Kerjasama Internasional dalam Rangka Counter-Terrorism Pergerakan ISIS Tahun 2010-2015

Oleh:
Faradillah Isnaeni Putri, Nadhifa Nariswari, dan Fahdian Wahyu Tanjung
UPN Veteran
PENDAHULUAN
Islamic State of Iraq and Syria atau yang lebih dikenal juga dengan sebutan ISIS merupakan salah satu dari banyaknya kelompok terorisme yang telah membuat keresahan seluruh warga yang ada di belahan dunia akibat aksi-aksi yang dilakukan kelompok terorisme tersebut, yang dimana mampu menjaring pengaruh yang sangat besar di beberapa negara oleh kelompok terorisme ISIS. Pada awalnya ISIS hanyalah sebuah kelompok kekuatan militer nasional yang tidak percaya atas kepemimpinan dari Saddam Hussein yang dikuasai oleh kelompok Syiah. Pendiri awal gerakan terorisme ISIS adalah Zarqawi, yang dimana telah lama bersumpah dengan Osama bin Laden dan menyatakan diri untuk bekerja sama dengan kelompok terorisme Al-Qaeda of Iraq. Gerakan kelompok terorisme ISIS ini awalnya hanya beroperasi di negara Irak saja, namun gerakan kelompok terorisme ISIS ini semakin memperlebar kawasannya dan juga merubah namanya menjadi Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) dengan memanfaatkan kekacauan akibat munculnya konflik oposisi yang terjadi di negara Suriah.
Dengan berkembangnya ISIS telah memberikan pengaruh kepada tokoh-tokoh radikal yang ada di area Asia Tengah, seperti negara Turkmenistan, Kyrgistan, Tajikistan. Beberapa tokoh dari Taliban yang ada di Pakistan juga turut andil untuk bergabung dengan kelompok terorisme ISIS ini. Yang terakhir menyatakan bergabung dengan gerakan ini adalah dari kelompok teroris Boko Haram yang ada di Nigeria. Tidak hanya itu saja, ISIS juga telah menyebarkan media Ash Shabab nya kepada para pemuda yang ada di Eropa dan juga yang ada di Amerika. Karena selain menyebarkan secara langsung, ISIS terhitung pandai menggunakan internet sebagai media untuk menyebarkan propagandanya. Selain menyebarkan propaganda, kelompok ekstremis ISIS juga merupakan salah satu gerakan teroris yang mampu menggunakan internet melaui media massa untuk mencari dan merekrut anggota baru yang akan bergabung dengan kelompok kstremis tersebut. Terhitung dari tahun 2011 hingga pada akhir tahun 2014, diperkirakan sudah lebih dari 15.000 orang dari seluruh belahan dunia yang bergabung dengan kelompok teroris ISIS tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan gerakan ekstremis Al-Qaeda, secara ideologis pun kelompok ekstremis ISIS juga memiliki kesamaan ideologi dengan yang dianut oleh kelompok ekstremis Al-Qaeda. Yang menganut paham takfiri (paham yang menyebut dan menuduh seorang atau bahkan golongan muslim lainnya sebagai kafir atau murtad) dan juga perjuangan menegakkan syariat atau hukum islam dengan melalui kekerasan. Namun, berbeda dengan kelompok ekstremis Al-Qaeda, kelompok ekstremis ISIS menempatkan golongan atau kelompoknya seperti kelompok Syiah dan juga Sunni sebagai musuh yang menghalangi perjuangannya dalam menegakkan syariat Islam.
Karena persebaran kelompok ekstremis ISIS tersebut yang sangat cepat, dan juga kegiatan mereka yang sangat meresahkan warga yang ada di seluruh dunia, tokoh-tokoh penting di seluruh dunia segera bergerak dan bertindak untuk melakukan pencegahan dan juga membasmi gerakan radikal tersebut demi keamanan nasional dan juga keamanan internasional. Salah satunya adalah organisasi PBB, yang bergerak bersama dengan negaranegara anggotanya guna menghentikan kelompok ekstremis ISIS tersebut dengan mengeluarkan sebuah resolusi yang harus dijalankan oleh setiap negara anggotanya. Selain PBB, juga terdapat salah satu koalisi bentukan Amerika Serikat yang bernama Global Coalition yang bersama-sama dengan The North Atlantic Treaty Organization (NATO) untuk melawan kelompok tersebut, dan juga terdapat International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) - The Hague yang berfokus untuk menciptakan informasi, menyusun, dan menyebarkan yang aspek hukum yang berkaitan dengan pencegahan dan counter-terrorism di dunia internasional.
