loading...

Peran UNHCR Mengatasi Masalah Overpopulasi Pengungsi di Uganda

Oleh:

Faradillah Isnaeni Putri

UPN Veteran


PENDAHULUAN

Pada tahun 1960an, terjadi pergerakan pengungsi besar-besaran di benua Afrika, akibat dari dekolonisasi yang terjadi di Afrika pada saat itu. Banyak sekali pengungsi yang melarikan diri dari suatu negara, dan berakhir hanya menemukan ketidakstabilan pada negara baru tempat mereka mencari perlindungan. Salah satunya ialah yang terjadi di sebuah negara bagian di Afrika Timur, yakni Republik Uganda. Uganda merupakan salah satu negara hosting pengungsi teratas di benua Afrika dan juga di dunia. Sejak Uganda mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1962, Uganda telah memberikan suaka atau tempat untuk berlindung bagi para pengungsi yang melarikan diri dari perang dan penganiayaan di negara asalnya. Pengungsi yang berada di Uganda kebanyakan dari negara tetangganya, antara lain ialah Sudan Selatan, Somalia, Rwanda, Burundi dan juga Demokratik Republik Kongo.

Uganda telah menerima pujian karena kebijakan pintu terbukanya kepada pengungsi, dan juga menjadi negara yang murah hati karena dengan kebijakan pengungsi yang progresif serta undang-undang yang mencerminkan kewajiban nasional, regional, dan internasional. Karena itu, di Uganda sendiri pada akhir tahun 2017 tercatat total pengungsi di seluruh wilayah Uganda sebanyak 1.497.126 jiwa pengungsi, sehingga menjadikan Uganda menjadi negara top hosting pengungsi di benua Afrika. Parlemen Uganda sendiri telah mengesahkan Undang-Undang tentang pengungsi pada tahun 2006 dan juga Undang-undang instrumen tentang peraturan pengungsi pada tahun 2010. Undang-Undang tersebut memberikan perluasan hak-hak yang akan dimiliki pengungsi di Uganda, dimana pengungsi di Uganda juga akan mendapatkan hak untuk menerima pendidikan, memperoleh pekerjaan, dan juga dapat melakukan perjalanan di seluruh wilayah Uganda secara hukum.

Republik Uganda yang meletakkan para pengungsi tersebut di daerah pengungsi secara mandiri, dimana para pengungsi yang ada tersebut juga diberikan tanah yang akan dapat digunakan para pengungsi tersebut untuk mencari nafkah. Dalam bulan Juni 2018, sudah terhitung sebanyak 8.729 jiwa pengungsi yang datang ke Uganda, dimana para pengungsi tersebut datang dari negara-negara tetangga, diantaranya adalah negara Sudan Selatan, Somalia, Rwanda, Burundi, Demokratik Republik Kongo, dan juga negara lainnya. Jumlah pengungsi yang datang ke Uganda setiap harinya semakin bertambah tinggi. Namun, dengan besarnya jumlah peningkatan angka pengungsi yang ada di negara ini, memberikan tantangan tersendiri bagi Uganda, seperti overpopulation, dikarenakan pengungsi semakin banyak yang berdatangan karena kebijakan pintu terbuka yang dimiliki Uganda. Banyaknya pengungsi yang terus berdatangan, memberikan dampak tersendiri bagi Uganda yang akan berakibat buruk mulai dari masalah keamanan, masaalah kesehatan, masalah lingkungan, dan juga masalah lainnya.

Dampak kerusakan lingkungan pada pengungsi sendiri sangat kuat, misalnya air yang berkualitas rendah yang dapat mempengaruhi kesehatan, dimana penyakit menular besar kemungkinan berkembang biak dengan cepat. Penebangan pohon secara bertahap memaksa perempuan dan anak-anak untuk berjalan lebih jauh untuk mencari kayu, membuat para wanita khususnya dalam bahaya serangan fisik. Anak-anak juga mungkin harus melewatkan sekolah karena harus membantu orang tuanya. Para pengungsi juga mungkin harus menjual sebagian dari jatah makanan yang mereka dapat untuk mendapatkan bahan bakar yang dibutuhkan untuk memasak sisa makanan, hal tersebut berkontribusi pada peningkatan kadar malnutrisi. Dampak lingkungan juga berdampak pada kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat setempat menyusul kedatangan pengungsi.

Pengungsi menghadapi tantangan dalam mengakses keadilan, terutama di daerah terpencil di mana kehadiran peradilan dan polisi terbatas bahkan tidak ada. Jumlah polisi pada sebagian besar pemukiman tidak memadai untuk menanggapi kebutuhan populasi yang meningkat, terutama petugas polisi wanita yang mewakili pengungsi perempuan untuk maju dan melaporkan insiden Sexual and Gender Based Violence (SGBV).

