PERANG DAGANG CHINA VS AMERIKA SERIKAT DAN DAMPAKNYA PADA ASEAN
Galih Falzah Salsabila
galihfalzah2@gmail.com
Department of International
Relations, Faculty of Social and Political Science,
University of Jember
Abstrak
Ketegangan perdagangan dan kebijakan
proteksionis memulai perang dagang Tiongkok-AS pada tahun 2018, yang memiliki
dampak global yang signifikan. Perdagangan, sistem pasokan, dan pola investasi
semuanya mengalami gangguan saat ketegangan meningkat. Dalam tulisan ini,
penulis menggunakan teori dari game
theory untuk menjelaskan mengenai perseteruan kedua negara ini dalam bidang
ekonomi, dimana signifikansi yang mereka berikan sangatlah besar, keputusan
yang diambil selama perang dagang ini akan berdampak pada dunia untuk waktu
yang sangat lama. Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merasakan
dampak signifikan dari perang dagang Tiongkok-AS yang dimulai pada tahun 2018.
Rantai pasokan terganggu, biaya meningkat, dan perdagangan dialihkan, yang
berdampak pada ekonomi yang terkait di wilayah tersebut. ASEAN mengalami
kesulitan diplomatik ketika Cina dan AS bersaing untuk mendapatkan hegemoni.
Kata kunci: Perang dagang China AS, hegemoni, ASEAN, ekonomi
- Pendahuluan
Untuk pertama kalinya sejak AS
melewati Inggris Raya untuk menjadi negara dengan perekonomian terbesar di
dunia pada tahun 1870-an, kini AS harus bersaing dengan saingan yang sebanding
dan, dalam beberapa hal, bahkan lebih besar dari AS. Artikel ini membahas rekam
jejak Tiongkok dalam mengejar ketertinggalannya dari AS dan bahkan melampauinya
dalam beberapa kompetisi ekonomi.
Kegiatan Amerika Serikat (AS) untuk
meningkatkan pajak impor atas barang-barang manufaktur dari Cina dan
negara-negara lain untuk mendapatkan respon dari negara-negara tujuan disebut
sebagai "perang dagang" oleh media, legislator, dan ekonom. Karena AS
percaya bahwa pemerintah Tiongkok telah mengorbankan kepentingan warga negara
AS, maka diambil tindakan untuk melawannya. Sejak 2010, telah terjadi
peningkatan ketidakseimbangan perdagangan AS dengan Tiongkok karena jumlah
ekspor Tiongkok ke AS jauh lebih besar daripada persentase impornya.
Perseteruan antara RRT dan AS, dua negara dengan perdagangan terbesar di dunia,
tidak dapat dihindari dalam menghadapi ancaman tarif dan balasan lebih lanjut.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF) (2018), meningkatnya ketegangan
perdagangan antara AS dan RRT akan berdampak negatif pada PDB kedua negara,
menurunkan masing-masing sebesar 0,9% dan 0,6%, serta menyebabkan penurunan PDB
global sebesar 0,4% dari waktu ke waktu. Dalam upaya untuk mengatasi defisit
perdagangan, pemerintah AS telah meningkatkan bea impor sejak Juni 2018,
terutama terhadap Tiongkok. Dimulai pada awal Mei 2019, pemerintah AS menaikkan
bea masuk terhadap barang-barang China senilai USD 200 miliar dari 10% menjadi
25%. Pemerintahan Trump mengambil keputusan ini sebagai upaya untuk mengurangi
ketidakseimbangan perdagangan antara kedua negara karena AS biasanya mengimpor
lebih banyak barang dari China daripada yang dijual ke negara dengan
perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut selama tiga dekade sebelumnya.
Sebagai balasannya, China mulai
memungut bea masuk tambahan untuk barang-barang AS senilai USD 60 miliar per 1
Juni 2019. China juga mempertimbangkan untuk menghentikan pembelian produk
pertanian dan pesawat terbang Boeing dari Amerika. Ini adalah keputusan yang
tidak terduga bagi banyak orang, terutama mengingat fakta bahwa perjalanan
'sukses' Trump ke Beijing terjadi kurang dari setahun yang lalu pada saat tarif
diimplementasikan. Namun, gambaran yang sama sekali berbeda menjadi lebih jelas
ketika kita meneliti masalah perdagangan ini.
