KOMUNITAS EPISTEMIK, KONSTRUKTIVISME, DAN RELEVANSI DI ANTARANYA

Oleh: Lutfiah Setyo Cahyani
HMPS HI Universitas Diponegoro
Sebuah Pranala
Ilmu pengetahuan adalah kerja-kerja
kolektif; pembuka sederhana yang dihadirkan Meyer dan Molyneux-Hodgson (2010)
dalam tulisannya yang mencoba merangkum kembali pemahaman kita atas komunitas
epistemik dalam teater hubungan internasional. “Introduction: The Dynamics of
Epistemic Communities” sekiranya berupaya menggambarkan konsep komunitas
epistemik yang dikonseptualisasikan oleh
Haas dan Adler.
Mulanya, konsep ini diprakarsai oleh
beberapa tulisan yang mencoba menerangkan keberadaan komunitas epistemik. Meyer
dan Molyneux-Hodgson menyebut beberapa publikasi di sekitar 1960-1970-an,
seperti Holzner (1968), Holzner dan Salmon-Cox (1977), serta Holzner dan Marx
(1979). Konsep mula ini didefinisikan oleh Holzner dan Marx sebagai komunitas
kerja dengan kriteria epistemik (ilmu pengetahuan) yang unggul dibanding minat
atau orientasi lainnya. Dalam pemahaman atas keberadaan komunitas epistemik
ini, pemahaman Holzner dan Marx ini dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang
membentuk komunitas epistemik ini memiliki kesamaan keyakinan atas metode
saintifik dalam produksi kebenaran.
Di kemudian hari, konsep-konsep yang
diprakarsai oleh Holzner, et. al. tersebut mulai dikenalkan kembali. John
Ruggie (1972) dalam “Collective Goods and Future International Collaboration”
dianggap memelopori masuknya studi atas komunitas epistemik ke ranah hubungan
internasional. Ruggie meminjam konsep “episteme”
dari Foucault dan mengombinasikannya dengan konsep-konsep komunitas
epistemik yang dibawa oleh Holzner (Antoniades, 2003). Akan tetapi, konsep
komunitas epistemik masih belum mendapat perhatian pada saat itu dan baru mulai
mendapatkan atensi publik di sekitar akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Tulisan Haas pada International Organization menjadi salah
satu momentum kembali dibahasnya komunitas epistemik di tengah masyarakat
dunia. Memulai bahasannya melalui “Introduction: Epistemic Communities and
International Policy Coordination”, Haas turut menuliskan pemikirannya atas
konsep ini bersama Adler dalam
“Conclusion: Epistemic Communities, World Order, and the Creation of a
Reflective Research Program” pada 1992. Pada khususnya pemikiran Haas dan Adler
inilah konsep-konsep komunitas epistemik mulai diakui sebagai suatu pendekatan
alternatif dan bukan lagi semata konsep marjinal dalam studi hubungan
internasional.
Dunlop (2009) pun menuliskan bahwa
sejak dipromosikannya konsep komunitas epistemik oleh Haas (dan Adler)
tersebut, berbagai revisi konseptual lainnya mulai bermunculan guna menguji
konsep tersebut melalui pendekatan lain yang masih serupa, seperti studi
komunikasi politik dan kerangka kerja koalisi advokasi. Akan tetapi, tidak
banyak dari revisi-revisi konspetual tersebut yang dapat mengembalikan konsep
berpikir ke bentuk aslinya (Radaelli, 1995, Dunlop 2000a, Zito 2001 dalam Dunlop,
2009); pemahaman atas mekanisme sentral dalam komunitas epistemik yang
menjelaskan pengaruhnya terhadap transfer kebijakan lewat produksi pengetahuan
yang menginfluensi pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakannya (Dunlop,
2009).