Ketegangan antara penduduk asli dengan pengungsi jangka panjang akibat persaingan atas penurunan sumber daya (kayu bakar, air, tanah) dan akses layanan yang tidak sama. Ketegangan antar-etnis di antara masyarakat pengungsi juga menjadi perhatian dan mencerminkan konfigurasi kekuatan kelompok kembali di negara asal mereka.

Ada kekhawatiran berbagai kelompok bersenjata dapat memasuki Uganda melalui aliran pengungsi, mengorbankan karakter sipil penduduk suaka dan pengungsi yang berpotensi menyebabkan insiden perekrutan paksa, pelecehan anak, SGBV, dan yang lainnya.

Dengan jumlah wanita dan anak-anak yang signifikan, pengungsi populasi di Uganda sangat rentan terhadap SGBV, termasuk orang dengan kebutuhan khusus. Para penyintas insiden SGBV memiliki sedikit bahkan tidak ada kesempatan secara efektif dalam ganti rugi. Trauma emosional dan psikologis adalah hal yang umum terjadi di kalangan pengungsi yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan terhadap anggota keluarga atau masyarakat. Wanita dan anak-anak berisiko tinggi terhadap serangan ketika bepergian ke daerah terpencil dan terisolasi untuk pengumpulan kayu bakar dan air atau berjalan melalui area komunal dengan pencahayaan yang tidak memadai.

Dalam hal pendidikan, saat ini anak usia sekolah dasar dan anak berusia menengah keluar dari sekolah, dan rata-rata anak-anak terdaftar di kelas yang lebih rendah dari yang diharapkan untuk usia mereka. Ini diperparah dengan tingkat drop out yang tinggi di semua tingkatan dan indikator yang mengkhawatirkan di tingkat primer seperti 154 murid per rasio kelas dan 85 murid per guru. Meskipun kebijakan Pendidikan Dasar Universal Uganda menetapkan pendidikan dasar wajib secara gratis dengan kualitas yang baik untuk semua anak, pungutan liar untuk mengakses pendidikan tetap ada. Kendala keuangan menjadi salah satu hambatan utama untuk pendaftaran pendidikan di sekolah, dimana orang tua dipaksa untuk menutupi biaya bahan skoolastik, seragam sekolah dan biaya ujian.

Risiko kesehatan yang terkait dengan paparan limbah padat yang tidak dikelola tetap menjadi perhatian kritis. Persaingan atas berkurangnya sumber daya alam memiliki potensi untuk memperburuk ketegangan antara pengungsi dan penduduk asli. Penyaringan lingkungan belum terintegrasi dalam penyelesaian perencanaan, memperbesar risiko bahaya sosial seperti banjir, konflik penggunaan lahan dan akses sumber daya, dan hilangnya vegetasi, lahan basah dan daerah aliran sungai setempat. Rata-rata pengungsi dan rumah tangga masyarakat tuan rumah memiliki kurang dari satu sumber cahaya dan 1,5 sumber cahaya per keluarga, dengan ketergantungan yang berat pada bahan bakar berkualitas rendah seperti minyak tanah dan kayu bakar. Akibatnya, risiko polusi udara dalam ruangan, infeksi saluran pernapasan, dan penyakit mata.

Dengan meningkatnya populasi pengungsi dan masuknya pengungsi yang diantisipasi hingga 2020, kapasitas dan sumber daya institusi layanan kesehatan primer tetap berisiko terus menerus mengalami pengembangan. Baik pengungsi dan penduduk asli melaporkan kekurangan obat di fasilitas kesehatan, tantangan terbesar dalam mengakses layanan kesehatan bagi mereka yang mencari perawatan tetapi tidak dapat menerimanya. Perlu juga adanya penguatan layanan kesehatan reproduksi di seluruh respons pengungsi untuk meningkatkan jumlah pengiriman dan dihadiri oleh petugas kesehatan yang terampil. Pada Juni 2018, setiap 100.000 kelahiran hidup terdapat 92 kematian ibu. Perlu adanya perluasan keluarga berencana, kesehatan seksual dan reproduksi remaja, kanker serviks dan layanan HIV/AIDS yang komprehensif, mengingat rendahnya pengetahuan dan kesadaran tentang HIV, faktor sosiokultural stigma terkait HIV /AIDS, penyediaan yang tidak memadai dan penyerapan HIV yang rendah layanan pencegahan dan pengobatan. Negara-negara penghasil pengungsi yang bertetangga dengan Uganda dan daerah pengungsi di Uganda rentan terhadap wabah penyakit menular karena pergerakan lintas batas, sanitasi dan geografis yang tidak memadai di lokasi pemukiman.

Tingkat ketergantungan pengungsi yang mengkhawatirkan di pengungsi, menyoroti risiko bagi pengungsi untuk tergantung pada bantuan kemanusiaan jika intervensi tidak cukup berfokus pada mata pencaharian ke depan. Pengungsi dan penduduk asli membutuhkan dukungan mata pencaharian. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian yang paling umum dilaporkan untuk pengungsi dan penduduk asli. Namun, di seluruh distrik pengungsi, pertanian ditandai rendah dalam produksi dan produktivitas, kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan kerugian pasca panen yang tinggi. Untuk mata pencaharian non-pertanian, layanan dukungan bisnis terbatas, peluang pelatihan kredit mikro dan kejuruan adalah hambatan utama untuk mendapatkan penghasilan di luar pertanian.