Pertanyaan apakah perselisihan
perdagangan China dengan AS akan menghalangi jalannya menuju pembangunan yang
cepat sedang dipicu oleh kemungkinan perang dagang habis-habisan. Selama
beberapa dekade terakhir, China telah melihat perkembangan ekonomi yang luar
biasa sebagai hasil dari strategi berorientasi ekspor yang efektif. Beberapa
tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan persaingan strategis antara Cina
dan AS, yang telah berdampak pada hubungan bilateral, regional, dan
internasional. Kebijakan Indo-Pasifik pemerintah AS telah berkembang sebagai
sarana untuk menahan Cina di wilayah tersebut. Strategi Indo-Pasifik AS yang
baru menyatakan bahwa "paksaan dan agresi RRT menjangkau seluruh dunia,
tetapi yang paling parah di Indo-Pasifik." Negara-negara ASEAN memiliki
hubungan perdagangan ekspor dengan Tiongkok dan AS, dengan ekspor non-minyak
mencapai 25% hingga 35% dari total ekspor.
Dampak dari konflik perdagangan ini
akan mengubah permintaan ekspor ASEAN. Dampak penurunan permintaan ekspor
paling besar terjadi pada barang-barang seperti elektronik, bahan baku
otomotif, dan komoditas perkebunan (Boltho 2020). Ketika ASEAN berupaya untuk
mendapatkan kembali kepercayaan dan kemandirian strategis dalam menghadapi
"perhatian" yang terus meningkat, mentalitas internalnya telah
berubah dari optimisme yang berhati-hati menjadi kekhawatiran dan
ketidakaktifan. Meskipun pemerintahan Trump pertama kali dan kemudian memungut
tarif atas barang-barang yang diproduksi dan diekspor dari Tiongkok, menjadikan
Tiongkok sebagai target eksklusif, langkah-langkah ini memiliki efek negatif
pada negara-negara lain. Salah satu dari sekian banyak korban nyata dari perang
dagang ini adalah kawasan ASEAN.
- Tinjauan
Pustaka Terkait
Berikut adalah tabel yang berisi
tinjauan pustaka terkait dengan perang dagang China vs Amerika Serikat dan
dampaknya pada ASEAN:
No. |
Sumber Referensi |
Penulis |
Tahun |
1 |
Artikel:
“An Economic Analysis of the US-China Trade Conflict” |
Eddy
Bekkers and Sofia Schroeter |
2020 |
2 |
Artikel:
"Perang Dagang AS-Cina : Dampak Ekonomi Pada Negara Mitra Dagang
AS-Cina" |
Mutiara
Sari, Marselina, Neli Aida |
2021 |
3 |
Artikel:
“The Great Economic Rivalry: China vs the US” |
Graham
Allison Nathalie Kiersznowski Charlotte Fitzek |
2022 |
Kajian literatur menganalisis dampak
ketidakpastian kebijakan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di 10 negara
mitra dagang AS-Tiongkok sebelum dan sesudah perang dagang AS-Tiongkok. Hasil
analisis terhadap variabel FDI menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan, dan
negara-negara tersebut menjadi sasaran empuk terhadap perang dagang Amerika
Serikat dan Tiongkok. Dan juga kami menggunakan tinjauan pustaka untuk membahas
secara keseluruhan perseelisihan ekonomi antara China dan AS. Semua sumber
referensi tersebut memiliki kaitan dengan judul yang kami bawakan yaitu “Perang
Dagang China vs AS dan Dampaknya pada ASEAN”
- Metodologi
Penelitian
Metodologi penelitian adalah cara
ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data serta mengumpulkan sumber
informasi sebagai pemenuhan tujuan penelitian. Metodologi penelitian dalam
sebuah penelitian menjadi penting karena merupakan langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam proses suatu penelitian. Dalam penelitian ini, metode yang
digunakan adalah metode deskriptif dan kualitatif. Metode penelitian deskriptif
merupakan metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan suatu
fenomena berdasarkan fakta-fakta yang ada secara sistematis, faktual, dan
akurat (Sitorus, 2021). Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang
bertujuan untuk mengeksplorasi data - data yang diperoleh untuk menekankan pada
penjelasan yang mendalam (Dawson, 2007).
Metode penelitian deskriptif
digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam mengenai
perang dagang yang terjadi antara AS dan China serta dampaknya terhadap ASEAN,
sehingga mampu memberikan uraian yang mendalam dari fenomena yang diteliti
dengan menggunakan teori atau konsep. Metode penelitian kualitatif digunakan
untuk mengetahui dampak terhadap ASEAN akibat perang dagang antara AS dan
China.