PEMBAHASAN
Kasus yang disebabkan oleh kelompok ISIS sangatlah banyak. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai sejumlah kasus yang melibatkan ISIS terhadap tindakan ataupun aksi terror yang dilakukan pada negara. Aksi yang dilakukan oleh kelompok ini tentu saja sangat merugikan orang banyak. Korban yang berjatuhan tentu saja sangat banyak dan begitu pula dengan bangunan yang tentu saja hancur akibat tindakan yang dilakukan oleh ISIS. Terorisme sendiri berarti bahwa suatu aksi yang melanggar hukum ataupun berupa perlakuan yang bersifat mengancam peradaban yang mana hal ini sering timbul dengan motivasi yang berlandaskan pada urusan politik atau agama dan hal lainnya yang serupa (Jackson & Sorensen, 2016)
Adanya keadaan yang begitu pelik dikarenakan kasus ISIS tersebut tentu saja menjadi suatu hal yang bersifat problematik bagi negara. Jelas hal ini haruslah diselesaikan secara bersama oleh negara lintas regional guna mengatasi persoalan tersebut. Karena itu ‘perlu adanya tanggapan yang baik mengenai terrorisme international yakni tentu saja dengan adanya jalinan kooperatif dari badan pemerintah’ (Nye & Jr., 2003). Tentu saja hal ini menjadi sangat berguna ditengah isu yang krusial mengenai keamanan negara. Ketika adanya kerja sama lintas negara tentu saja hal tersebut mampu untuk mempercepat penanganan akan aksi dari kelompok terorisme termasuk ISIS.
Meskipun demikian hal tersebut tidak menutup kemungkinan jatuhnya korban dari pihak yang memberikan bantuan dalam mengatasi aksi dari Isis. Pada tahun 2016 adanya anggota dari angkatan laut Amerika (Navy Seal) yang gugur dalam perang melawan ISIS, yang mana hal ini terjadi di wilayah kota Moskul, Iraq yang mana lokasinya berjarak sekitar 30 kilometer di sebelah Utara dari dari kota tersebut. Bantuan yang diberikan oleh negara diluar Iraq sendiri datang dari pemerintahan Erdogan (Negara Turki) yang mana dalam hal ini Erdogan meminta kepada NATO agar diberikannya bantuan militer kepada negara Iraq guna mampu bertahan melawan serangan ISIS. Turki sendiri merupakan kekuatan satu-satunya NATO dalam memperjuangkan wilayah Iraq yang direbut oleh ISIS. Bukan hanya itu saja, sebagai bentuk perlawanan akan kelompok teroris ISIS, Denmark juga mengambil tindakan berupa pembukaan kedutaan besar di negara Iraq, lebih tepatnya di Kota Baghdad, hal ini juga bertujuan agar dapat menstabilkan keadaan di dua wilayah yang menjadi tempat bagi ISIS melakukan aksi terrornya yakni di Suriah dan juga Irak. Hal ini juga selaras dengan keinginan Denmark dalam rangka menjamin bahwasanya ISIS tidak memiliki lagi tempat dalam negaranya maupun negara Eropa lainnya. Denmark juga akan mengambil komando dalam misi dilatihnya para pasukan dalam rangka bantuan militer kepada Irak Oleh NATO yang sebelumnya dipimpin oleh Kanada pada 2020. Bukan hanya itu,demi mewujudkan penumpasan aksi dari kelompok teroris ISIS, PBB juga ikut serta ambil bagian dengan meningkatkan perlawanan terhadap ISIS dengan menerbitkan resoulsi 2249 yang mana negara hal ini berisi pemaparan mengenai adanya desakan yang dilimpahkan kepada seluruh negara anggota agar dapat menempuh segala cara dalam hal menghentikan kelompok militan ISIS. Rusia juga mengambil bagian dalam hal menyerang markas dari ISIS yang berlokasi di Provinsi Deir Al-Zour, penyerangan itu sendiri menggunakan rudal jelajah yang ditembakkan dari laut Kaspia.
ISIS dalam rangka menebar terror ke seluruh belahan dunia tentu saja dapat membuka basisnya di kawasan tertentu, Salah satunya ialah kawasan Asia. Karena adanya hal tersebut maka tentu saja negara yang ada dan berada di sekitar kawasan tersebut tentu saja tidak tinggal diam. Melalui Pertemuan regional atas perlawanan terhadap terorisme international dan terorisme lintas kawasan (SRM FTF CBT) mencapai kesepakatan bersama yang dihadiri oleh beberapa negara yakni Indonesia, Malaysia, Australia, Filipina, Brunei Darussalam, dan juga Selandia Baru. Dalam kesepakatan ini munculnya FTF ataupun perlawanan terhadap terorisme Internasional. Kerja sama ini sendiri meliputi Berbagi mengenai informasi, perihal badan intelijen, serta penegakkan hukum.