Sekitar 217.000 pendatang baru yang diharapkan hingga 2020 akan membutuhkan dukungan tempat penampungan darurat, serta akomodasi di tempat penampungan dan petak pertanian di permukiman. Pengungsi dan penduduk asli melaporkan menghadapi masalah dalam mengakses pasar untuk membeli atau menjual produk pertanian atau ternak. Perlu juga adanya fokus pada relokasi pengungsi dari daerah rawan banjir ke tempat yang lebih tinggi.

Ada kurangnya manajemen sumber daya air terintegrasi, dengan perkembangan di permukiman. Di pemukiman yang menampung pengungsi, tidak tersedianya bahan untuk pembangunan jamban keluarga ditambah dengan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat telah menunda transisi dari jamban komunal ke keluarga. Kurangnya perilaku yang selaras dan spesifik konteks mengubah strategi komunikasi untuk kesadaran kebersihan inisiatif terus memperlambat adopsi praktik kebersihan positif di kalangan pengungsi. Hal ini semakin memburuk oleh penyediaan pasokan kebersihan yang terbatas. Kesadaran tentang cuci tangan pun tampaknya relatif tinggi di antara rumah tangga pengungsi, saat tangan kotor, akan memasak dan saat akan makan.

Dengan demikian UNHCR akan turun tangan, membantu Pemerintahan Uganda untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sendiri, dikarenakan tidak terdapat solusi yang bertahan lama di Uganda. UNHCR disini memberikan bantuan kepada pemerintah Uganda untuk membuat kebijakan dan juga memberikan saran teknis dalam menyusun undang-undang. Tidak hanya itu saja, pemerintah Uganda bersama UNHCR RRP Uganda tahun 2019-2020 yang menjabarkan pendekatan beserta langkah-langkah untuk mengatasi kebutuhan prioritas untuk Uganda sendiri dan juga untuk pengungsi. UNHCR bersama mitranya akan selalu menerapkan dan juga mengkoordinasikan perlindungan bagi para pengungsi yang ada di Republik Uganda.

PEMBAHASAN

Konvensi Pengungsi Tahun 1951

Konvensi Pengungsi tahun 1951 atau yang biasa dikenal dengan Konvensi terkait Status Pengungsi, merupakan perjanjian multilateral yang mengartikan status pengungsi itu sendiri, serta menetapkan hak-hak bagi pengungsi untuk mendapatkan tempat berlindung di negara ketiga dan juga mendapatkan tanggung jawab negara ketiga yang memberikan tempat berlindung bagi para pengungsi. Selain itu, Konvensi Pengungsi tahun 1951 ini juga menetapkan siapa saja orang-orang yang tidak dapat memenuhi kriteria sebagai pengungsi, contohnya seperti penjahat perang. Konvensi Pengungsi tahun 1951 ini juga memberikan hak perjalan bebas visa bagi siapa saja yang berhasil mendapatkan dokumen perjalanan yang dikeluarkan berdasarkan Konvensi Pengungsi tahun 1951 tersebut.

Konvensi Pengungsi tahun 1951 ini disetujui oleh Konferensi Istimewa dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 28 juli 1951. Konvensi Pengungsi tahun 1951 ini awalnya hanya dibatasi untuk melindungi pengungsi Eropa pada saat setelah terjadinya Perang Dunia II, lalu sampai pada negara-negara yang sepakat membuat deklarasi yang melakukan hal yang sama kepada pengungsi dari kawasan lainnya. Konvensi Pengungsi tahun 1951 juga didasarkan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal tahun 1948, yang dimana mengakui hak-hak orang yang sedang mencari suaka atau tempat berlindung untuk menghindari adanya penindasan yang ada di negara-negara lainnya, dan juga pengungsi dapat hak dan keuntungan pada sebuah negara selain dalam negara yang bersedia dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951 tersebut.