Data yang digunakan dalam
menganalisis isu yang diteliti adalah data sekunder yang terkini dan didapat
dari berbagai sumber. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil
observasi lapangan melainkan dari buku, jurnal, tesis, berita, dokumen, dan
lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
library research. Data sekunder yang digunakan adalah berupa jurnal, e-book,
laporan, dan sumber data yang bersifat secondary hand lainnya yang berkaitan
dengan isu yang diteliti, sehingga mampu memberikan informasi yang jelas kepada
pembaca.
- FINDING
(TEMUAN)
4.1 Tentang Perang Dagang
Di era globalisasi ekonomi,
proteksionisme perdagangan jika diumpamakan, bukan merupakan ‘obat’ melainkan
racun. Dalam kasus perang dagang, kerugian tidak dapat dihindari oleh kedua
negara, baik yang menerapkan pajak maupun yang menjadi target tarif. Pada kenyataannya,
negara-negara yang memilih untuk tidak terlibat akan mengalami kerugian
tambahan. Sebagai ilustrasi, kebijakan proteksionis seperti tarif yang lebih
tinggi pada akhirnya akan menyebabkan inflasi konsumen yang lebih besar di AS sebagai akibat dari biaya produksi
yang lebih tinggi untuk perusahaan-perusahaan AS. Sangatlah penting bagi AS dan
Cina untuk mencapai kesepakatan mengenai isu-isu penting termasuk hak kekayaan
intelektual (HAKI), akses pasar, dan transfer teknologi usaha patungan jika mereka
ingin mencegah konflik.
Peran Cina dalam Perang Perdagangan
Diyakini secara luas bahwa ekonomi
Cina tidak akan terpengaruh oleh perang dagang ini. PDB RRT mencapai lebih dari
$13 triliun pada tahun 2016, namun hanya $2 triliun yang dihasilkan melalui
ekspor. Hanya sedikit perusahaan dan industri Tiongkok, yang hanya menyumbang
2,5% dari total ekspor Tiongkok ke AS, yang akan menderita sebagai akibat dari
pengenaan tarif oleh AS dalam konflik perdagangan yang sedang berlangsung
(Stratfor, 2018). Pada kenyataannya, sebagian besar barang yang diekspor RRT
adalah barang setengah jadi yang diproduksi di luar negeri di kawasan
Asia-Pasifik sebelum dirakit di RRT dan dijual sebagai barang jadi. Akibatnya,
RRT adalah tempat berakhirnya rantai pasokan Asia. Menarik untuk dicatat bahwa
RRT secara konstan dan efektif mengurangi ketergantungan ekonominya pada ekspor
sejak krisis subprime. Sebagai contoh, Tiongkok mampu menurunkan persentase
ekspor terhadap PDB dari 30% pada tahun 2007 menjadi sekitar 20% pada tahun
2017. Selain itu, Tiongkok telah berhasil menurunkan proporsi ekspor AS
terhadap ekonominya dari 9% menjadi lebih dari 4% (Wyne, 2018). Hal ini
menunjukkan tujuan China untuk menjadi kurang bergantung secara ekonomi pada
AS, meningkatkan posisinya untuk lebih tegas mengkritik kebijakan luar negeri
AS. Ada yang berpendapat bahwa RRT hanya mengenang masa lalu, terutama selama
era Bretton Woods.
Upaya RRT saat ini sangat mirip
dengan metode yang digunakan oleh negara-negara industri seperti AS ketika
mereka berjuang untuk mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara lain.
Sebagai contoh, AS saat ini menuduh RRT secara rutin melanggar HAKI untuk
mendapatkan rahasia teknis. Namun, mirip dengan tuduhan yang dibuat terhadap AS
oleh China, AS juga dituduh melakukan hal yang sama pada abad kesembilan belas
oleh Inggris, pemimpin teknis dunia pada saat itu. Selain itu, seperti halnya
Cina mempertahankan HAKI AS saat ini, AS pada abad kedelapan belas melindungi
rahasia dagang pengusaha Inggris (Mallick, 2018). Konflik apa pun pasti akan
berlarut-larut, tidak terorganisir, dan merugikan kedua belah pihak. Tidak ada
lagi janji yang dibuat oleh perang dagang AS-RRT ini. Menurut Bloomberg,
produksi di Cina dan AS akan lebih rendah di bawah skenario tarif saat ini
dibandingkan dengan tanpa adanya perang dagang, masing-masing sebesar 0,5% dan
0,2%. Perang dagang ini berdampak pada produksi dunia yang juga akan menurun.
Pada tahun 2021, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
memperkirakan kerugian dari kenaikan produksi global sebesar $600 miliar, atau
hampir 0,7% (Romans, 2019).
