Memanfaatkan Pengembangan Budaya Melalui Globalisasi : Sebuah Opini

Melekatnya stigma negatif bahwa globalisasi merupakan produk barat dalam menyebarkan paham-paham barat, menjadi salah satu alasan besar bagi kelompok tradisionalis untuk menolak pergerakan globalisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa semua sektor dalam dunia didorong atas eksistensi globalisasi, mulai dari ekonomi, budaya, sosial, politik, bahkan sampai keamanan. Globalisasi juga selalu membuat perubahan baru dan tidak bertahan atas status quo yang ada. Dalam hal ini, budaya termasuk salah satu faktor yang dianggap rentan mengalami perubahan oleh adanya globalisasi. Kaum tradisionalis berpandangan bahwa globalisasi dapat membuat nilai-nilai budaya yang sudah bertahun-tahun ada bisa tergerus atau bahkan hilang. Seperti misalnya, lebih banyak orang gemar menonton konser yang berbau kekinian dibanding melihat festival budaya seperti pagelaran wayang. Contoh nyatanya adalah hilangnya kesenian Ludruk di zaman sekarang. Padahal, Ludruk yang berasal dari Jawa Timur tersebut menyimpan nilai-nilai moral yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan masyarakat baik dari tetua hingga anak muda beranggapan bahwa globalisasi hanyalah sebuah permainan yang memonopoli pikiran untuk kemudian menghasilkan pemikiran-pemikiran barat yang merusak budaya ketimuran.
Dalam teori atau konsepnya, orang-orang yang tidak mengonsumsi produk globalisasi adalah orang-orang yang tertinggal. Sebut saja suku pedalaman misalnya, kebanyakan dari mereka masih bercengkraman serta berpegang teguh dengan budaya-budaya dan peradaban yang mereka anut, sehingga sebagian dari mereka enggan mengikuti produk-produk yang dihasilkan oleh globalisasi. Tindakan yang dilakukan oleh suku pedalaman tersebut merupakan salah satu bukti ke-skeptisan mereka dalam memandang sesuatu. Karenanya, banyak dari mereka yang kehidupannya hanya berdiri di tempat atau stagnan, tidak mencoba untuk melakukan hal-hal yang baru atau kebanyakan dari mereka hanya memelihara status quo yang ada. Seperti contoh, Suku Kombai yang merupakan suku di Papua, memelihara budaya mereka dengan membangun rumah setinggi lebih dari 50 meter dengan dalih bahwa tindakan tersebut mampu menjaga mereka dari serangan hewan buas sampai dengan banjir. Dalam hal tersebut, suku Kombai merupakan salah satu suku yang mampu mempertahankan budayanya tanpa mengenal modernitas atau perkembangan global.
Perantara perkembangan yang didorong oleh globalisasi tersebut bermacam-macam, terutama dari teknologi hingga informasi yang didapat. Ketika seorang individu menyerap informasi serta teknologi secara berlebihan, maka peralatan tersebut seakan mencuci otak para pemakainya hingga se-demikian rupa. Berbeda dengan seseorang atau kelompok yang menggunakan informasi serta teknologi dengan dosis yang sesuai, maka mereka akan menghasilkan output yang seimbang, contohnya ketika berbahasa. Banyak yang mengira jika menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris di Indonesia merupakan produk keberhasilan dari globalisasi, namun ada pula masyarakat yang berpandangan bahwa tindakan tersebut berarti pula meninggalkan budaya asal/daerah.
Menurut penulis, hal itu cukup keliru. Tidak serta merta orang yang memakai bahasa inggris/asing lainnya ataupun orang yang mengkonsumsi produk global merupakan korban dari globalisasi. Sebab dari pergerakan mereka, setidaknya mereka berusaha memanfaatkan globalisasi sebagai suatu alat untuk memperluas pengetahuan hingga menyebarkan budaya yang mereka miliki. Untuk itu, stigma yang berpendapat bahwa globalisasi merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dihilangkan adalah benar adanya. Pendapat bahwa globalisasi merusak nilai-nilai budaya akan sangat bergantung dari cara pandang seseorang dalam melihat dan memanfaatkan budaya tersebut ke dalam globalisasi.
Globalisasi akan terus berjalan seiring perkembangan zaman. Produk-produk canggih akan terus dihasilkan melalui globalisasi, seperti smartphone, televisi, alat transportasi, laptop, dll. Oleh sebab itu, dengan berbagai hal yang tidak bisa dihilangkan dari produk global tersebut, manusia seharusnya mampu berpikir dengan cerdas dalam melihat situasi global. Masyarakat dapat memanfaatkan globalisasi untuk menyebarkan produk lokal tanpa menghilangkan esensi atau unsur inti di dalam produk tersebut. Seperti contoh, memanfaatkan pameran wayang di Ausralia sebagai salah satu cara untuk menyebarkan pengaruh produk lokal kepada masyarakat global dengan tidak meninggalkan nilai-nilai budaya hingga unsur estetik di dalamnya. Dengan mengoptimalkan penggunaan produk-produk globalisasi, maka pintu terhadap pengembangan budaya akan semakin terbuka lebar. Begitu banyak peluang yang bisa kita manfaatkan sebagai ajang mengembangkan budaya yang sudah ada, tentu tanpa menghilangkan nilai asli yang dikandungnya. Lantas muncul pertanyaan, mengapa pengembangan budaya? bukan pemasaran budaya? Nyatanya, hal ini merupakan dua aspek yang saling berkesinambungan. Dengan melakukan pengembangan budaya, maka kita juga telah berpartisipasi dalam upaya memasarkan budaya. Tidak dalam artian menjual budaya yang telah ada, namun memperkenalkan kepada dunia internasional bahwa budaya yang dimiliki suatu bangsa, dapat dinikmati oleh segenap manusia. Hal ini kembali memberi pembuktian bahwa sejatinya, budaya sebagai suatu produk lokal tetap mampu berdampingan atau bahkan berjalan searah dengan produk global.
Ditulis oleh M Habib Pashya dan Muslihah Faradila dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
1 Comments