Dalam Pembukaan naskah Konvensi Pengungsi tahun 1951, dipaparkan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1948, menegaskan bahwa manusia harus menikmati hak serta kebebasan fundamental tanpa adanya diskriminasi. Menimbang bahwa PBB pada berbagai kesempatan telah mewujudkan rasa prihatin yang dalam terhadap para pengungsi dan berusaha untuk menjamin para pengungsi atas penggunaan hak dan kebebasan fundamental seluasluasnya. Menimbang untuk melakukan perubahan serta penyatuan persetujuan internasional mengenai status para pengungsi dan juga perluasan ruang lingkup dan perlindungan yang diberikan oleh persetujuan-persetujuan termaksud. Berpikir bahwa pemberian tempat perlindungan bagi para pengungsi dapat memberikan beban yang terlalu berat bagi negara tertentu, dan bahwa penyelesaian masalah diakui sebagai masalah dengan lingkup yang bersifat internasional, yang oleh karena itu tidak dapat diselesaikan tanpa adanya kerja sama internasional. Menyatakan keinginan semua negara yang mengakui sifat sosial dan kemanusiaan mengenai masalah pengungsi, akan melakukan segalanya untuk mengatasi dan mencegah masalah ketegangan dengan negara lainnya dengan menggunakan kekuasaannya. Dan yang terakhir, mencatat bahwa Komisaris Tinggi PBB yang mengurusi pengungsi, ditugaskan untuk mengawai konvensi-konvensi yang mengatur tentang perlindungan para pengungsi dan melaksanakan koordinasi yang efektif, tindakan yang diambil untuk mengatasi masalah akan tergantung pada negara-negara dan juga Komisaris Tinggi (UNHCRa.)

Protokol Status Pengungsi 1967

Dalam Protokol 1967 ini menghapus batasan waktu dan diterapkan pada pengungsi tentang “tanpa batasan geografi manapun”, tetapi deklarasi sebelumnya yang telah dibuat oleh negaranegara anggota tersebut tidak termasuk dalam cakupan protokol. Dalam Protokol Status Pengungsi 1967, negara-negara anggota menimbang bahwa Konvensi Status Pengungsi 1967 hanya mencakup orang-orang yang telah menjadi pengungsi sebagai akibat dari peristiwaperistiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951. Menimbangkan bahwa situasi pengungsi baru timbul semenjak diterimanya Konvensi, dan berhubungan itu, para pengungsi yang bersangkutan mungkin tidak termasuk ruang lingkup Konvensi. Dan yang terakhir, negara-negara anggota Protokol Status Pengungsi 1967 menimbang bahwa para pengungsi mendapatkan status yang sama untuk dinikmati. 

Kebijakan Pengungsi Uganda dan Peran UNHCR

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditugaskan untuk memastikan perlindungan pengungsi dan penyelesaian masalah pengungsi yang ada di seluruh dunia. Tujuan utama dari UNHCR sendiri adalah untuk menjaga hak dan juga menjaga kesejahteraan para pengungsi. Hal ini juga termasuk usaha guna memastikan bahwa setiap pengungsi dapat menggunakan haknya untuk mecari suaka (tempat mengungsi) dan juga menemukan tempat perlindungan yang aman di negara bagian lainnya, dengan diberikan pilihan untuk kembali ke negara tempat tinggal asalnya, pembentukan wewenang kekuasaan pusat atas wilayah-wilayah politik secara lokal, atau untuk bertempat tinggal di negara ketiga (negara bagian lain).

Oganisasi Internasional UNHCR ini mempunyai peran yang sangat penting untuk mengatasi masalah overpopulasi pengungsi yang terjadi di Republik Uganda. Menurut teori peran organisasi internasional, bantuan yang diberikan organisasi internasional melalui segi bantuan kemanusiaan dan juga hak asasi manusia. Pada segi bantuan kemanusiaan, organisasi internasional fokus untuk mencari mana saja wilayah yang membutuhkan bantuan, lalu memenuhi kebutuhan apa saja yang dibutuhkan oleh wilayah tersebut. Tidak hanya itu saja, organisasi internasional tersebut juga akan menginformasikan masalah yang dihadapi wilayah tersebut agar wilayah lain mungkin dapat memberikan bantuan melalui pemberian dana atau bantuan lainnya. Untuk segi hak asasi manusia, organisasi internasional melakukan pantauan untuk melihat apakah perjanjian yang telah disetujui berjalan dengan baik dan tidak dilakukan pelanggaran. Selain itu juga, organisasi internasional memberikan identifikasi dan juga menetapkan kategori untuk macam-macam hak yang ada atau dibutuhkan masyarakat.

Dalam mengatasi permasalahan overpopulasi pengungsi yang terjadi pada Republik Uganda, UNHCR memberikan bantuan kemanusiaan menyediakan akses pendidikan untuk anak-anak pengungsi dan penduduk asli, akses bantuan kesehatan, memenuhi kebutuhanpangan dan gizi, memastikan pengungsi memiliki akses ke suaka teritorial agar dapat menikmati hak mereka, dan masih banyak yang lainnya. Bersama dengan pemerintah Uganda, sudah banyak yang dilakukan untuk berusaha menyelesaikan permasalahan overpopulasi pengungsi yang ada di Uganda.

Parlemen Uganda telah mengesahkan undang-undang tentang pengungsinya pada tahun 2006 bersama dengan disahkannya undang-undang instrumen yang merupakan Peraturan Pengungsi 2010, yang memperluas hak-hak pengungsi di Uganda, karena sekarang pengungsi dapat bekerja, menerima pendidikan dan perjalanan di seluruh Uganda secara hukum.

