Peran Teknologi Energi Nuklir dalam Transisi Energi Terbarukan sebagai Strategi Mencapai Target COP21 Tahun 2050

Oleh : Muhammad Daffa Aditya, Tri Utami Setia Budiati, Noor Wahid Hidayattulloh, Universitas Muhammadiyah Malang
Pendahuluan
Perjanjian Paris adalah tonggak sejarah dalam upaya global untuk
mengatasi perubahan iklim. Disepakati
pada pertemuan yang diadakan oleh Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC ) pada Konferensi PBB tentang Perubahan
Iklim ke-21 (COP21) di Paris pada
Desember 2015. Kesepakatan utama yang dihasilkan dari COP21 dikenal sebagai Perjanjian Paris. Ini adalah
kesepakatan historis di mana hampir semua negara di dunia setuju untuk bekerja sama dalam upaya mengurangi emisi
gas rumah kaca dan menangani dampak perubahan
iklim. Salah satu poin kunci dari Perjanjian Paris adalah target untuk
menjaga kenaikan suhu global di bawah 2
derajat Celsius di atas level pra-industri, dengan upaya untuk membatasi
kenaikan suhu hingga 1,5 derajat
Celsius. Untuk mencapai hal ini, negara-negara yang berpartisipasi
diharapkan untuk menetapkan target
pengurangan emisi nasional mereka sendiri dan secara berkala melaporkan kemajuan mereka.
Namun, tantangan yang signifikan tetap ada. Implementasi
Perjanjian Paris memerlukan kerjasama
yang kuat antara negara-negara, serta komitmen politik yang berkelanjutan.
Selain itu, ada kebutuhan untuk
memastikan bahwa upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan tidak
meninggalkan negara-negara paling rentan
di belakang, dan untuk memperkuat ketahanan mereka terhadap dampak perubahan iklim yang tidak terhindarkan
(Robbins, 2016). Selain itu, Perjanjian Paris menegaskan pentingnya bantuan keuangan dari negara-negara
maju kepada negara-negara berkembang dalam
rangka memfasilitasi transisi mereka ke ekonomi rendah karbon dan
meningkatkan ketahanan mereka terhadap
dampak perubahan iklim. Pada Konferensi COP21, negara-negara maju berjanji
untuk menyediakan setidaknya 100 miliar
dolar AS per tahun mulai tahun 2020 untuk mendukung tindakan iklim di negara-negara berkembang.
(Agreement, 2015)
Pada tahun 2015 sebanyak
197 Negara mengadopsi Paris Agreement dalam
melakukan peningkatan upaya internasional untuk mengatasi perubahan iklim
dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang
juga di ikuti oleh tiga negara penghasil emisi terbesar didunia yaitu China,
Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa
(UE). Dimana upaya ini dilakukan untuk membatasi kenaikan suhu global dari 2°C menjadi 1,5°C dan menjadi netral karbon,
topik ini disebut dengan Net Zero Energy (NZE) yang diharapkan bisa tercapai pada tahun 2050.
Departemen Layanan umum di negara bagian California mengatakan bahwa “NZE adalah strategi dengan
pendekatan taktis untuk mencapai tujuan
pengurangan emisi gas rumag kaca dan Nol karbon”(Moghaddasi et al.,
2021). Negara bagian seperti New York
dan California telah melakukan proyek Net Zero Energy Building (NZB) sebagai
solusi utama target pengurangan gas
rumah kaca. Tetapi European Climate foundation menyatakan meskipun telah dilakukan usaha Net Zero Energy (NZE)
pada tahun 2050 tetapi emisi tahunan hanya akan
berkurang sebesar 30% pada tahun 2050. Jadi AS dan UE telah berkomitmen
untuk menjadi netral karbon pada tahun
2050 sedangkan China berusaha mencapai target emisi nol bersih sebelum
tahun 2060.