Di hari ini, dapat kita lihat
berbagai komunitas epistemik lahir dan berkembang serta mampu bermain peran
dalam mendorong perubahan politik, baik di skala internasional maupun domestik
negara-negara dunia. Namun, yang kemudian menjadi kontradiksi adalah
sebagaimana Loblova (2017) menjabarkannya; kita masih mengetahui secara relatif
kecil mengenai bagaimana komunitas epistemik dapat memengaruhi pengambil
kebijakan dibanding pendekatan lainnya. Minimnya pemahaman atas efektivitas
komunitas epistemik dibanding yang lainnya kemudian memunculkan kesukaran bagi
kita untuk mengetahui mengapa satu upaya bisa berhasil dibanding upaya lainnya.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba
menggambarkan bagaimana komunitas epistemik dan peranan (efektivitas)-nya dapat
dipahami. Melalui perspektif konstruktivisme dalam hubungan internasional,
tulisan ini mencoba menjelaskan keterkaitan teori tersebut dengan konsep
komunitas epistemik, khususnya yang dipublikasikan oleh Haas (dan Adler).
Rumusan Masalah
Adapun ide tulisan ini banyak
terinfluensi dari “Epistemic Communities, Epistemes, and the Construction of
(World) Politics” milik Antoniades (2003), namun penulis lebih berfokus pada
upaya mengakumulasi referensi lain dan menginterpretasikan kembali argumentasi
Antoniades ke dalam penjabaran yang berbeda. Di dalamnya, tulisan ini akan
mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan masalah, di antaranya
“bagaimana mendefinisikan komunitas epistemik?” dan “bagaimana konstruktivisme
dapat mendefinisikan komunitas epistemik?”.
Landasan
Teori
Untuk menjelaskan peranan
(efektivitas) komunitas epistemik dalam kehidupan politik, baik internasional
maupun domestik, tulisan ini mengacu pada teori konstruktivisme yang dipelopori
oleh Alexander Wendt dan publikasi lain yang berkaitannya.
Secara umum, kehadiran
konstruktivisme seringkali diasosiasikan dengan berakhirnya Perang Dingin, di
mana teori-teori tradisional seperti realisme dan liberalisme gagal dalam
mendefinisikan perilaku negara-negara di dunia internasional (Theys, 2018).
Kegagalan tersebut dikonotasikan dengan bagaimana keduanya terlalu berfokus
pada negara dan luput untuk memberi observasi secara radikal terhadap agen-agen
individu. Konstruktivisme, di kemudian hari, merespon kegagalan tersebut dengan
menyatakan bahwa dunia merupakan apa yang kita bentuk; the social world is of our making (Onuf, 1989 dalam Theys, 2018).
Atau kalimat lain (dalam tatanan konsep yang lebih relevan) yang juga memiliki
analogi serupa, “anarchy is what states
make of it”; sebagaimana Wendt (1992) mengkonseptualisasikannya.
Konstruktivisme bukanlah suatu
paradigma homogen, melainkan hadir melalui berbagai refleksi pemikiran yang
kemudian memformulasi kerangka berpikir teori ini. Pada konteks hubungan
internasional, terdapat dua premis utama yang secara garis besar mencoba
merampungkan sub-disiplin paradigma ini, yaitu bahwa konstruktivisme melihat
struktur interaksi manusia lebih ditentukan oleh ide-ide bersama (shared ideas) dibanding faktor-faktor
material dan identitas serta kepentingan aktor-aktor dikonstruksi berdasarkan
ide-ide bersama tersebut (Wendt, 1999). Dengan demikian, tidak seperti dua
paradigma sebelumnya, konstruktivisme lebih menitikberatkan pandangannya pada
hal-hal yang non-material dan bukan material. Dalam penjabaran lain, shared ideas tersebut akan
memformulasikan realitas materil yang kemudian dipercayai oleh manusia atau
masyarakat; suatu penggambaran bagaimana realitas bukanlah sesuatu yang given, melainkan dikonstruksi secara
sosial.