Undang-undang Pengungsi disusun oleh pemerintah Uganda dengan saran teknis dari UNHCR, untuk memandu pelaksanaan UU dan regulasi tersebut yang diharapkan dapat dirumuskan. Undang-Undang Pengungsi 2006 tersebut bersamaan dengan keutamaan Uganda, yang menerima setiap pencari suaka ke Uganda dari Sudan Selatan, Somalia, Rwanda, Burundi, Demokratik Republik Kongo, dan juga negara lainnya yang membuat kebijakan Uganda di antara yang paling dermawan di seluruh dunia.

Uganda terus memiliki kebijakan suaka yang murah hati, menyambut pengungsi dari tetangga negara. Oleh karena itu, pemerintah Uganda menerima, mendaftarkan, dan mengeluarkan dokumen-dokumen sipil untuk pengungsi dan memutuskan permohonan suaka dan banding dengan dukungan UNHCR. Karenanya pencari suaka yang tiba di wilayah perbatasan memiliki akses ke layanan dan fasilitas publik yang ada seperti air, sanitasi, layanan kesehatan dan sekolah, serta sumber daya alam seperti kayu bakar, yang dibagikan dengan komunitas lokal. 

Pemerintah Uganda juga mengalokasikan lahan untuk digunakan bagi pengungsi untuk digunakan bagi perumahan dan pertanian sehingga mereka dapat menanam makanan mereka sendiri dan menjual keuntungan mereka yang dapat berkontribusi pada ekonomi. Pemukiman di Uganda memberikan kesempatan hidup yang lebih besar bagi keluarga pengungsi untuk mencapai keamanan sosial ekonomi membantu mereka mengurangi ketergantungan pada makanan dan bantuan. Kebijakan Pengungsi pemerintah dari luar pemukiman juga dapat mendukung dan menyediakan kebutuhan bagi para pengungsi, oleh karena itu UNHCR beserta mitranya akan terus menerapkan dan mengkoordinasikan perlindungan bagi para pengungsi yang ada di Uganda. 

Pemerintah Uganda bersama dengan UNHCR membuat Uganda Country Refugee Response Plan 2019-2020. RRP Uganda dipandu oleh strategi dan prioritas operasional secara keseluruhan, menjabarkan pendekatan serta langkah-langkah bahwa sektor-sektor tersebut membayangkan untuk mengatasi kebutuhan yang di identifikasi, dengan fokus pada kebutuhan prioritas. Fokus RPP Uganda tersebut terbagi menjadi 10 sektor, diantaranya adalah perlindungan secara keseluruhan, perlindungan anak, SGBV, Pendidikan, Energi dan Lingkungan, Ketahanan Pangan, Kesehatan dan Nutrisi, Mata Pencaharian dan Ketahanan, Tempat Berlindung Pemukiman dan NFIs, serta yang terakhir adalah sektor WASH.

Tujuan Perlindungan secara keseluruhan adalah untuk memastikan bahwa pengungsi memiliki akses ke suaka teritorial dan prosedur suaka yang adil dan cepat, dan sepenuhnya menikmati hak-hak mereka sebagaimana diatur dalam undang-undang pengungsi internasional dan domestik, termasuk dokumentasi, kebebasan bergerak, hak untuk bekerja dan akses ke layanan. Memperkuat layanan dan infrastruktur psikososial di daerah pengungsi-hosting tetap menjadi prioritas utama, termasuk identifikasi individu yang membawa trauma, penyediaan konseling individu dan kelompok dan tindak lanjut. Mitra akan meningkatkan upaya dan intervensi yang bertujuan untuk menumbuhkan koeksistensi damai di antara pengungsi dan penduduk asli, termasuk dialog masyarakat, kampanye advokasi dan kesadaran menyoroti dampak positif kehadiran pengungsi terhadap perekonomian lokal.

Mitra Perlindungan Anak akan terus memperkuat sistem manajemen kasus melalui penekanan pada prioritas dan pengembangan keterampilan tenaga kerja. Fokus akan tetap pada peningkatan penempatan anak-anak tanpa pendamping dalam perawatan alternatif, termasuk pelatihan orang tua asuh dan penyediaan dukungan mata pencaharian. Mengingat kapasitas tenaga kerja perlindungan anak yang terbatas, struktur perlindungan anak berbasis masyarakat akan diperkuat melalui pelatihan, pendampingan yang berkelanjutan, dan dukungan untuk menindaklanjuti secara efektif dan memantau anak-anak dengan perlindungan untuk memastikan identifikasi dini dan mitigasi risiko perlindungan lebih lanjut. Penyediaan dukungan untuk pendidikan pasca-pendidikan dasar, pelatihan keterampilan kejuruan dan intervensi untuk pengungsi dan remaja dan remaja komunitas tuan rumah akan diperkuat untuk mengurangi kerentanan terhadap berbagai risiko perlindungan, termasuk kehamilan remaja, pernikahan dini dan transaksi obat-obatan.