Energi yang merupakan elemen kunci dalam pencapaian Agenda
Pembangunan Berkelanjutan, energi menghubungkan dan menjadi dasar tercapainya
seluruh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Untuk mencapai peningkatan
kualitas hidup di semua negara sambil melindungi alam, kita perlu meluasnya
akses energi dan transisi penuh ke teknologi energi bersih dalam beberapa
dekade mendatang.Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan aksi iklim yang
mendesak menjadi sorotan perhatian internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah mengakui bahwa dunia saat ini berada dalam darurat iklim. Mengingat
produksi dan penggunaan energi merupakan sumber dari sekitar 75% emisi CO2
antropogenik global dan gas rumah kaca lainnya, maka pencapaian target ini
membutuhkan transformasi dramatis pada sistem energi global. Temuan dari proyek The
United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) yang berjudul
"Memperkuat Kapasitas Negara-Negara Anggota UNECE untuk Mencapai Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan Terkait Energi – Jalur Menuju Energi Berkelanjutan”
Studi tersebut menekankan pentingnya penerapan semua teknologi rendah karbon yang tersedia untuk menutup
kesenjangan antara target yang diharapkan dan upaya yang sudah dijanjikan saat
ini. Dengan kata lain, tidak ada satupun
teknologi rendah karbon yang boleh diabaikan untuk mencapai target
tersebut.(UNECE, 2020).
Pembahasan
Energi Nuklir
Energi nuklir terus berkembang dengan teknologi baru yang sedang dikembangkan. Teknologi ini akan memperluas jangkauan aplikasi energi nuklir dan meningkatkan integrasinya dengan sumber energi rendah karbon lainnya. Dengan demikian, energi nuklir dapat menjadi bagian dari bauran energi masa depan yang rendah emisi karbon, bersama sumber energi terbarukan yang variabel dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon with carbon capture and storage (CCS).(UNECE, 2020). Selama periode 1971–2018, tenaga air dan tenaga nuklir memasok sebagian besar pembangkitan rendah karbon, dengan tenaga nuklir memasok hampir 50% pada 1990-an. Dengan asumsi listrik dari PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) akan dihasilkan menggunakan campuran bahan bakar fosil rata-rata, tenaga nuklir diperkirakan telah menghindari emisi total 74 gigaton karbon dioksida (Gt CO2) selama periode ini, setara dengan emisi kumulatif dari seluruh sektor ketenagalistrikan selama enam tahun dari 2013 hingga 2018. Selama periode yang sama, perkiraan untuk tenaga air adalah 98 Gt CO2 dan untuk energi terbarukan lainnya adalah 15 Gt CO2(IAEA, 2020).
Pada akhir tahun 2021, total kapasitas pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) dunia mencapai 389,5 gigawatt (listrik) (GW(e)).
Listrik ini dihasilkan oleh 437 reaktor
nuklir operasional yang tersebar di 32
negara. Belgium, Bulgaria, Croatia, Czech Republic, Finland, France,
Hungary, Slovakia, Slovenia, Spain,
Sweden, Ukraina, Amerika Serikat, Jepang, India dll.Pembangkit listrik tenaga nuklir memasok 2.653,1 terawatt-jam listrik bebas emisi gas rumah kaca pada tahun
2021. Jumlah ini menyumbang sekitar 10% dari total pembangkitan listrik global dan
lebih dari seperempat produksi listrik rendah karbon
dunia(UNECE, 2020).
Laporan IPCC 1.5°C yang diterbitkan akhir tahun 2018 menyajikan
89 skenario mitigasi di mana pembangkitan listrik tenaga nuklir tumbuh
rata-rata 2,5 kali lipat dari level saat ini hingga tahun 2050.Lebih lanjut,
skenario ilustrasi 'jalan tengah' – yang menggambarkan tren sosial, ekonomi,
dan teknologi mengikuti pola saat ini tanpa perubahan besar dalam kebiasaan
pola makan dan perjalanan – menunjukkan bahwa permintaan terhadap pembangkitan
listrik tenaga nuklir akan meningkat enam kali lipat pada tahun 2050. Dengan
peningkatan tersebut, teknologi nuklir diproyeksikan menyediakan 25% dari
listrik global. Energi nuklir kemudian dapat menjadi sumber listrik yang telah
terbukti dan menjadi alat penting untuk membantu dunia berhasil mengurangi
dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, negara-negara yang memilih mengejar
energi nuklir perlu secara dramatis mempercepat pembangunan reaktor di
tahun-tahun mendatang untuk membantu mencegah kenaikan suhu global lebih dari
2°C(UNECE, 2020)
PLTN
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) atau yang disingkat
sebagai PLTN itu sendiri merupakan
komponen mesin yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik yang
memanfaatkan energi nuklir sebagai
energi utama. Konsep kerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) itu sendiri, dimana tenaga nuklir menghasilkan
uap panas yang mampu untuk menggerakan mesin atau yang disebut juga sebagai turbin.
