Perubahan Iklim: Gerbang Awal Perpecahan melalui Konflik dan Perang di Masa Depan
Oleh:
Departemen Kajian dan Penelitian
Akademik KOMAHI UNSOED
PENDAHULUAN
Urgensi Perubahan Iklim di Dunia Sebagai Tinjauan Reflektif
Permasalahan
lingkungan telah bertransformasi menjadi permasalahan besar yang sedang
dihadapi oleh dunia. Pada awalnya, isu lingkungan masih luput dalam perhatian,
tetapi saat ini, isu lingkungan bukan lagi menjadi isu yang termarginalkan
melainkan telah menjadi isu yang diprioritaskan. Salah satu permasalahan besar
lingkungan yang sedang dihadapi oleh dunia adalah permasalahan mengenai
perubahan iklim. Perubahan iklim atau dikenal dengan climate change merupakan fenomena iklim global yang dipicu dengan
adanya pemanasan global akibat kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca di
atmosfer (Perdinan, 2014). Sebenarnya,
perhatian dunia terhadap perubahan iklim sudah terjadi ketika dilaksanakannya
KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang menghasilkan perjanjian
lingkungan internasional yang dikenal dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang
di dalamnya berisi tujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer sampai tingkat yang mampu mencegah campur tangan manusia dalam sistem
iklim (Afriansyah & Bilqis, 2020).
Setelah
adanya UNFCCC, negara-negara di dunia khususnya yang menyepakati perjanjian
tersebut secara rutin untuk melakukan pertemuan dalam membahas perubahan iklim
sejak tahun 1955 yang dikenal dengan Conference
of the Parties (COP). Sampai saat ini, telah terselenggara 26 kali
pertemuan yang terakhir dilaksanakan di Glasgow, Skotlandia. Terdapat berbagai
kesepakatan besar yang dihasilkan dari pertemuan tersebut, seperti Protokol
Kyoto, Perjanjian Cancun, dan Paris Agreement. Kesepakatan terbaru yang menjadi
basis kebijakan negara-negara di dunia saat ini adalah Paris Agreement. Melalui
Paris Agreement, terdapat beberapa poin utama yang disepakati oleh 195 negara
yang meliputi upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di bawah 2 derajat
celcius atau menekannya sampai 1,5 derajat celcius, upaya adaptasi dengan
adanya perubahan iklim, serta fokus pada pendanaan dalam merealisasikan
strategi pencegahan perubahan iklim (Ghaniyyu & Husnita, 2021). Seluruh
negara di dunia dituntut serius dan ambisius dalam melakukan langkah pencegahan
terhadap perubahan iklim sehingga dalam konferensi yang dilaksanakan setiap
tahun, negara-negara di dunia akan memberikan progres terkait dengan langkah
yang telah dilakukannya dalam melakukan pencegahan terhadap perubahan iklim.
Kondisi
tersebut telah menjelaskan betapa pentingnya pencegahan terhadap perubahan
iklim sehingga perubahan iklim bukanlah permasalahan yang sederhana, tetapi
permasalahan yang besar dan kompleks. Dampak yang disebabkan oleh perubahan
iklim tidak hanya berbasis pada lingkungan, tetapi juga memberikan dampak
secara multidimensional dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Bahkan para ahli
telah menyatakan bahwa perubahan iklim apabila tidak diatasi maka berpotensi
besar dalam menciptakan konflik maupun peperangan di masa depan. Melalui
artikel ini, penulis akan menjelaskan lebih dalam terkait dengan dampak yang
dihasilkan dari perubahan iklim yang mampu memicu konflik dan perang dengan
analisis berbasis konsep keamanan. Dengan demikian, penulis juga akan
menjelaskan secara komprehensif bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman bagi
keamanan nasional, tetapi sudah bertransformasi menjadi ancaman bagi keamanan
internasional.