Konstruktivisme pada dasarnya
bukanlah teori di dalam politik internasional (Wendt, 1999). Paradigma ini,
dalam hubungan internasional, difokuskan untuk melihat bagaimana aktor-aktor
(dalam hubungan internasional) bersikap demikian
akibat konstruksi sosial yang ada. Sebagaimana sebelumnya dijelaskan, konstruktivisme
mengambil fokus utamanya pada faktor-faktor non-material. Setelahnya, hal
tersebut dirincikan dari bagaimana konstruktivisme menjadikan identitas, norma,
dan bahasa, sebagai variabel dalam mendiagnosis masalah yang ada (Rosyidin,
2015).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
konstruktivisme menekankan definisinya pada hal konstruksi sosial. Shared ideas sebagai komponen penting
dalam konstruktivisme nantinya berguna untuk membentuk identitas serta kepentingan-kepentingan yang dimaknai
oleh masyarakat (Wendt, 1992 dalam Zerbe, 2020 ). Dengan kata lain, keberadaan
suatu identitas ditentukan melalui interaksi sosial yang mendahuluinya
(Rosyidim 2015). Proses tersebut pun akan mencipta intersubjektivitas di
antaranya. Berdasarkan hal tersebut, para pemikir
konstruktivis berpandangan bahwa intersubjektivitas memberi syarat adanya
pemahaman bersama (shared understandings)
antar aktor-aktor yang terlibat di dalam interaksi tersebut. Dengan
demikian, nihilnya intersubjektivitas dalam interaksi yang ada akan menjadikan
interaksi antar aktor-aktor tersebut tidak bermakna.
Komunitas Epistemik: Sebuah Konsep
Mengulang kembali apa yang
sebelumnya kurang lebihnya sempat terbahas dalam pranala bahwa pemaknaan
masyarakat dunia atas komunitas epistemik melalui berbagai lini masa
konseptualisasi dan pendefinisian. Hingga hari ini, berbagai komunitas
epistemik kita temui bergerak dalam mengawal berbagai isu dengan pendekatan
yang berbasis ilmu pengetahuan serta riset-riset terkait. Banyak di antaranya
yang berhasil dalam menginfluesi para pemegang kebijakan untuk mengambil
langkah atas masyarakatnya, namun beberapa yang lain menemui kegagalan pada
praktiknya (Loblova, 2017). Selanjutnya, bagian ini akan sedikit banyaknya
berbicara mengenai bagaimana komunitas epistemik dilihat berdasarkan konsepnya.
Holzner dan beberapa kolega lainnya
melakukan beberapa publikasi terkait komunitas epistemik selama kurun
1960-1970-an. Tulisan-tulisannya tersebut kemudian menyimpulkan pandangannya
atas komunitas epistemik yang ia maknai sebagai komunitas kerja dengan kriteria
epistemik (ilmu pengetahuan) yang unggul dibanding minat atau orientasi lainnya
(Holzner dan Marx, 1979 dalam Meyer dan Molyneux-Hodgson, 2010). Sebab
perkenalan Holzner atas komunitas epistemik secara perdana berupaya menerangkan
kepada masyarakat mengenai keberadaannya, Holzner, melalui publikasinya bersama
Salmon-Cox pada 1977, mengenalkan impelemntasi komunitas epistemik pada saat
itu. Dengan substansi yang sebagian besarnya membahas mengenai pengembangan
riset, Holzner dan Salmon-Cox menyatakan bahwa Learning Research and
Development Center (LRDC) di Pittsburgh yang memulai operasinya pada 1964
merupakan bentuk komunitas epistemik. Akan tetapi, “Conceptions of Research and
Development for Education in the United States” secara garis besar lebih berfokus
pada komunitas epistemik di ranah pendidikan (Holzner dan Salmon-Cox, 1977) dan
tidak berbicara mengenai konteks hubungan internasional di dalamnya.
Sebab Holzner dan kolega tidak
secara spesifik membahas mengenai eksistensi komunitas epistemik pada ranah
hubungan internasional, John Ruggie hadir untuk kemudian memperkenalkan konsep
dengan beberapa kesamaan di dalamnya.