Kegiatan kesadaran akan diperkuat untuk meningkatkan pemahaman tentang SGBV, Eksploitasi dan Pelecehan Seksual, perdagangan manusia dan mekanisme yang ada untuk melaporkan insiden ini. Investasi di bidang infrastruktur dan aset sangat penting dalam mencegah dan merespons SGBV, termasuk pemasangan lampu keamanan di area umum, pendirian ruang aman dan pusat kesehatan untuk wanita, layanan psikososial, dukungan medis dan hukum bagi penyintas SGBV, dan pengadaan kendaraan dan sepeda motor tambahan untuk meningkatkan mobilitas polisi dalam patroli dan penjangkauan. Peningkatan kapasitas penyedia layanan akan menjadi kunci untuk memastikan penyediaan kualitas dan layanan yang efektif untuk penyintas SGBV.

Sektor Pendidikan menyediakan anak-anak pengungsi dan penduduk asli dengan akses yang merata dan inklusif ke pendidikan dan untuk memperkuat sistem di nasional. Strategi ini telah dirancang untuk memungkinkan mereka yang keluar dari sekolah untuk kembali ke sekolah dan mereka yang berada di sekolah dan beresiko putus sekolah untuk melanjutkan pembelajaran mereka. Untuk membawa lebih banyak peserta didik ke dalam pendidikan dan memastikan kualitas pembelajaran, kapasitas penyerapan primer dan sekolah menengah akan diperkuat melalui pengaturan meningkatkan target dalam murid: rasio guru selama dua tahun, serta mempromosikan pergeseran ganda ke mengatasi kepadatan yang signifikan dan pendaftaran berlebihan dalam pendidikan dasar. Rasio guru sangat penting untuk mencapai hasil pembelajaran yang lebih baik. Sektor ini akan terus berinvestasi dalam kualitas pengajaran dan pembelajaran melalui profesional berkelanjutan pengembangan untuk guru.

Pendekatan berbasis tangkapan akan digunakan untuk merencanakan dan mengimplementasikan perlindungan lingkungan dan sumber daya alam dan restorasi sambil mempromosikan mata pencaharian hijau. Minimal 20 pohon akan ditanam dan dipelihara pengungsi dan penduduk asli pertahun, buah pohon dan spesies yang berguna untuk memenuhi kebutuhan pengungsi dan tuan rumah. Perkebunan untuk energi juga akan didirikan untuk setiap pemukiman. Permintaan bahan bakar memasak akan menurun dengan meningkatkan akses hemat energi di rumah tangga dan institusi. Sumber energi alternatif seperti surya, briket dan biogas akan dipromosikan jika sesuai.

Rencana Ketahanan Pangan membayangkan kelanjutan bantuan pangan umum bagi pengungsi untuk memungkinkan mereka memenuhi makanan langsung mereka dan kebutuhan gizi dan mempertahankan tingkat ketahanan pangan minimum. Biometric Identity Management System (BIMS) UNHCR akan digunakan untuk memverifikasi identitas semua orang berwenang untuk mengumpulkan bantuan makanan atas nama rumah tangga penerima. Intervensi berbasis kas akan semakin menggantikan makanan sebagai modalitas transfer untuk memberikan tambahan fleksibilitas dalam pilihan komoditas pangan lokal yang tersedia dan untuk meningkatkan prospek pasar lokal.

Strategi sektor Kesehatan & Gizi adalah memastikan integrasi penuh kesehatan primer yang komprehensif, layanan perawatan bagi pengungsi ke dalam sistem pemerintah nasional. Mitra kesehatan akan terus meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar sektoral; memperkuat penyediaan layanan kesehatan di distrik pengungsian, baik untuk pendatang baru maupun pengungsi jangka panjang; dan memperkuat sistem kesehatan di daerah pengungsi. Pengungsi yang kekurangan gizi akan dirawat berdasarkan ada atau tidaknya komplikasi. Pasien yang menderita malnutrisi akut parah tanpa komplikasi medis akan diberikan perawatan rawat jalan; mereka yang menderita malnutrisi dengan komplikasi medis akan menerima perawatan rawat inap; dan mereka yang menderita Moderate Acute Malnutrition (MAM) akan terdaftar di Program pemberian makanan tambahan. Kegiatan kesiapsiagaan dan respons darurat akan diperkuat untuk meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan penyedia untuk secara efektif menanggapi potensi wabah penyakit, termasuk dengan meningkatkan pengawasan penyakit dan menimbun obat-obatan penting. 

