver politik yang kemudian akan dihasilkan karena perilaku para elit maupun parpol ini akan mempengaruhi kepercayaan rakyat yang tidak mengetahui sisi dalam nya perpolitikan bangsa.

Pasca pilpres 2019 silam Presiden Joko Widodo mengangkat 12 orang sebagai wakil menteri Kabinet Indonesia maju. Seluruh Wamen yang dipilih berasal dari kalangan profesional hingga tim pendukung Jokowi yang membantu memenangkan kontestasi Pilpres 2019 silam. Menurut penulis dengan adanya 12 wamen untuk pendamping menteri Jokowi tidak lain hanya sebatas bagi-bagi kepentingan saja. Secara langsung Presiden Jokowi mengakomodir partai-partai pendukungnya karena partai yang punya kursi di parlemen diberikan kepada menteri dan partai-partai yang tidak dapat kursi di parlemen diberikan kursi Wamen, Setelah melalui dramatisasi politik pasca pilpres 2019 lalu, banyak spekulasi muncul bahwa partai Gerindra yang kemudian akan masuk dalam kabinet Jokowi jilid II. Banyak asumsi publik berkembang setelah Prabowo melakukan safari politik ke sejumlah partai pengusung Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Misalnya ke rumah Megawati Soekarnoputri (Ketum PDIP), Suharso Monoarfa (PPP), Surya Paloh (Nasdem), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Airlangga Hartanto (Golkar). Sehingga tanggal, 23 Oktober lalu Prabowo telah diumumkan menjadi Menteri pertahanan dalam satu periode kedepan. Dapat disimpulkan bahwa aksi politik yang sebelumnya terjadi memang terdapat maksud, yaitu saat bergabungnya partai oposisi yaitu Gerindra dengan partai koalisi dan pada akhirnya pengajuan Prabowo oleh partai nya untuk menjabat menjadi menteri era Jokowi di periode selanjutnya. Bentuk 'kedekatan' Prabowo dan Jokowi ini bukan hal yang mengejutkan lagi di antara dramatisasi politik yang sedang terjadi, karena memang kedua paslon ini baik dari kubu 01 maupun 02 saling menjaga kepemilikan aset masing-masing dengan kepentingannya.

Politik ‘bagi-bagi’ dan Dana Aspirasi

Dana aspirasi sendiri berdasarkan hukum tidak dijelaskan secara eksplisit, melainkan dikenal dengan nama Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 17/2014”), menyebutkan bahwa Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan lazim disebut Dana Aspirasi.

Berdasarkan Undang-Undang yang telah disebutkan diatas Dana Program Pembangunan Daerah atau Dana Aspirasi sendiri merupakan salah satu implikasi dari hak anggota DPR yaitu mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Dana ini merupakan amanat UU 17/2014 sebagai upaya untuk mendekatkan anggota DPR RI dengan masyarakat. Program itu sesuai dengan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat di daerah pemilihan (“Dapil”) masing-masing anggota DPR RI. Namundalam pelaksanaanya bahwa selama ini dana atas nama “aspirasi” dewan itu sesungguhnya tidak aspiratif dalam penggunaan. Namun, karena opini umum menganggap bahwa dana yang jumlah puluhan miliar itu adalah hak pribadi dewan, sehingga terserah masing-masing anggota dewan ingin menggunakan untuk apa saja (pribadi). Seharusnya masyarakat mengetahui bahwa yang dimaksud dana aspirasi dewan itu bukan dewan menerima dana, tetapi hak dewan untuk mengusulkan proyek atau kegiatan yang sesuai kebutuhan masyarakat. Ini yang disebut dana aspirasi tidak aspiratif.

Pemberlakuan dana aspirasi ini kemudian memunculkan dampak positif dan negatif. Positifnya, dana aspirasi difokuskan untuk pembangunan daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota dewan. Disini dana aspirasi sebagai alat menepati janji-janji saat kampanye. Selain itu, karena ini merupakan amanah dari UU jadi dengan dilaksanakan dana aspirasi ini secara langsung kita sudah melakukan poin amanah dari Undang-Undang. Selain itu, dana aspirasi dianggap ‘aman’ karena dana aspirasi ini pun nantinya diharapkan dapat terdistribusikan dengan baik, sebab pengawasan terhadap dana tersebut akan melibatkan seluruh aparat hukum dan yang melaksanakan adalah pemerintah dan jika melanggar pun sudah jelas hukum pidana nya. Namun, negatifnya, dana aspirasi menjadi ajang dewan untuk menepati janji-janji kampanyenya sehingga bisa terindikasi untuk ‘melanggengkan’ kekuasaan di dapilnya. Kesan ini seolah-olah membuat anggota dewan baik dan atau tak perlu diganti karena bisa merealisasikan janji-janjinya dari kampanye. Dampak negatif terbesar dari penganggaran dana aspirasi ini adalah tindak pidana korupsi. Walaupun perbuatan penyelewengan dana aspirasi anggota DPR telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, dalam prakteknya masih terjadi penyelewengan dana aspirasi ini.