Konsep Keamanan dalam International
Relations
Sejak ilmu
Hubungan Internasional muncul ke permukaan dunia pertama kali pada tahun 1648
yang diawali oleh perjanjian Westphalia, keamanan merupakan suatu konsep yang
sangat lekat dengan ilmu HI itu sendiri. Hal tersebut terjadi dikarenakan
konsep kedaulatan negara yang dihasilkan oleh perjanjian Westphalia memiliki
keterkaitan erat dengan konsep keamanan akibat suatu negara perlu menjamin
keamanan negaranya sendiri dari ancaman internal maupun eksternal agar bisa
mempertahankan kedaulatan negaranya.
Keamanan pada dasarnya merupakan sebuah konsep yang kompleks dan kerap
diperdebatkan. Terdapat banyak sudut pandang yang berbeda mengenai studi
keamanan. Istilah keamanan sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kondisi yang
bebas dari segala bentuk ancaman. Pendekatan dominan dalam studi keamanan dapat
dikatakan agak menjurus ke dalam ranah realisme politik dengan menekankan empat
aspek yakni negara, strategi, ilmu pengetahuan dan status quo (William, 2012).
Secara
tradisional, keamanan mengacu pada keamanan pertahanan negara dan integritas
wilayah negara dari ancaman eksternal atau serangan oleh negara lain.
Pendekatan tradisional terhadap keamanan berfokus pada aktor negara dan
kapasitas militer mereka untuk melindungi keamanan nasional. Hal ini juga
terdefinisikan dengan istilah geopolitik dan terbatas pada hubungan antarnegara
yang bersinggungan dengan isu-isu penggunaan militer berikut strateginya. Dari
waktu ke waktu, definisi ini telah diperluas dengan menyertakan konflik dalam
negara di samping konflik antarnegara. Dalam kedua situasi tersebut, konflik
muncul tidak hanya atas penguasaan wilayah tetapi juga atas penguasaan
pemerintahan dan gagasan.
Namun,
konsep keamanan tidak terpaku secara tradisional saja. Barry Buzan dalam
karyanya yang berjudul “People, States, and Fear” berpendapat bahwa keamanan
bukan hanya tentang negara saja tetapi juga terkait dengan semua kolektivitas
manusia (Buzan, 2008). Keamanan kolektivitas manusia ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor di lima sektor utama yakni militer, politik, ekonomi, sosial masyarakat,
dan lingkungan terutama ketika konstelasi dunia semakin berkembang menjadi
kompleks setelah perang dunia kedua dan perang dingin telah selesai akibat
munculnya berbagai aktor internasional selain negara. Mengenai keamanan
lingkungan, pada zaman dahulu kala faktor ini tidak terlalu dipertimbangkan
oleh para akademisi HI sebagai suatu faktor yang bisa mengancam kedaulatan
suatu aktor HI. Namun, sejak tahun 1972 melalui Konferensi Stockholm, dunia
mulai menyadari bertapa pentingya untuk berbicara mengenai isu lingkungan. Oleh
karena itu, berbagai solusi seperti penciptaan UNEP, MDG, dan juga SDG pun
dilakukan untuk mengatasi berbagai isu mengenai lingkungan.
PEMBAHASAN
Dampak Perubahan Iklim terhadap Keamanan
Perubahan
iklim memiliki kontribusi yang besar terhadap kemunculan bencana alam di suatu
negara. Bencana alam seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung,
hingga gelombang pasang memiliki dampak yang sangat besar terhadap permasalah
pada sektor ekonomi seperti kemiskinan, ketidakstabilan politik, dan
kemerosotan ekonomi. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat yang
menggantungkan hidup dari bertani/berladang dan sebagai nelayan yang kemudian
terpengaruh oleh salah satu dampak dari perubahan iklim ini. Secara tidak
langsung perubahan iklim menjadi suatu ancaman bagi suatu negara karena dalam
Hubungan Internasional ancaman negara tidak hanya berupa ancaman militer atau
yang biasa disebut dengan ancaman tradisional, namun ancaman dapat berasal dari
berbagai sumber seperti degradasi lingkungan, terorisme, illegal logging, dan
human trafficking atau yang biasa disebut dengan ancaman non tradisional (Subiyanto dkk., 2018).