Dengan meminjam “episteme” milik
Foucault serta mengolaborasikannya dengan pandangan Holzner, Ruggie memulai
promosinya atas komunitas epistemik di ranah hubungan internasional–yang
nyatanya belum berhasil dan hanya menjadi konsep marjinal menurut masyarakat
dunia.
Peminjamannya atas “episteme” milik Foucault kemudian
menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Ruggie (1975) dalam O’Brien (2003)
mendefinisikan hal itu sebagai langkah dominan dalam melihat realitas sosial,
seperangkat simbol dan referensi bersama, dan harapan bersama. Menurutnya,
dengan mengkonstruksi realitas sosial, para aktor-aktor politik akan
mengembangkan ide dan norma-norma yang mendasari suatu area isu. Apabila
disusun dalam kalimat lain, Ruggie menilai bahwa komunitas epistemik semisal
menciptakan suatu diskursus yang mengembangkan dan mengimplementasikan
standar-standar perilaku “normal” di tengah masyarakat (atau suatu area isu)
(O’Brien, 2003). “Diskursus” dimaknai Ruggie sebagai praktik di mana komunitas
epistemik mempromosikan bahasa, simbol, dan mode berpikir tertentu – yang
setelahnya dielaborasi oleh Keeley sebagai “mereka yang tidak menggunakan cara-cara
serupa akan dilihat tidak intelek, gila, atau
seminimalnya tidak memiliki kapasitas argumentasi yang akan didengar” (Keeley,
1990 dalam O’Brien, 2003). Melalui Keeley, penulis menyisipkan secara banal
bagaimana interpretasi Ruggie atas Foucault bisa saja terdengar arogan, tetapi
pemaknaan tersebut memiliki keterkaitan ke dalam konsep komunitas epistemik
penerusnya yang dipelopori oleh Haas bahwa komunitas epistemik memiliki “shared set of normative and principled
beliefs” (Haas, 1992 dalam Meyer dan Molyneux-Hodgson, 2010).
Berikutnya, bagian tulisan ini akan
lebih banyak berbicara mengenai komunitas epistemik berdasarkan Haas–sebuah
konsep yang memulai popularitas komunitas epistemik di ranah hubungan
internasional. Menurut Haas, komunitas epistemik adalah jaringan profesional
yang terdiri dari ahli-ahli terkemuka dan berkompetensi dalam domain tertentu
dan memiliki klaim otoritatif atas kebijakan berbasis pengetahuan (Haas, 1992
dalam Meyer dan Molyneux-Hodgson, 2010). Berikutnya, Haas menyertakan beberapa
kriteria yang sepatutnya dimiliki oleh komunitas epistemik, kurang lebihnya
terdiri dari;
1.
a shared set of
normative and principled beliefs which provide a value-based rationale for the
social action of community members;
2.
shared causal beliefs,
which are derived from their analysis of practices leading or contributing to a
central set of problems in their domain and which then serve as the basis for
elucidating the multiples linkages between possible policy actions and desired
outcomes;
3.
shared notions of
validity – that is, intersubjective, internally defined criteria for weighting
and validating knowledge in the domain of their expertise; and
4.
a common policy enterprise – that is, a set of
common practices associated with a set of problems to which their professional
competence is directed, presumably out of the conviction that human welfare
will be enhanced as a consequence.
Haas, dalam publikasinya, mengklaim
bahwa komunitas epistemik lebih superior dibanding gerakan sosial sebab
komunitas epistemik memiliki kesamaan pandangan atas sistem dan dasar-dasar
pengetahuan konsensual, di mana gerakan sosial tidak memiliki komponen-komponen
tersebut (Haas, 1992 dalam Toke, 1999). Di lain sisi, Haas bersama Adler turut
menyatakan bahwa memahami komunitas epistemik perlu dilakukan dengan menghapus
pandangan-pandangan yang mengindikasikan batasan dan sirkelasi terhadap politik
internasional dan domestik (Haas dan Adler, 1992) sebab komunitas epistemik
dapat terimplementasi pada ranah keduanya.