Sederhananya, perancangan PLTN itu sendiri terdiri dari air mendidih, boiled water reactor yang bisa
menggerakan mesin pembangkit listrik tenaga nuklir pada umumnya. Setelah ada reaksi nuklir fisi
secara berkelanjutan di dalam reaktor, maka akan muncul panas atau energi kemudian air mengalir
dialirkan di dalamnya. Lalu uap panas masuk ke turbin dan turbin berputar pada poros turbin yang
dihubungkan menggunakan generator yang membuat
listrik(Wulandari et al., 2022)
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama yang beroperasi
dan diakui secara internasional dalam
hal ini IAEA (Badan Energi Atom Internasional) terletak di OBNISK, 100 km
dari Moskow (sekarang Rusia), Uni
Soviet. Pembangkit ini diresmikan pada tanggal 26 Juni 1954 dengan kapasitas 5 MWe dan jenis reaktor - reaktor
grafit air bertekanan. Negara kedua yang memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir adalah
Britania Raya, yang mulai dibangun pada 1 Agustus 1953 di Cumbria. Dua unit PLTN yang sedang dibangun
diberi nama CALDER HALL UNIT A dan CALDER
HALL UNIT B. Setiap unit berkapasitas 50 MWe dan merupakan tipe reaktor
GCR (Gas Cooled Reactor). Unit A dibuka
pada 27 Agustus 1956, dan Unit B pada 1 Februari 1957. PLTN juga dibangun di negara berkembang, yang pertama mulai
beroperasi di Tarapur, India tahun 1969 dari jenis BWR dengan pemasok: General Electric (GE) dari
Amerika Serikat, dan yang kedua bernama Kanupp
(Karachi Nuclear Power Plant) dari jenis HWR dengan pemasok: Atomic
Energy of Canada Limited (AECL) dari
Kanada di Karachi, Pakistan, diresmikan pada tahun 1971. Dengan
perkembangan tersebut di atas, jumlah
PLTN di dunia dalam tahun 1970 mencapai 90 dengan kapasitas seluruhnya 16500 MW(Wulandari et al., 2022).
19 negara yang sedang mengembangkan proyek nuklir pada akhir
tahun 2019 memiliki tingkat pembangunan ekonomi yang beragam dan menghadapi
tantangan sosial dan ekonomi yang berbeda pula. Beberapa negara dengan populasi
yang terus bertambah dan kebutuhan listrik yang meningkat pesat, seperti China
dan India (masing-masing memiliki 10 dan 7 reaktor yang sedang dibangun),
melihat energi nuklir sebagai sumber energi yang andal. Energi nuklir
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, menyediakan layanan listrik untuk
masyarakat yang belum terlayani, dan meningkatkan taraf hidup.
Selain itu, perluasan penggunaan energi nuklir sebagai pengganti
pembangkit listrik dan pemanas berbahan bakar batu bara disambut baik karena
kontribusinya dalam peningkatan kualitas udara lokal, terutama di sekitar
daerah yang sedang mengalami urbanisasi pesat. Kondisi serupa terlihat di
banyak negara yang membangun PLTN pertama mereka - misalnya, di Bangladesh,
Belarus, Turki, dan Uni Emirat Arab, yang dalam beberapa kasus membangun
reaktor dalam jumlah banyak. Total kapasitas reaktor yang sedang dibangun di
negara-negara ini mencapai 10,9 GW, atau sekitar 20% dari total konstruksi.
Perkembangan di negara-negara 'pendatang baru' ini kemungkinan akan memainkan
peran yang semakin signifikan dalam lanskap nuklir selama beberapa dekade
mendatang(IAEA,
2020)
Teknologi Reaktor Nuklir
1. Large Reactors
Sepanjang sebagian besar sejarah pengembangan teknologi nuklir,
ukuran reaktor terus membesar untuk memanfaatkan skala ekonomis. Saat ini,
tersedia berbagai desain reaktor/PLTN standar yang sudah matang, dengan
kapasitas daya yang bervariasi dari sekitar 750MW hingga 1800MW. Semua desain
ini menggunakan teknologi yang telah terbukti dan ditawarkan oleh vendor
ternama. Reaktor besar modern memiliki faktor kapasitas yang melebihi 90% dan
dirancang untuk beroperasi minimal selama 60 tahun.