Status Quo Langkah Negara Dunia Ketiga dalam Mengatasi dan
Menghadapi Perubahan Iklim
Dalam
mewujudkan komitmen global, masyarakat dunia memiliki kepedulian dalam
menangani dampak perubahan iklim. UNFCCC memiliki program kerja yang bernama Conference of the Parties (COP) yang
juga menghasilkan adanya instrumen-instrumen lain dalam rangka menanggulangi
dampak perubahan iklim. Terdapat tiga mekanisme dalam Kyoto Protocol atau Kyot
Mechanism, salah satunya adalah clean
development mechanism, yang merupakan proyek di negara-negara berkembang
untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di negara-negara berkembang. Kemudian di
negara berkembang seperti Indonesia akan menerapkan Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD), yaitu memanfaatkan hutan dalam
upaya menekan perubahan iklim khususnya untuk mengurangi karbon emisi dengan
cara memberikan nilai finansial pada karbon yang dihasilkan, menawarkan
insentif terutama untuk negara-negara berkembang agar bersama-sama membangun sustainable development. Terkadang REDD
disajikan sebagai "offset" skema pasar karbon dan dengan demikian,
akan menghasilkan kredit karbon. Karbon offset adalah proyek-proyek hemat emisi
atau program yang akan menjadi bentuk kompensasi untuk emisi pencemar.
Nantinya, kredit karbon yang telah dihasilkan oleh proyek-proyek ini akan
digunakan oleh pemerintah industri dan perusahaan untuk memenuhi target
dan/atau untuk diperdagangkan dalam pasar karbon. Mekanisme REDD bisa
memberikan kompensasi kepada pemerintah, masyarakat, perusahaan atau individu
jika mereka telah mengambil tindakan untuk mengurangi emisi dari hilangnya
hutan di bawah tingkat referensi yang sudah ditetapkan. Pengelolaan hutan
lestari kemudian menjadi keputusan ekonomi yang cerdas, serta keputusan cerdas
bagi lingkungan.
Kemudian seiring dengan
perkembangannya, dikenal REDD+ yang lebih jauh lagi mencakup urusan konservasi,
serta penjagaan stok karbon yang sesuai dengan manajemen hutan yang
berkelanjutan (sustainable management).
REDD+ adalah kelanjutan dari mekanisme yang sudah ada. Ia memberikan peluang
kunci untuk menghasilkan pendanaan, kemauan politik, dan mekanisme yang
diperlukan untuk melindungi hutan serta memerangi perubahan iklim dan
meningkatkan kesejahteraan manusia di negara-negara berkembang. Hal ini
merupakan seperangkat kebijakan, reformasi kelembagaan, dan program yang
memberikan insentif moneter bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan menghentikan
atau mencegah perusakan hutan mereka. Contoh pengembangan implementasi REDD+
sendiri ada di Indonesia, yaitu dengan moratorium kehutanan yang dilakukan
Pemerintah Indonesia. Pelaksanaan implementasi tersebut diharapkan dapat
mengurangi tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang nantinya akan berdampak
pada perubahan iklim.
Status Quo langkah Negara Maju dalam Mengatasi dan
Menghadapi Perubahan Iklim
Negara maju
mengonsumsi pasokan energi global sekaligus berkontribusi terhadap emisi global
lebih banyak jika dibandingkan dengan negara berkembang (Wijaya, 2014). Oleh
karena itu, negara-negara yang notabene berlabel sebagai emitor terbesar di
dunia tentunya memiliki tanggung jawab berlipat-lipat untuk segera mengatasi
permasalahan perubahan iklim yang kian hari kian bertambah intensitas
urgensinya. China yang menduduki peringkat pertama negara emitor telah berkomitmen
dan menunjukkan ambisi tinggi dalam Paris Agreement untuk menangani perubahan
iklim melalui sistemisasi kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi produksi
emisi; salah satunya adalah pengurangan kuantitas penambangan batu bara yang
berhasil dilakukan sejak tahun 2016 hingga mencapai angka 400 juta ton
(Reuters, 2017). Akumulasi dari pencapaian tersebut dan pencapaian-pencapaian
lainnya membuat China digadang-gadang dapat memenuhi targetnya untuk mengurangi
emisi sebelum tahun 2030. Namun demikian, meskipun berdampak signifikan
terhadap penurunan level emisi sekaligus meningkatkan efisiensi energi, angka
pertambahan emisi masih berjalan karena pendanaan pembangkit listrik baru
dengan tenaga batu bara dan penggunaan bahan bakar fosil untuk sektor industri besi
serta semen yang menyebabkan banyak penambahan emisi gas rumah kaca
(Myllyvirta, 2019).