Pendekatan akan digunakan untuk menstabilkan dan membangun mata pencaharian yang beragam, berkelanjutan, dan tangguh, dengan intervensi mata pencaharian darurat berfungsi sebagai dasar untuk mengembangkan strategi jangka panjang. Sejalan dengan individu keterampilan, pengetahuan dan aspirasi, mata pencaharian darurat dukungan akan mempromosikan penciptaan lapangan kerja baru. Transisi ke mata pencaharian berkelanjutan membutuhkan promosi peluang yang didorong pasar, sektor swasta keterkaitan dan peningkatan kapasitas individu yang luas dan kelompok mata pencaharian untuk meningkatkan kegiatan. Investasi strategis dalam bisnis akan mendukung rantai nilai dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan. Sektor ini akan meningkatkan kapasitas membangun upaya peningkatan kejuruan, teknis, keterampilan bisnis, kewirausahaan, dan keuangan pengungsi dan komunitas tuan rumah.

Sektor Tempat Berlindung, Pemukiman dan NFIs akan terus memastikan bahwa semua populasi yang menjadi perhatian menerima tempat berlindung dan NFIs yang tepat waktu dukungan sejalan dengan standar minimum yang disepakati untuk Uganda. Penerapan strategi penampungan yang direvisi, menggabungkan lebih ramah lingkungan, peka budaya dan opsi desain yang fleksibel, akan menjadi tujuan sektor inti. Selain itu, pembentukan perencanaan penyelesaian pedoman akan memfasilitasi perbaikan perencanaan lokasi dan berkontribusi untuk memaksimalkan penggunaan lahan, meningkatkan manfaat bagi kehadiran pengungsi dan memperluas peluang mata pencaharian bagi pengungsi dan tuan rumah.

Sektor WASH bertujuan untuk memastikan bahwa pengungsi dan penduduk tuan rumah memiliki akses yang aman dan memadai ke air berkualitas layanan sanitasi dan kebersihan yang ditingkatkan, termasuk di tingkat rumah tangga dan di institusi seperti sekolah dan fasilitas kesehatan. Tujuan keseluruhan untuk memastikan bahwa pengungsi dapat memenuhi hak dasar mereka untuk air, sanitasi dan kebersihan, sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Meningkatkan efektivitas biaya dalam memberikan layanan air dan sanitasi tetap menjadi prioritas utama, termasuk melalui pengoptimalan infrastruktur yang ada dan adopsi teknologi digital yang sesuai.

Dalam UNHCR Uganda Weekly Update November 2020, dipaparkan dengan jelas informasi yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun, yakni 2019 hingga 2020 pelaksanaan RRP Uganda. Beberapa sektor dari Uganda Country Refugee Response Plan 2019-2020 sudah berjalan dengan baik, misalnya pada sektor pendidikan yang terus diberikan bantuan oleh mitra UNHCR berupa kit Early Childhood Development yang dimana berkontribusi pada peningkatan dan penyimpanan, serta lingkungan belajar yang aman bagi peserta didik. Tidak hanya itu saja, didistribusikan juga radio-radio yang digunakan untuk membantu pembelajaran jarak jauh yang ditujukan untuk anak-anak yang tidak berada dalam kelas kandidat dan masih berada dalam rumah. Sektor pendidikan akan terus diberikan peningkatan kapasitas pemantauan serta evaluasi respon pendidikan.

Sektor perlindungan anak juga berjalan dengan baik, dibuktikan dengan pendampingan dan memberikan Psychosocial Support untuk anak-anak yang terserang stres yang ekstrem dengan memberikan terapi. Anak-anak yang terserang stress akan dibantu untuk mulai mengendalikan perilaku, serta mengubah pikiran dan batin mereka melalui cara yang lebih bermakna.

Pada sektor kesehatan juga dirasa sudah berjalan dengan baik, dibuktikan dengan memberikan vaksin kepada pengungsi maupun penduduk asli, seperti vaksin Human Papilloma Virus (HPV), vaksin campak, obat cacing dan suplementasi vitamin A, vaksin DPT, dan juga vaksin PCV. Dalam menanggulangi persebaran COVID-19, para tenaga kesehatan di Uganda juga melaksanakan kajian terkait Covid-19 di rumah sakit besar yang ada di Uganda, dimana menguji kit diagnostik rapid test. Sektor kesehatan juga tidak melupakan akan penyakit lainnya yang sering terjadi di Uganda, tenaga kesehatan juga memberikan konsultasi kepada pengungsi maupun penduduk asli terkait penyakit malaria, penyakit kulit, diare, dan infeksi saluran pernapasan akut.

Sektor WASH juga tidak mengalami masalah dan terus memperluas dan peningkatan sanitasi di lingkungan pemukiman pengungsi. Sektor Wash juga mendapat tambahan USD 400.000 dari ECHO untuk proyek infrastruktur yang sedang berjalan.

Namun, masih ada sektor yang dianggap tidak berjalan dengan efektif, salah satunya adalah pada sektor SGBV. Pada tahun 2020 sendiri, sudah tercatat sebanyak 3.398 kasus yang terjadi, meliputi dari pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, serta kasus lainnya. Yang dimana kasus SGBV mengalamai lonjakan insiden pada periode pra COVID-19.