Pengaruhnya terhadap Amerika Serikat
AS juga terpengaruh oleh dampak
perang dagang. Dampak kenaikan tarif hingga 25% pada pungutan impor untuk
barang-barang Cina menyebabkan peningkatan biaya pembelian bagi pelanggan
karena pengguna akhir yang membeli produk. Atau mungkin akan mengakibatkan
penurunan pendapatan bisnis. Misalnya, bisnis seperti Walmart yang mengimpor
barang-barang murah dan menjualnya ke pelanggan AS adalah yang paling
dirugikan. Meningkatnya impor mungkin telah menyebabkan biaya melambung tinggi,
sehingga tidak terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Kita juga
harus bersyukur bahwa Tiongkok bukan lagi negara berkembang seperti 20 tahun
lalu ketika sangat membutuhkan akses ke metode dan teknologi industri Barat.
Sekarang, Tiongkok memiliki akses ke beberapa fasilitas industri terbaik di
negara ini dan teknologi yang bermanfaat bagi seluruh dunia. Pada kenyataannya,
AS tidak bisa mengabaikan pasar Tiongkok. Sebagai contoh, Boeing, yang saat ini
mempekerjakan 150.000 orang, mengantisipasi ekspor pesawat senilai $1 triliun
ke China selama 20 tahun ke depan. China juga merupakan pasar ekspor terbesar
Apple untuk iPhone. Ketika persaingan mengancam untuk menggantikan produk
dominan AS seperti Apple iPhone oleh Samsung, Boeing oleh Airbus, dan
lain-lain, implikasinya bisa menjadi bencana.
4.2 The Game Theory
Tiongkok dan Amerika Serikat mungkin
adalah dua kekuatan internasional yang paling penting saat ini. Karena
signifikansi mereka yang sangat besar, keputusan yang diambil selama perang
dagang ini akan berdampak pada dunia untuk waktu yang sangat lama. Oleh karena
itu, kita dapat berasumsi bahwa setiap negara akan berperilaku dengan cara yang
paling masuk akal untuk memberi manfaat bagi seluruh planet ini.
Amerika Serikat akan kalah jika
memutuskan untuk kalah dalam perang dagang. Hal ini agar China dapat mengambil
keuntungan dari tarif yang diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku untuk China
jika memutuskan untuk mengurangi partisipasinya dalam pertikaian perdagangan.
Oleh karena itu, terus terlibat dalam perang dagang adalah satu-satunya
alternatif bagi China dan Amerika Serikat. Kedua negara telah mencapai Nash
Equilibrium setelah mempertimbangkan masing-masing skenario ini. Hingga
diplomasi berhasil membawa pemahaman bersama untuk mengakhiri perselisihan,
kedua kekuatan global ini kemungkinan akan memperpanjang perang dagang dengan
taktik yang sama.
Game Theory di balik Trade War
Untuk Amerika Serikat, hal ini dapat
dibagi menjadi dua situasi. Mereka dapat mulai dengan mempertahankan tarif dan
menekan penguatan yuan Tiongkok. Mereka mungkin juga akan mentoleransi
kesenjangan perdagangan yang lebih luas yang disebabkan oleh China. Tiongkok
memiliki dua pilihan jika Amerika Serikat memilih taktik ini. Mereka memiliki
pilihan untuk mengapresiasi mata uang mereka dan tunduk pada tuntutan AS, atau
mereka dapat memberlakukan tarif pada produk AS dan memulai perang dagang baru.
Permainan perdagangan akan berhenti jika Amerika Serikat memilih opsi kedua dan
tidak mengambil tindakan apa pun. Sebagai alternatif, China tidak dapat
menanggapi pengenaan tarif oleh AS dengan cara apa pun. Kedua negara pada
akhirnya akan mencapai Nash Equilibrium jika mereka terus menerapkan tarif satu
sama lain dengan taruhan yang meningkat.