Dari laman media berita BeritaSatu.com, tahun 2016 ada dua anggota DPR yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) lantaran menyelewengkan dana aspirasi, yaitu I Putu Sudiartana anggota DPR dari Demokrat dan Damayanti anggota DPR juga dari fraksi PDI-P. Dalam kasus Damayanti, proyek yang diurus adalah pelebaran pembangunan Jalan Tehoru-Laimu Maluku Utara senilai Rp 41 miliar, fee yang diberikan oleh pengusaha yang akan melaksanakan sebesar Rp 3,2 miliar. Sedangkan, I Putu Sudiartana mengurus proyek senilai Rp.300 miliar untuk pembangunan jalan di Sumatera. Hal tersebut  dapat terjadi karena dalam pelaksanaan proyek itu dilakukan berdasarkan penunjukkan langsung oleh anggota DPR. Sesungguhnya dana aspirasi ini bukan anggota DPR yang melakukan pekerjaan dari dana aspirasi, tetapi pihak ketiga yang melakukan pekerjaan. Anggota DPR hanya menentukan penggunaan dana aspirasi. Baik untuk jalan, jembatan, bantuan ternak, dan lain-lain. Namun, juga karena pengawasan dilakukan sendiri anggota dewan, sehingga ruang terjadi jual beli proyek pun tidak terbatas dan bisa terindikasi korupsi. Selain itu, kegiatan atau proyek yang diusul, banyak yang tidak sesuai atau menjadi kebutuhan masyarakat selaku pihak penerima.

Politik Bagi-Bagi Dan Potensi Ancaman Pelanggaran HAM dalam Human Security

Dengan adanya politik bagi bagi hal ini tentunya menyebabkan kabinet menjadi “gemuk” yang dimaksudkan disini adalah karena sebagian besar parpol mendapat jatah di kursi pemerintahan dan secara otomatis akan saling mendukung satu dengan yang lainnya untuk mensukseskan rancangan yang akan pemerintah buat, dimana dapat berupa pembangunan ataupun rancangan kebijakan dan lain hal yang akan menjadi agenda dalam pemerintahan. Atas dasar prototypicality, dimana perwakilan yang mewakili dari suatu partai mencerminkan partai itu sendiri, membawa kepentingan dalam partainya. Hal tersebut tentunya akan menjadikan situasi semakin tidak kondusif dalam pemerintah disaat segala kepentingan yang diusung oleh masing masing partai akan saling memperebutkan suatu proyek yang pemerintah rancang untuk ditunggangi. Memang secara positif juga hal tersebut (kabinet “gemuk”) akan membawa banyak aspirasi dari tiap golongannya apabila membawa kepentingan rakyat (petani, “rakyat kecil”, buruh, pekerja dll).

Dari “gemuknya” kabinet yang terjadi tentunya juga akan berdampak kepada ketidakseimbangan kubu oposisi dengan kubu koalisi. Disaat Indonesia yang berlandaskan sistem multi partai ini terlalu banyak memasukan partai dalam suatu pemerintahan (membentuk koalisi baru) yang tentunya pihak yang menjadi oposisi tidak akan mendapat kekuatan yang cukup untuk menyeimbangi sistem politik dalam pemerintahan. Dengan “gemuknya” kabinet yang terbentuk secara tidak langsung segala pengambilan keputusan juga akan dapat dengan mudah disetujui, akan menjadi dampak yang positif apabila segala pengambilan keputusan maupun pembuatan undang-undang tersebut dilandasi dengan kepentingan  yang pro rakyat. Disisi lain, apabila dalam pengambilan keputusan yang hanya menyongsong elit-elit politik yang memiliki kepentingan saja akan membawa dampak buruk juga akan cepat untuk disetujui, sebagai contoh ketika tagar #Reformasidikorupsi menjadi sorotan di berbagai media, hal tersebut merupakan dampak dari diciderainya aspirasi rakyat dan pemberontakan atas dasar ketidakadilan undang undang yang dibuat secara kilat dan juga yang dirasa tidak pro rakyat, dan cenderung dituding melemahkan Lembaga anti rasuah yang dipercaya rakyat dalam menjalankan tugasnya mengawasi kinerja para aktor politik yang dipilih rakyat untuk kepentingan rakyat.

Dengan adanya kegemukan yang terjadi atas dasar politik tentunya hal tersebut akan menambah power yang pemerintah miliki. Misal dengan wacana penambahan periode yang sedang digumamkan akan dilaksanakan, hal ini tentunya bukan menjadi hal yang mustahil lagi, dengan koalisi yang beragam sedang bernaung di “ketiak” pemerintah apapun bisa disukseskan dengan embel-embel “untuk melanjutkan program sebelumnya”. Apabila hal tersebut terjadi tentunya akan menumbuhkan potensi monopoli dari para penguasa dan memperkuat oligarki yang saat ini ada di dalam pemerintahan. Semakin lama sudut pandang hanya dilihat dari satu kacamata tanpa adanya pembaharuan tentu saja perbaikan maupun pembangunan yang akan timbul untuk kemajuan bangsa yang pro rakyat juga akan semakin sulit digapai, terlebih lagi apabila jalan tersebut bertentangan dengan kepentingan mayoritas pemangku kepentingan dalam kubu pemerintahan.