Penanganan
isu krusial perubahan iklim berarti menyadari dan berusaha memperbaiki
kekurangan-kekurangan fundamental dalam sistem suatu negara. Administrator UN
Development Programme (UNDP), Achim Steiner, dalam acara High-Level Political
Forum 2019 yang berasosiasi dengan Alliance of Small Island States (AOSIS)
berkata bahwa upaya disrupsi status quo dalam perubahan iklim datang dalam
bentuk menantang institusi, individual, praktik-praktik yang telah diterima,
dogma, dan ideologi (UNDP, 2019). Dengan kata lain, perubahan iklim perlu
sebuah perspektif yang komprehensif agar segala daya dan upaya yang telah
diimplementasikan tidak berbalik menjadi hal yang stagnan bahkan sia-sia.
Sebagai contoh, China berdasarkan usaha-usahanya tampak lebih menganggap bahwa
perubahan iklim adalah masalah pembangunan sosial dan ekonomi daripada masalah
lingkungan (Kuangdi, 2016). Negara-negara maju pada dasarnya memiliki tendensi
untuk melihat isu lingkungan sebagai peluang dalam kompetisi pasar global
sehingga tindakan-tindakannya justru berakhir tidak tepat sasaran sebagaimana
seharusnya, yakni untuk bahu-membahu mengatasi permasalahan perubahan iklim.
Perubahan Iklim Memicu Konflik Internal
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa perubahan
iklim memiliki korelasi dengan adanya konflik domestik suatu negara. Perubahan
iklim termasuk ke dalam kategori ancaman ganda (threat multiplier), yang memicu kekeringan berkelanjutan,
kelaparan, kemiskinan, migrasi, dan ketidakstabilan politik. Hal-hal tersebut
menjadi pemicu munculnya konflik internal. Sebagai ancaman ganda, perubahan
iklim berdampak pada meningkatnya kompetisi terhadap kepemilikan sumber daya alam,
perpindahan penduduk, dan dan adanya tekanan tambahan pada sistem
sosial-ekonomi, dan lingkungan (USAID, 2009). Adapun yang menjadi bukti konkrit
perubahan iklim sebagai pemicu konflik adalah konflik yang terjadi di Suriah
yang diakibatkan oleh minimnya ketersediaan air bersih dan ketidakamanan stok
pangan. Semenjak 1992, jumlah konflik bersenjata turun 40% dan peperangan tidak
mengakibatkan banyak korban meninggal. Jumlah kematian di daerah konflik/perang
90% disebabkan oleh penyakit dan kekurangan stok pangan (HSC, 2005). Apabila
dianalisis menggunakan perspektif ketahanan nasional, isu perubahan iklim
menjadi gangguan dan ancaman (potensial) yang menjadi faktor internal dan
eksternal yang menghambat negara untuk berdiri kokoh dan berpotensi menyebabkan
negara menjadi kolaps secara permanen (Subiyanto dkk, 2018). Oleh karena itu,
secara tidak langsung perubahan iklim menuntut negara untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menciptakan keamanan negara bagi warga negaranya.