Game theory biasanya dapat meramalkan pola ekonomi makro yang lebih
besar, tetapi hanya dapat meramalkan begitu banyak hal dalam skenario yang
sebenarnya. Melompat ke depan dari awal tahun 2000-an, ketika perang dagang
pertama kali terjadi, kita dapat mengamati pola peningkatan taruhan dalam
konflik antara Amerika Serikat dan China. Sebagai contoh, pertimbangkan bulan
Agustus di tahun 2019. Pada tanggal 23 Agustus, Komisi Tarif Bea Cukai Dewan
Negara Tiongkok memungut pajak atas impor AS sebesar $75 miliar USD. Bea masuk
yang sebelumnya dibebaskan untuk mobil dan suku cadang mobil AS diberlakukan
kembali pada hari yang sama. Kemudian pada tahun ini juga, pada tanggal 1
September, AS membalas dengan mengenakan bea masuk atas impor China senilai
lebih dari $125 miliar USD. Pada akhir Agustus, Tiongkok membalas dengan
meningkatkan bea masuknya sebesar $75 miliar USD. (Alice Li, 2020)
4.3 Perdagangan dan ASEAN
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara (ASEAN) didirikan pada tahun 1967 dengan tujuan untuk mengatasi
masalah politik di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, ASEAN mengubah
penekanannya pada integrasi ekonomi, menyadari nilai perdagangan dan jalur
pelayaran untuk pertumbuhan. Sebuah langkah nyata untuk meningkatkan hubungan
ekonomi dan menumbuhkan budaya kewirausahaan di kawasan ini adalah dengan
menciptakan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Perubahan penekanan ini terjadi bersamaan
dengan pergeseran yang lebih signifikan dalam ekonomi dunia, dengan Asia Timur
muncul sebagai pusat kegiatan yang signifikan. Kemampuan negara-negara anggota
ASEAN untuk berpartisipasi dalam perdagangan internasional dimungkinkan oleh
kemajuan teknis, akses ke pasar Barat, dan globalisasi, yang akan memacu
kemakmuran regional di tahun-tahun mendatang.
Pergerakan yang signifikan di pusat
ekonomi global menjauh dari negara-negara Atlantik Utara dan menuju Asia Timur.
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap perubahan ini. Salah satunya
adalah perpindahan modal dan teknologi ke seluruh dunia. Faktor lainnya adalah
perubahan kebiasaan konsumen dan perkembangan transportasi. Eksploitasi
sederhana dari kelompok tenaga kerja yang cukup kompeten oleh pemerintah yang
otoriter dan ramah pasar di Asia juga mendorong ekspansi kapitalisme. Kemampuan
untuk menggunakan model pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor dimungkinkan oleh
akses yang tak tertandingi ke pasar di negara-negara Barat, yang mungkin
merupakan yang paling signifikan. (Westad, 2017)
Sejarah negara pulau ini, menurut
Lee Kuan Yew, pendiri Singapura modern, dibangun di atas fondasi perdagangan internasional.
Perkembangan Singapura merupakan cermin dari perkembangan negara-negara
industri, termasuk ide, teknologi, bisnis, dan semangat mereka. Peti kemas,
perjalanan udara, angkutan udara, komunikasi satelit, dan kabel serat optik
antarbenua, semuanya berkontribusi pada kemajuan teknis Singapura (Lee KY,
2013). Dua anggota pendiri ASEAN lainnya dengan cepat mengadopsi strategi yang
sama. Di sisi lain, ini merupakan kesempatan yang disia-siakan bagi
negara-negara yang ekonominya masih tertutup dan memilih untuk tidak
berpartisipasi dalam proses ini karena berbagai alasan. Pada saat mereka
bergabung dengan ASEAN pada akhir 1990-an, pendapatan nasional bruto (PNB) per
kapita Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam berfluktuasi sekitar USD 950.
Efisiensi komunitas ekonomi ini akan
selalu terhambat, menurut para pengkritik ASEAN, selama ada kesenjangan ekonomi
yang signifikan di antara negara-negara anggotanya. Sebagai contoh, GNI per
orang di Singapura pada tahun 2018 adalah USD 58.770, yang sebanding dengan Swedia
atau Irlandia. GNI per orang di Kamboja pada tahun 2018 hanya sebesar USD
1.380. Kesenjangan ekonomi di ASEAN lebih besar daripada di tempat lain,
seperti yang baru saja kami sebutkan. Namun, angka-angka ini hanya
mengungkapkan sebagian dari cerita. Sekitar dua belas tahun sebelum Singapura,
Kamboja memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1953. Namun, alih-alih menerapkan
kebijakan ekonomi yang efektif, negara ini gagal memanfaatkan keunggulan ini
dan dengan cepat mengadopsi ekonomi komando yang direncanakan secara terpusat
dan bukan ekonomi pasar.
Sementara Singapura telah
bertransisi ke ekonomi yang bergantung pada perdagangan, Kamboja, yang
dikecualikan dari perdagangan global dan kemajuan teknis, masih bergantung pada
bantuan hingga aksesi ke ASEAN pada tahun 1999. Terlepas dari kekurangannya,
ekonomi pasar telah mampu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berfungsi
dengan baik dibandingkan dengan ekonomi terencana yang hanya memiliki sedikit
keuntungan secara teoritis. Sebagai hasilnya, perdagangan telah berperan
penting dalam membentuk masa depan banyak negara.