Ketika upaya-upaya yang dikerjakan oleh pemerintah tidak mencerminkan kepentingan rakyat dan segala yang dibuat untuk rakyat bukan dilandasi dari kemauan rakyat, hal tersebut akan mencederai berbagai hak yang seharusnya didapatkan rakyat sebagai warga negara. Terlebih untuk segala kepentingan aktor politik lakukan yang bertentangan dengan hak yang seharusnya rakyat dapatkan dalam mengawasi jalannya pemerintahan, ataupun terjadi transparansi sistem yang ditutup tutupi, secara otomatis hal tersebut mencederai hak asasi yang seharusnya didapatkan oleh warga negara. Dengan pelanggaran dalam hak-hak yang seharusnya didapat oleh rakyat, hal tersebut tidak sejalan dengan konsep Human Security.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian diatas kita mengetahui bahwa dalam negara demokrasi bentuk perlindungan hak asasi manusia sangat penting untuk diperjuangkan. Politik ‘bagi-bagi’ yang dilakukan oleh para elit politik kemudian menjadi salah satu potensi ancaman dalam memperjuangkan hak-asasi manusia, terlebih hak-hak politik masyarakat. Dari politik ‘bagi-bagi’ ini kemudian yang menimbulkan manuver politik yang kemudian akan berpotensi mengancam hak politik masyarakat. Selain bentuk manuver, berbagai dramatisasi politik juga termasuk dalam aspek potensi ancaman karena menjadi hasil dari politik ‘bagi-bagi’ yang telah dijelaskan diatas. Namun, politik ‘bagi-bagi’ sendiri tidak selalu memberikan ancaman sebagai dampak negatifnya. Politik ‘bagi-bagi’ juga dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dari segi analisis menggunakan teori equivalent, semua tindakan bagi-bagi kepentingan oleh elit politik tersebut dapat dikategorikan mengancam jika mempunyai sebab akibat.

Oleh    : Shefy Ade Yerima (372018077) dan Galih Priambada (372015072)

Univeristas Kristen Satya Wacana Salatiga -


DAFTAR PUSTAKA

         Lijphart’s, Arend. The Puzzle of Indian Democracy: A Consociational Interpretation. 1997. The American Political Science Associaton. Vol. 90, No. 2 (Jun., 1996) Hlm 688.

           Sofian, Ahmad. 2016. Ajaran Kausalitas dalam RUU KUHP. Institute for Criminal Justice Reform: Jakarta.

            Barbara F. Walter. Committing to Peace: The Successful Settlement of Civil Wars. 2002.

        Merkl, Peter H. 1971. Political Continuity and Change. Harper & Row. Hlm 13.

    Barry Buzan, “Human Security: What It Means, and What It Entails”, Makalah yang dipresentasikan pada the 14th Asia Pacific Roundtable on Confidence Building and Conflict Resolution, Kuala Lumpur, Juni 2000, hal. 1-3.  

    https://tirto.id/jokowi-2019-bagi-bagi-jabatan-kepada-pendukung-lawan-politiknya-epgJ, diakses tanggal 30 Desember 2019, pukul 15.00 WIB.

    https://www.pinterpolitik.com/tipikalitas-dan-politik-bagi-bagi-jokowi/, diakses tanggal 30 Desember 2019, pukul 15.00 WIB.

    https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0749597807000386, diakses tanggal 30 Desember 2019, pukul 15.00 WIB.

    RMOLSumselhttp://www.rmolsumsel.com/read/2019/10/25/126567/Politik-Bagi-bagi-Kekuasaan-diakses tanggal 4 Februari 2020.

    http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/10535, diakses tanggal 10 Februari 2020, pukul 21.00 WIB. 

 Hasanah, Sovia. 2017 Dasar Hukum Dana Aspirasi Anggota DPR     https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58803c7359dae/dasar-hukum-dana-aspirasi-anggota-dpr/, diakses tanggal 10 Februari 2020, pukul 21.10 WIB.

    Nugroho Gumay, Akbar.2017. https://www.beritasatu.com/nasional/383244-tak-ada-dana-aspirasi-dalam-apbn-2017-karena-rentan-korupsi.html, diakses tanggal 10 February 2020, pukul 21.20 WIB.

    SentosaEprahttps://www.borneonews.co.id/berita/110504-masyarakat-harus-diberikan-pemahaman-terkait-dana-aspirasi, diakses tangggal 10 Februari 2020 WIB, pukul 21.25 WIB.

1 Comments

Leave a comment