Perubahan Iklim Memicu Perang Antar Negara
Merespon
bencana akibat perubahan iklim yang semakin parah, sejumlah negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Australia, China, telah mengembangkan penelitian
geo-engineering untuk melawan perubahan iklim. Berdasarkan sumber Wawancara dengan Ulrike Niemeier,
seorang ilmuwan di Institut Meteorologi Max Planck Geo-engineering
merupakan salah satu dari sejumlah tindakan yang bertujuan baik untuk memerangi
pemanasan global melalui dua metode yaitu penghilangan karbondioksida di
atmosfer dan pengurangan radiasi matahari melalui belerang atau partikel
sulfat. Namun solusi ini tak terlepas dari efek boomerang yang diprediksi
menjadi sumber perseteruan antara negara (Niemeier, 2019).
Dilihat dari
efeknya geoengineering dapat
menimbulkan tingkat kerusakan lingkungan lintas batas dan hilangnya kedaulatan
fungsional seperti perang. Tetapi perang memiliki tujuan untuk saling menyakiti
antar negara namun sebenarnya teknologi geo-engineering tidak memiliki maksud
demikian jika itu menjadi alasan perang. Hal tersebut memang terlihat berbeda
namun serupa sebab jika geo-engineering memicu perubahan lingkungan ekstrem
yang tidak disengaja sehingga mempengaruhi keamanan dan kesejahteraan material
suatu negara, seperti halnya penggunaan kekuatan kekerasan. Kemungkinan
tersebut misalnya terjadi di negara-negara berkembang seperti India,
Bangladesh, Tuvalu, Maladewa, dan Ethiopia (The Economist, 2019). Ketika mereka
berkoalisi dan menyatakan bahwa negara-negara maju yang menyebabkan pemanasan
global dulunya berjanji untuk mengurangi emisi mereka tetapi hingga saat ini
implementasinya masih dipertanyakan dan justru malah menciptakan teknologi yang
menguntungkan negara pemakainya saja sedangkan negara lainnya justru terdampak
perubahan iklim ekstrem, maka negara-negara berkembang tersebut akhirnya akan
mengambil tindakan sepihak sebagai aksi untuk melindungi keamanan mereka dengan mengembangkan program
kontra-geoengineering. Mereka bisa menembak jatuh pesawat geoengineering atau,
lebih bijaksana, membangun armada kedua untuk untuk menetralkan efek dari
geo-engineering.
Oleh
sebab itu perlu adanya perundingan rezim mengenai penggunaan geo-engineering,
terlepas dari kondisi dunia yang selalu mengalami ketegangan. Karena efek yang
ditimbulkan dari geo-engineering sendiri sangat besar dan memerlukan koalisi
banyak negara untuk saling mencari solusi. Setiap negara perlu memperkuat
komitmennya dan berkontribusi terhadap pengembangan penelitian maupun
merealisasikan aksi-aksinya terkait perubahan iklim, hal ini dimaksudkan agar
semua negara dapat mencegah bencana perubahan iklim sehingga peperangan antar
negara tidak terjadi.
PENUTUP
Kesimpulan
Fenomena perubahan iklim yang dipicu
dengan adanya pemanasan global akibat kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca
di atmosfer saat ini membuat isu lingkungan menjadi isu yang diprioritaskan
oleh dunia. Hal ini karena dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim tidak
hanya berbasis pada lingkungan, tetapi juga memberikan dampak secara
multidimensional dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan iklim
memiliki kontribusi yang besar terhadap kemunculan bencana alam di suatu negara
yang dapat berakibat pada terjadinya kemiskinan, ketidakstabilan politik, dan
kemerosotan ekonomi yang dapat memicu terjadinya konflik internal suatu negara.