5. DISKUSI
5.1. Mengapa ekspor ASEAN sangat penting
Perdagangan memiliki peran penting
dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN, terutama dalam hal ekspor.
Perdagangan internasional sangat penting bagi negara-negara yang memiliki
sumber daya alam yang melimpah seperti minyak dan gas karena dapat meningkatkan
PDB nasional mereka. Bagi negara-negara yang baru merdeka, sangat penting untuk
menghidupkan kembali dan menulis ulang perjanjian perdagangan di sepanjang
jalur historis yang tersisa dari masa lalu kolonial. Industrialisasi yang
berorientasi ekspor, seperti yang dilakukan oleh negara-negara seperti Hong
Kong, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura, telah terbukti lebih berhasil daripada
modernisasi yang didasarkan pada substitusi impor (Taylor, 2005). Pada awal
abad ke-21, perkembangan Tiongkok telah menjadikannya sebagai salah satu mitra
dagang utama ASEAN.
Bagi negara-negara ASEAN, model
ekonomi yang dipimpin oleh ekspor telah menghasilkan kesuksesan yang luar
biasa. Sebagai contoh, Thailand unggul dalam bidang tekstil dan bahkan mulai
mengekspor kendaraan, Singapura menjadi kontributor yang signifikan terhadap
teknologi global, Filipina mengembangkan ekonomi ekspor berbasis manufaktur,
dan Malaysia muncul sebagai produsen besar barang-barang elektronik dan
listrik.
Strategi yang berfokus pada ekspor
ini membantu negara-negara ASEAN tidak hanya meningkatkan skala pendapatan dari
tingkat pendapatan rendah ke menengah dan tinggi, tetapi juga membantu mereka
menghadapi krisis keuangan dan kemerosotan ekonomi. Meskipun sangat terpengaruh
oleh krisis keuangan Asia pada tahun 1997, ekonomi kawasan ini pulih dan terus
tumbuh dengan cepat karena fokus mereka pada ekspor barang-barang manufaktur
dan orientasi ke luar (Gerber, 2005).
5.2. Dampak Perang Dagang
terhadap Ekspor ASEAN
Dua puluh tahun setelah
krisis keuangan Asia tahun 1997, yang menyebabkan kehancuran di seluruh
kawasan, ASEAN saat ini menghadapi tantangan ekonomi baru yang sangat sulit:
konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta dampaknya.
Konflik perdagangan yang terus berlanjut antara dua negara dengan perekonomian
terbesar di dunia ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya, karena konflik
ini mengancam akan memberikan dampak yang paling besar bagi perekonomian ASEAN.
Pada pertengahan tahun 2019, atau sekitar satu tahun setelah sengketa
perdagangan dimulai, terbukti bahwa perang dagang telah merugikan ekonomi ASEAN
dengan mengganggu rantai pasokan global, di mana ASEAN merupakan penghubung
yang sangat penting. Akibatnya, ekspor dari negara-negara ASEAN mengalami
penurunan setiap kuartal.
Ekspor Singapura pada Juni 2019
turun 17,3% dari bulan yang sama tahun lalu, menandai penurunan dua bulan
berturut-turut. Hal ini berdampak langsung pada kinerja ekonomi Singapura, yang
turun 3,4% dari kuartal sebelumnya. Indonesia, yang melihat RRT sebagai mitra
ekonomi utamanya, juga melaporkan penurunan ekspor sebesar 8,98% dari waktu
yang sama tahun lalu (Waswani, 2019). Karena penurunan pengiriman ke Tiongkok,
ekspor Malaysia turun 3,1%.8 (Chin, 2019). Ekspor Thailand, yang bernilai
sekitar $21,4 miliar pada Juni 2019, juga turun 2,15%.9 (TBN, 2019). Di
negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Filipina, Laos, Myanmar, dan Brunei,
ekspor turun di bulan Juni 2019. Dua
anggota ASEAN, Vietnam dan Kamboja, mengalami peningkatan ekspor selama periode
ini, meskipun sebagian besar negara ASEAN mengalami penurunan ekspor. Kedua
negara tersebut mampu meningkatkan ekspor mereka sebagai hasil dari banyaknya
bisnis yang memilih untuk memindahkan fasilitas manufaktur mereka dari Tiongkok
yang terkena tarif ke kedua negara ini, atau mengalihkan barang mereka ke
Amerika Serikat melalui Vietnam. Secara keseluruhan, mengingat kegagalan
diskusi antara pejabat pemerintah AS dan Cina untuk menemukan resolusi perang
dagang, situasi di ASEAN akan semakin memburuk pada kuartal ketiga 2019.