2. Small Modular
Reactors (SMRs)
Berbeda dengan tren ukuran reaktor nuklir yang umumnya membesar,
Reaktor Modular Kecil (SMR) justru menawarkan pendekatan yang berlawanan. SMR
memiliki daya listrik hingga 300MW, jauh lebih kecil dibandingkan reaktor
konvensional. Namun, yang membedakan SMR modern adalah pendekatan desain dan
manufaktur yang inovatif. Ukurannya yang kecil memungkinkan integrasi fitur
keamanan yang transformatif, pemanfaatan teknik produksi baru SMR dirancang
untuk menyasar pasar yang tidak membutuhkan reaktor berkapasitas besar.
Terdapat lebih dari 70 desain SMR yang sedang dikembangkan untuk berbagai
aplikasi. Tingkat kesiapan teknologi dari berbagai desain SMR ini berbeda-beda.
Beberapa di antaranya, seperti teknologi berpendingin air, sudah dianggap
sangat matang. Bahkan, satu PLTN berteknologi tersebut telah dibangun dan
beroperasi di lepas pantai utara Rusia, menyediakan pemanas dan listrik untuk
masyarakat terpencil. Desain lain dari Amerika Serikat pun telah mendapatkan
sertifikasi dari otoritas regulator terkait Sementara itu, China sedang membangun PLTN demonstrasi
berpendingin gas temperatur tinggi (HTR-PM) yang mulai beroperasi pada akhir
2021.\
3. Microreactors
Mikroreaktor merupakan bagian dari Reaktor Modular Kecil (SMR)
dengan daya output termal maksimum
sekitar 20 megawatt (atau sekitar 10 megawatt listrik). Reaktor ini dirancang
sebagai pembangkit listrik atau panas
yang terintegrasi penuh, sehingga bisa diangkut ke dan dari lokasi potensial.
Kesimpulan
PLTN memberikan kontribusi yang penting dalam mengurangi emisi
gas rumah kaca (GRK) karena tidak
menghasilkan emisi CO2 selama operasinya. Walaupun di tingkat kebijakan global, Uni Eropa dan sejumlah negara telah
menolak menyertakan nuklir dalam taksonomi hijau karena dianggap tidak memenuhi prinsip 'Do No
Significant Harm'. Meskipun PLTN memiliki potensi untuk menyediakan energi bersih dengan emisi
karbon rendah, tantangan keamanan, pengelolaan
limbah, dan masalah kebijakan menjadi hal-hal krusial yang harus diatasi
untuk memastikan peran PLTN dalam
transisi energi yang berkelanjutan dan aman menuju Net Zero Emissions pada
2060.
Daftar isi
Agreement, P. (2015, December). Paris agreement. In report of the conference of the parties to
the United Nations framework convention
on climate change (21st session, 2015: Paris). Retrived December (Vol. 4, No. 2017, p. 2).
Getzville, NY, USA: HeinOnline.
IAEA. (2020). INTERNATIONAL
ATOMIC ENERGY AGENCY, Climate Change and Nuclear Power 2020.
Moghaddasi, H., Culp, C., Vanegas, J., & Ehsani, M. (2021).
Net zero energy buildings: Variations,
clarifications, and requirements in response to the paris agreement. Energies, 14(13).
https://doi.org/10.3390/en14133760
UNECE. (2020). Technology Brief Nuclear Power. In All About 2D Bar Codes (Issue
September). Robbins, A. (2016). How to understand the results of the climate
change summit: Conference of Parties21
(COP21) Paris 2015. Journal of public
health policy, 37(2), 129-132.
Wulandari, L., Umar, D. D., Septiani, D., Iskandar, H. H., Safina,
M., & Haq, V. A. (2022). Analisis
Pengaruh Globalisasi Dan Perkembangan Teknologi Nuklir Terhadap
Lingkungan Hidup Yang Berkelanjutan
(Sustainable Environment). Jurnal Bisnis
Dan Manajemen West Science, 1(01), 36–50.
https://wnj.westscience-press.com/index.php/jbmws/article/view/81
0 Comments