Konstruktivisme sebagai Perspektif Memahami Komunitas
Epistemik
Bermula dari membaca “Epistemic
Communities, Epistemes and the Construction of (World) Politics” milik
Antoniades (2003), penulis menilai terdapat beberapa poin menarik untuk
memahami lebih komunitas epistemik melalui perspektif konstruktivisme. Berbagai
referensi dan publikasi lain yang
membahas komunitas epistemik pun semakin menguatkan ketertarikan tersebut dan
memunculkan hipotesis sementara bahwa perspektif konstruktivisme dapat
mendefinisikan peranan komunitas epistemik, begitupun sebaliknya; komunitas
epistemik dapat menjadi gambaran implementasi paradigma konstruktivisme
(khususnya) dalam hubungan internasional. Bagian ini akan lebih banyak
berbicara mengenai poin pertama, namun beberapa argumen sederhana mengenai poin
kedua akan penulis kemukakan di dalamnya.
Mengacu pada pendefinisian Haas atas
komunitas epistemik di mana terdapat kesamaan pandangan merupakan umpan
sederhana untuk menggali lebih dalam relevansi komunitas epistemik yang dilihat
dari perspektif konstruktivisme. Haas mengimplikasikan mengenai ilmuwan/ahli
tidak serta merta menghasilkan kebenaran,
melainkan mengartikulasi dimensi-dimensi realitas yang memiliki
influensi besar atas sosial-politik (Toke, 1999). Artikulasi realitas pun
berangkat dari kesadaran bahwa ada ketidakmungkinan bagi epistemologis untuk
mengakses realitas–oleh karenanya memproduksi (artikulasi) realitas.
Pemaknaan Haas yang dikutip melalui
Toke tersebut kemudian akan penulis kaitkan dengan kalimat Wendt dalam “Anarchy
is What States Make of It”, yaitu “a
fundamental principle of constructivist social theory is that people act toward
objects, including other actors, on the basis of the meanings that the objects
have for them”. Pengaitan tersebut dimaksudkan bahwa Haas mengindikasikan
bahwa konfirmasi atas realitas bukanlah sesuatu yang dapat diakses, oleh
karenanya artikulasi atas realitaslah yang akan menjadi kerja-kerja dari
komunitas epistemik dalam mengawal upaya mendorong kebijakan terhadap pemegang
kebijakan. Dengan kata lain, komunitas epistemik merespon kondisi sosial yang
dilihatnya untuk kemudian memberi pemaknaan atas kondisi tersebut. Lebih lanjut
dari itu, para pemegang kebijakan mendekatkan diri atas influensi komunitas
epistemik dan menginternalisasi realitas yang diartikulasi oleh komunitas
epistemik (melalui serangkaian proses berbasis ilmu pengetahuan) untuk kemudian
diimplementasikan ke dalam kebijakannya.
Di sisi yang lain, Haas dan Adler
menyatakan bahwa koordinasi kebijakan didasari oleh ekspektasi yang konsen dan
mutual. Berikutnya, ekspektasi dalam politik internasional yang dimaksud
berangkat dari proses interpretasi yang meliputi struktur-struktur politik dan
kultural serta institusi yang “berdedikasi untuk mendefinisikan dan
memodifikasi nilai-nilai serta pemaknaan atas suatu aksi (March dan Olsen, 1984
dalam Haas dan Adler, 1992). Mengaitkan kalimat tersebut, penulis akan mengutip
Guzzini (2000) dalam “A Reconstruction of Constructivism in International
Relations”; “the present reconstruction
understands constructivism in terms both of a social construction of
meaning (including knowledge), and of the construction of social reality”.