Jadi, ketika ekonomi kawasan ASEAN
mengalami penurunan ekspor yang stabil, yang pada gilirannya terus mengganggu
pertumbuhan ekonomi mereka secara keseluruhan, sebuah pola yang sudah tidak
asing lagi mulai muncul. Tidak butuh waktu lama bagi tarif yang diberlakukan
untuk memberikan dampak negatif pada ekonomi Tiongkok di luar ASEAN. Dalam
satuan dolar, ekspor Tiongkok turun 1,3% dari tahun ke tahun selama paruh
pertama tahun ini di bulan Juni 2019, sementara impor turun 7,3%. Negara dengan
perekonomian terbesar kedua di dunia ini mengalami pertumbuhan ekonomi terburuk
dalam lebih dari tiga dekade terakhir sebagai akibat dari perang dagang yang
berlarut-larut dengan Amerika Serikat (He L, 2019). Dan terlepas dari ekspansi
ekonominya, PDB Tiongkok telah menyusut ke titik terburuk dalam hampir tiga
dekade terakhir. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak negara, termasuk
negara-negara di Zona Euro dan Uni Afrika, memuji pertumbuhan ekonomi tahunan
Tiongkok sebesar 6,2%, para pemimpin negara ini tetap menaruh perhatian yang
tinggi untuk menjaga agar 1,4 miliar warganya tetap bekerja dan merasa puas.
Bagi generasi kelima kepemimpinan politik Tiongkok saat ini, perang dagang yang
berlarut-larut tampaknya menjadi masalah ekonomi dan politik yang substansial.
5.3. Ekspansi ekonomi ASEAN melambat
Mungkin benar bahwa "When America sneezes, the world
catches a cold," tetapi mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan
bahwa hubungan ekonomi Cina-ASEAN juga terpengaruh. Jika ekonomi Cina melambat,
negara-negara anggota ASEAN harus sangat memperhatikan situasi ini. Cukup masuk
akal untuk mengasumsikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di
seluruh wilayah ASEAN akan terus berlanjut selama perang dagang berlanjut
mengingat volume impor Tiongkok yang menurun dan volume ekspor ASEAN yang
menurun. Seperti yang telah kami tunjukkan, konflik perdagangan yang berlarut-larut
akan terus menghambat ekspansi ekonomi ASEAN.
Pertumbuhan PDB kawasan ASEAN akan
lebih rendah dari yang diantisipasi pada tahun 2019, menurut Asian Development
Bank. Perang dagang yang sedang berlangsung merupakan faktor utama dalam revisi
terbaru dari statistik ini dari perkiraan awal pertumbuhan 4,9% menjadi 4,8%
(Tomas J, 2019). Proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi ASEAN pada tahun 2018
adalah 5,3%. Sejak tahun 2009, RRT telah menjadi mitra dagang terbesar ASEAN,
yang memperburuk masalah ini. Ketergantungan ekspor yang signifikan dari ASEAN
terhadap Tiongkok. Namun, ada satu hal lagi yang perlu dipikirkan. Pada bulan
Agustus 2019, ketika mata uang Tiongkok jatuh ke level terendah sejak 2008,
jelas terlihat bahwa Tiongkok akan menggunakan mata uangnya sebagai senjata
dalam perang dagang yang masih berlanjut.
Akibatnya, ada kemungkinan bahwa
berbagai mata uang negara-negara ASEAN akan mengalami penurunan yang serupa
dengan yuan. Contohnya, ringgit Malaysia dan rupiah Indonesia, dua mata uang
yang secara konsisten berada di bawah tekanan pasar selama dua tahun terakhir,
saat ini sangat dekat dengan posisi terendah dalam sejarah yang dicapai selama
krisis keuangan Asia tahun 1997. Para ekonom mengkhawatirkan lebih dari sekedar
ketergantungan negara-negara kecil pada mitra dagang mereka yang lebih besar di
Asia untuk ekspor.
Di Uni Eropa, di mana sebagian besar
ekonomi Eropa Tengah dan Timur telah mengintegrasikan diri mereka ke dalam
rantai pasokan ekonomi terbesar di Eropa, Jerman, skenario yang sangat mirip
dapat dilihat. Ekonomi Jerman yang berorientasi ekspor, yang memberikan
penekanan signifikan pada pasar Tiongkok, adalah bukti betapa saling terhubung
dan terhubungnya ekonomi dunia. Apa yang dimulai sebagai tarif yang secara
eksklusif diterapkan pada barang-barang yang dibuat di Cina sekarang menjadi
ancaman ekonomi yang serius bagi kawasan ASEAN dan sekitarnya.