Perubahan iklim berdampak pada meningkatnya kompetisi terhadap kepemilikan
sumber daya alam, perpindahan penduduk, dan dan adanya tekanan tambahan pada
sistem sosial-ekonomi, dan lingkungan. Langkah negara berkembang atau miskin
untuk mengatasi dan menghadapi perubahan iklim salah satunya adalah clean development mechanism, yang
merupakan proyek di negara-negara berkembang untuk menciptakan pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development)
di negara-negara berkembang. Selanjutnya melalui Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD), yaitu memanfaatkan hutan untuk menekan perubahan iklim khususnya untuk
mengurangi karbon emisi dengan cara memberikan nilai finansial pada karbon yang
dihasilkan. Sementara itu, dari pihak negara maju yang merupakan konsumen
terbesar sehingga menghasilkan emisi global lebih banyak dari negara berkembang
sehingga memiliki tanggung jawab besar untuk segera mengatasi permasalahan
perubahan iklim. China sebagai salah satu negara maju telah berusaha mengurangi
emisi global dengan pengurangan penggunaan batu bara. Kemudian negara-negara
maju juga berupaya untuk mengembangkan geo-engineering
untuk melawan dampak perubahan iklim yang semakin parah. Namun, upaya ini
justru memiliki efek boomerang yang dapat memicu terjadinya perseteruan atau
perang antar negara. Geo-engineering
dapat menimbulkan tingkat kerusakan lingkungan lintas batas dan hilangnya
kedaulatan fungsional seperti perang. Oleh karena itu, untuk menghindari
terjadinya perang antar negara akibat dari geo-engineering
diperlukan adanya perundingan rezim terkait penggunaan geo-engineering.
DAFTAR PUSTAKA
Afriansyah,
A & Bilqis, A. (2020). Paris Agreement: Respon Terhadap Pendekatan Prinsip
Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities Dalam
Kyoto Protocol. Jurnal Penelitian Hukum
de Jure. 20(3).
Buzan, B. (2008). People, states & fear: an agenda for international security studies
in the post-cold war era. Ecpr Press.
Ghaniyyu,
F & Husnita, N. (2021). Upaya Pengendalian Perubahan Iklim Melalui
Pembatasan Kendaraan Berbahan Bakar Minyak di Indonesia Berdasarkan Paris
Agreement. Morality: Jurnal Ilmu Hukum. 7(1).
Kuangdi, X. (2016). Challenging the Status Quo: Addressing Climate Change. Carniege
Endowment. Youtube. Diakses pada 28 April 2022. https://youtu.be/THMYEVoWYLY.
Myllyvirta, L. (2019). Guest post: Why China’s CO2 emissions grew
4% during first half of 2019. Diakses pada 28 April 2022. https://www.carbonbrief.org/guest-post-why-chinas-co2-emissions-grew-4-during-first-half-of-2019.
Niemeier, U. (2019). "There could be conflicts and wars.” | Max-Planck-Gesellschaft.
Max Planck Gesellschaft. Diakses pada 29 April 2022. https://www.mpg.de/13374301/niemeier-climate-change-geoengineering
Perdinan.
(2014). Perubahan Iklim dan Demokrasi: Ketersediaan dan Akses Informasi Iklim,
Peranan Pemerintah, dan Partisipasi Masyarakat dalam Mendukung Implementasi
Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal
Hukum Lingkungan Indonesia. 1(1).
Reuters. (2017). China halfway to target to reduce coal capacity by 800m tonnes. Diakses
pada 28 April 2022. https://www.scmp.com/news/china/economy/article/2106403/china-halfway-target-reduce-coal-capacity-800m-tonnes
Subiyanto, A., Boer, R., Aldrian, E.,
Perdinan, P., & Kinseng, R. (2018). Isu perubahan iklim dalam Konteks
Keamanan dan Ketahanan Nasional. Jurnal
Ketahanan Nasional, 24(3),
287-305.
The Economist. (2019). Bagaimana jika geoengineering menjadi nakal?
| Sang Ekonom. The Economist. Diakses pada 29 April 2022. https://www.economist.com/the-world-if/2019/07/06/what-if-geoengineering-goes-rogue
UNDP. (2019). Disrupting status quo on climate change. Diakses
pada 28 April 2022. https://www.undp.org/press-releases/disrupting-status-quo-climate-change.
Wijaya, A. (2014). Climate Change, Global Warming and Global Inequity in Developed and
Developing Countries (Analytical Perspective, Issue, Problem and Solution).
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Sci. 19 012008.
Williams, P. D. (Ed.). (2012). Security studies: An introduction. Routledge.
Matt Palmer via Unsplash. https://unsplash.com/photos/BtleFKDvN2Q
840 Comments