Masuk ke dalam penjelasan yang lebih
koheren melalui tulisan Antoniades; di mana penulis banyak terinfluensi atas
substansi utama di dalamnya. Menurut Antoniades, memahami komunitas epistemik
melalui konstruktivisme dapat dilihat dari dua level. Yang pertama, melalui level
kognitif. Level kognitif ini difokuskan pada peranan komunitas epistemik yang
mereproduksi realitas sosial–untuk kemudian didorong ke dalam pembuatan
kebijakan. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa komunitas epistemik memiliki
kekuatan untuk membentuk pemahaman (understandings)
baru dan menginfluensi lahirnya pemahaman antar-subjek (intersubjective understandings) di mana
realitas berada (Antoniades, 2003).
Pada level yang kedua, melalui level
praktikal. Komunitas epistemik memiliki peranan strategis dalam konstruksi
realitas sosial. Berbicara mengenai poin ini, akan banyak menyoroti kekuatan
bahasa dalam membentuk realitas sosial. Komunitas epistemik kemudian
menggunakan bahasa (language) untuk
mempromosikan realitas sosial yang diartikulasikannya. Dengan demikian, mereka
memiliki kemampuan untuk melakukan “kekuatan bahasa” (language power) yang kemudian membentuk kerangka kerja konseptual
atas suatu proses kebijakan (Antoniades, 2003).
Keterkaitan komunitas epistemik dan
konstruktivisme dapat dilihat dari berbagai literatur lainnya Misal Adler
(1991) dalam Haas dan Adler (1992) yang menyebutkan bahwa “aktor-aktor
internasional” akan terdampak “seperangkat pemahaman kolektif” mengenai dunia
sosial dan fisik yang ditujukan untuk proses politik yang hendak diubah.
Bergerak ke poin yang kedua;
komunitas epistemik pun dapat mendefinisikan paradigma konstruktivisme dalam
hubungan internasional. Sebagaimana kalimat “the social world is of our making” yang dikatakan oleh Onuf,
komunitas epistemik menjadi gambaran bagaimana para ahli yang berupaya
mengartikulasikan realitas untuk nantinya menjadi shared understandings. Dengan kata lain, komunitas epistemik tidak
semata melihat suatu kebenaran sebagai kebenaran (bukan given); suatu argumentasi utama dari konstruktivisme.
Penutup
Dengan demikian, kembali dapat
disimpulkan bahwa komunitas epistemik sebagai instrumen dalam masyarakat global
dan transnasionalisme perlu dilihat secara konseptual. Komunitas epistemik yang
melalui berbagai perkembangan dinilai lebih efektif dibanding beberapa
pendekatan lain, misal gerakan sosial (Haas, 1992 dalam Toke 1999). Hal
tersebut didasari oleh dasar epistemologi yang dipegang oleh komunitas
epistemik untuk nantinya memproduksi/mengartikulas realitas. Proses penghasilan
realitas tersebut pun bukan merupakan proses yang given, melainkan melalui serangkaian interpretasi dan pemahaman
bersama mengenai situasi sosial untuk kemudian dipromosikan hingga ranah
pembuat kebijakan. Oleh karenanya, konstruktivisme menjadi perspektif yang cukup
tepat dalam melihat dinamika tersebut.
Yang kemudian perlu diperhatikan dan
didiskusikan lebih lanjut adalah; apabila komunitas epistemik menekankan
kedudukannya pada profesional dan ahli, apakah terdapat tendensi teknokratik
dalam praktiknya. Kemudian, jika tendensi teknokratik tersebut betul ditemukan,
baik secara konsep maupun praktik, apakah komunitas epistemik dapat tetap
dinilai sebagai pendekatan yang efektif dalam memengaruhi kebijakan atau justru
memperparah kecenderungan teknokratik dalam kehidupan politik. Hipotesis
sementara dari penulis adalah komunitas epistemik secara konsep, sekecil apapun
persentasenya, memiliki tendensi teknokratik sebab terdapat penekanan atas
profesional dan ahli serta memiliki akses terhadap pemegang kebijakan. Akan tetapi,
secara praktiknya tendensi teknokratik tersebut perlu dilihat dari
masing-masing aktivitas komunitas epistemik. Apabila suatu komunitas epistemik
tidak membuka partisipasi publik untuk menilai artikulasi realitas dan dorongan
kebijakan yang mereka lakukan, terdapat tendensi teknokratik di dalamnya.