Sektor tempat berlindung, pemukiman, dan NFIs juga hanya fokus untuk membuka lahan untuk memberikan lahan bermukim kepada pengungsi yang terus berdatangan di Uganda, seperti di Imvepi misalnya yang menerima 61 pendatang baru pada tahun 2020, dan di Rwanda menerima 10 pendatang, serta 187 kelahiran baru. Dimana sektor ini tidak menguatamakan perbaikan jalan yang rusak di area pemukiman sekitar, dimana hal tersebut memberikan kendala, seperti susahnya menyalurkan perlengkapan seperti obat-obatan dan lainnya.

KESIMPULAN

Dengan terbukanya Uganda untuk menerima dan menampung para pengungsi yang datang dari negara lain, membuat Uganda mengalami kelebihan penduduk. Kelebihan penduduk tersebut berdampak buruk bagi Uganda sendiri, yang dapat mengakibatkan berbagai masalah seperti masalah lingkungan, masalah kesehatan, kelaparan, pertikaian antara pengungsi dan penduduk asli, dan permasalahan lainnya. Hal tersebut membuat Pemerintahan Uganda membuat Undang-Undang Pengungsi yang disusun oleh pemerintah sendiri dengan bantuan teknis dari UNHCR.

Oganisasi Internasional UNHCR ini mempunyai peran yang sangat penting untuk mengatasi masalah overpopulasi pengungsi yang terjadi di Republik Uganda. Menurut teori peran organisasi internasional, bantuan yang diberikan oleh UNHCR adalah melalui segi bantuan kemanusiaan dan juga hak asasi manusia. Pada segi bantuan kemanusiaan, UNHCR fokus untuk mencari mana saja wilayah yang membutuhkan bantuan, lalu memenuhi kebutuhan apa saja yang dibutuhkan oleh wilayah tersebut. Dan pada segi hak asasi manusia, UNHCR melakukan pantauan untuk melihat apakah perjanjian yang telah disetujui berjalan dengan baik dan tidak dilakukan pelanggaran.

UNHCR beserta mitranya dan juga bersama Pemerintah Uganda membuat Uganda Country Refugee Response Plan 2019-2020, dimana berisi rencana-rencana selama awal tahun 2019 hingga akhir tahun 2020 yang akan dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang ada di Uganda terkait pengungsi dan termasuk penduduk asli. Rencana tersebut dibagi menjadi 10 sektor, diantaranya adalah sektor perlindungan secara keseluruhan, perlindungan anak, SGBV, Pendidikan, Energi dan Lingkungan, Ketahanan Pangan, Kesehatan dan Nutrisi, Mata Pencaharian dan Ketahanan, Tempat Berlindung Pemukiman dan NFIs, serta yang terakhir dan yang tak kalah penting adalah sektor WASH.

Pemerintah Uganda dan UNHCR hanya fokus menyelesaikan masalah yang timbul akibat overpopulasi yang terjadi, bukan masalah overpopulasinya yang diselesaikan. Walaupun terdapat beberapa sektor yang berhasil menangani masalah yang timbul dari overpopulasi yang terjadi di Uganda, hal tersebut tidak akan berjalan lama karena semakin banyak pengungsi yang berdatangan di Uganda, akan meningkatan kebutuhan pokok seperti air dan makanan. Jika lahan di Uganda terus dijadikan pemukiman, lahan untuk bercocok tanam akan berkurang dan juga pasokan air juga akan cepat habis. Sehingga akan menimbulkan penyakit yang akan menyerang pengungsi maupun penduduk asli, misalnya seperti kelaparan.

Sebaiknya Pemerintah Uganda dan UNHCR membatasi pengungsi yang terus berdatangan ke Uganda, agar masalah overpopulasi bisa ditekan dan masalah yang timbul akibat overpopulasi juga tidak semakin besar. Hal ini juga ditujukan untuk kebaikan Uganda, penduduk asli, dan juga pengungsi yang berada di Uganda.


DAFTAR PUSTAKA

Jurnal dan artikel:

Kyazike, J., 2018. Refugees and Enviromental Security in Uganda. pp. 15-22.

Website:

References Britannica. (n.d). International Refugee Organizations. Retrieved October 30, 2020, from https://www.britannica.com/topic/International-Refugee-Organization-historical-UN-agency.

Refworld. (n.d.). The Refugees Act 2006. Retrieved November 02, 2020, from https://www.refworld.org/docid/4b7baba52.html

UNHCRa. (n.d.). Konvensi dan Protokol Mengenai Status Pengungsi. Retrieved October 30, 2020, from https://www.unhcr.org/id/wpcontent/uploads/sites/42/2017/05/konvensidanprotokol.pdf

UNHCRb. (n.d.). Uganda Country Refugee Response Plan 2019-2020. Retrieved October 27, 2020, from https://data2.unhcr.org/en/documents/details/67314

UNHCRc. (n.d.). UNHCR Uganda Weekly Update. Retrieved January 05, 2021, from https://data2.unhcr.org/en/documents/details/83056

4 Comments

Leave a comment