Kesimpulan
Hubungan
internasional dan interaksi ekonomi antar negara dapat menyebabkan fluktuasi
dan kerugian. Tiongkok dan AS, yang bersaing untuk menjadi negara dengan
perekonomian terbesar di dunia, telah mengalami perang dagang yang menyebabkan
masalah ekonomi bagi banyak negara. Keputusan Tiongkok dan AS selama perang
telah berdampak pada dunia, yang mengarah pada praktik proteksionisme yang
berdampak negatif pada ekonomi mereka. Hal ini khususnya menyebabkan kemunduran
bagi perekonomian ASEAN.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara
ASEAN bergantung pada perdagangan terutama dalam hal ekspor. Efektivitas ekspor
telah membantu mereka meningkatkan pertumbuhan, menghadapi krisis keuangan, dan
mengatasi kemerosotan ekonomi. Namun, Perang dagang yang terjadi antara China
dan AS telah merugikan ekonomi ASEAN dengan mengganggu rantai pasokan global,
di mana ASEAN merupakan penghubung yang sangat penting. Akibatnya, ekspor dari
negara-negara ASEAN mengalami penurunan setiap kuartal, ditambah lagi ada
kemungkinan bahwa berbagai mata uang negara-negara ASEAN akan mengalami
penurunan sehingga konflik perdagangan yang berlarut-larut ini akan terus menghambat
ekspansi ekonomi ASEAN.
Refrensi:
Journals:
- Boltho, Andrea. (2020). Southern and Eastern Europe in
the Eurozone: Convergence or divergence?. Baltic Journal of Economics 20:
74–93.
- Eddy Bekkers and Sofia
Schroeter. (2020). An Economic Analysis of the US-China Trade Conflict.
Economic Research and Statistics Division World Trade Organization.
- Mutiara Sari, Marselina, Neli
Aida. (2021). Perang Dagang AS-Cina: Dampak Ekonomi Pada Negara Mitra
Dagang AS-Cina. Jurnal Ilmu ekonomi dan Studi Pembangunan.
- Sitorus, Destri Sambara. (2021). Perang Dagang Amerika
Serikat dan Tiongkok: Bagaimana Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia
Tahun 2017 - 2020?. Jurnal Pendidikan Ekonomi Undiksha.
Books:
- Dawson, C. (2007). A Practical
Guide to Research Methods is a user-friendly manual for mastering research
techniques and projects (Third Edit). Oxford: How To Books.
- Gerber, J. (2005).
International Economics. San Diego, USA: Pearson. Pp.14.
- Lee, K.Y. (2013). From the
Third World to the First: Singapore And The Asian Economic Boom. New York,
USA: Harper Collins Publishers. Pp.689.
- Taylor, R. H., Woodside, A.,
& Wyatt, D. K. (2005). The Emergence of Modern Southeast Asia: A New
History. Honolulu, Hawai. USA: University of Hawai’i Press. Pp.383.
- Westad, O. A. (2017). The Cold
War: A World History. New York, USA: Basic Books. Pp.555.
Websites:
- Alice Li. (2020). Game Theory
and the US-China Trade War. https://streetfins.com/. [20 Juli 2023]
- Chin, J. (2019). June exports
contract by 3.1 % to 76.17 b, lowest since February. www.thestar.com. [24 Juli 2023]
- Mallick PK. 2018, September.
US-China trade war: analyses of deeper nuances and wider implications.
Vivekananda International Foundation www.vifindia.org. [21 Juli 2023]
- Romans C. (2019). Here’s the
worst-case scenario for the US-China trade war. CNN Business www.cnn.com. [15 Juli 2023]
- Stratfor. (2018). Opinion: with
China tariffs, Trump barks but doesn’t bite. www.MarketWatch.com. [15 Juli 2023]
- Thailand Business News. (2019).
Thai Exports down 2.91 % in the first half of 2019. www.thailand-business-news.com. [24 Juli 2023]
- Tomas, J. (2019). ASEAN growth
slower than forecasted. www.theaseanpost.com. [24 Juli 2023]
- Waswani, K. (2019). New cracks
in global economy as exports tumble. BBC https://www.bbc.com. [21 Juli 2023]
- Wyne A. (2018). The greater
danger of U.S.-China trade tensions. The Diplomat (The Rand Blog) www.rand.org. [15 Juli 2023)
0 Comments