Sebaliknya, tendensi teknokratik sukar untuk dibenarkan apabila komunitas
epistemik membuka partisipasi publik pada praktiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Meyer, M.,
& Molyneux-Hodgson, S. (2010). Introduction:
The Dynamics of Epistemic Communities. Sociological Research Online, 15(2),
1–7. doi:10.5153/sro.2154. Diakses pada 6 April 2022.
Andreas Antoniades. (2003). Epistemic
Communities, Epistemes and the Construction of (World) Politics. Global
Society, 17:1, 21-38, DOI: 10.1080/0953732032000053980. Diakses pada 6 April 2022.
Claire A. Dunlop (2009) Policy transfer as learning:
capturing variation in what decision-makers learn from epistemic communities,
Policy Studies, 30:3, 289-311, DOI:10.1080/01442870902863869. Diakses pada 7
April 2022.
Löblová, O.
(2017). When Epistemic Communities
Fail: Exploring the Mechanism of Policy Influence. Policy Studies Journal,
46(1), 160–189. doi:10.1111/psj.12213. Diakses pada 7 April 2022.
Theys, Srina. (2018). Introducing Constructivism in International
Relations Theory. Diakses pada 7 April 2022 dari Introducing Constructivism in International
Relations Theory (e-ir.info)
Wendt, A. (1999). Social Theory of International Politics
(Cambridge Studies in International Relations). Cambridge: Cambridge University
Press. doi:10.1017/CBO9780511612183. Diakses pada 7 April 2022.
Rosyidin, Muhammad. (2015). Mengapa Identitas Kolektif Penting
Bagi ASEAN? Relevansi Pendekatan Konstruktivisme dalam Mendiagnosis Kegagalan
ASEAN dalam Isu Rohingya. Diakses pada 7 April 2022 dari https://www.researchgate.net/publication/316076250_Mengapa_Identitas_Kolektif_Penting_Bagi_ASEAN_Relevansi_Pendekatan_Konstruktivisme_dalam_Mendiagnosis_Kegagalan_ASEAN_dalam_Isu_Rohingya
Zerbe, Noah. (2020). Critical Theory – Constructivism. Diakses
pada 7 April 2022 melalui (1870) critical theory
constructivism noah - YouTube
Holzner, B., &
Salmon-Cox, L. (1977). Conceptions
of Research and Development for Education in the United States. The ANNALS of
the American Academy of Political and Social Science, 434(1), 88–100. doi:10.1177/000271627743400107
O’Brien, Ruth. (2003). From a
Doctor’s to a Judge’s Gaze: Epistemic Communities and the History of Disability
Rights Policy in the Workplace, Polity, 305(3), 326–346. Diakses dari https://sci-hub.ru/https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/POLv35n3ms3235522
pada 7 April 2022.
Toke, D. (1999). Epistemic
Communities and Environmental Groups. Politics, 19(2), 97–102.
doi:10.1111/1467-9256.00091. Diakses pada 7 April 2022.
Wendt, A. (1992). Anarchy is
What States Make of It: The Social Construction of Power Politics. Cambridge
University Press. 46(2). 391–425. DOI: 10.1017/S0020818300027764. Diakses pada 7
April 2022.
Adler, E., & Haas, P. (1992). Conclusion: Epistemic Communities, World Order, and the Creation of a Reflective Research Program”. International Organization. 46(1). 367–390. DOI: 10.1017/S0020818300027764 ·Diakses pada 7 April 2022.
Timon Studler via Unsplash. https://unsplash.com/photos/ABGaVhJxwDQ
0 Comments