Tentu saja dengan adanya hal ini pertukaran informasi, tekonologi akan sangat membantu dalam proses melakukan blokade terhadap gerakan ISIS tumbuh subur di negara tersebut dan jelas dengan adanya kerja sama ini informasi pergerakan ISIS akan mudah diketahui dalam rangka mencegah penyebaran teror dari kelompok militan ISIS.
Selain dari hal tersebut koalisi yang digunakan oleh lintas negara dalam membantu negara Iraq salah satunya melalui pemberian pinjaman dana yang mana hal tersebut digunakan untuk pembangunan yang telah hancur akibat perang melawan ISIS. Dana yang diberikan sejumlah $30 Milliar (Rp 406 Triliun). Negara yang memberikan bantuan terbesar kepada Iraq sebesar $5 Miliar atau sekitar Rp 67 Triliun, yang mana Amerika sebagai salah satu negara sekutu Iraq tetap memberikan bantuan dana yang tidak berubah sesuai janji bersama yakni sejumlah $3 Miliar (Rp 40 Triliun) dan sisanya dari negara Inggris, Arab Saudi, Uni Eropa, dan negara lainnya yang dalam membantu negara Iraq memberi bantuan kredit ataupun investasi dengan jumlah yang berbeda-beda. Memang sejatinya dana tersebut terbilang masih sangat jauh untuk memulihkan Iraq dari kerusakan yang timbul akibat ISIS. Negara Iraq sendiri membutuhkan dana sejumlah $88,2 Miliar (Rp 1.200 Trilun) guna memulihkan secara total pembangunan negara Iraq. Namun, meski demikian hal bantuan yang diberikan kepada negara Iraq tentu saja sangatlah membantu dalam pembangunan kembali. Hal ini diakui oleh Menteri Luar Negeri Iraq Ibrahim Al-Jafaari setelah mendengar bahwa Uni Emirat Arab juga akan memberikan bantuan kepada Iraq sebesar $5.5 Miliar (Rp 74 Triliun)
Kehancuran negara Iraq juga muncul akibat serangan Amerika yang dulu berlangsung ketika melawan Saddam Hussein. Namun, bukan berarti hal tersebut menjadi faktor retaknya hubungan kedua negara tersebut. Buktinya, AS memberikan bantuan berupa dana yang lebih dari $60 Miliar atau sekitar Rp 818 Trilun selama 9 tahun dimana dalam hal ini Amerika memberikan $25 Miliar atau sekitar Rp 314 Trilun yang hal ini digunakan dalam Militer Negara Iraq.
Kekalahan ISIS pada tahun 2019 di Wilayah Baghouz dan kembali berhasil direbut oleh pasukan dari kelompok demokrat Suriah menjadi bukti bahwa kerja sama yang ditempuh dalam rangka menumpas aksi bengis kelompok militan ISIS dalam hal ini dipimpin oleh negara Amerika Serikat menjadi momen penting dalam mewujudkan tujuan bersama secara international. Meskipun demikian hal ini tidak serta merta menjadi puncak dari perjuangan selama ini. Tentu saja hal ini disebabkan oleh bekas dari tindakan militan ISIS yang menyembunyikan diri pada gurun terpencil yang berada di Suriah masih melakukan aksinya berupa penembakan, penculikan dalam skala kecil yang mana hal ini digunakan dalam proses bangkitnya ISIS kembali.
Kendati demikian, kerja sama lintas regional yang dilakukan oleh negara tentu saja akan sangat membantu dalam proses mewujudkan tujuan bersama, salah satunya dalam hal memberantas aksi bengis dari kelompok militan ISIS yang telah merugikan banyak korban yang berjatuhan dan keresahan banyak negara. Optimalisasi kerja sama yang ditempuh oleh banyak negara akan sangat memberikan efek yang besar dalam proses mewujudkan keinginan bersama, selain itu tentu saja dengan kompleksitas permasalahan yang ada akan sangat mampu diatasi dengan hadirnya kerja sama secara optimal. Kerja sama menjadi sangat penting dan krusial dalam menangani permasalahan ini yang begitu kompleks.
Ideologi yang lahir dibalik ISIS tentu saja mengancam eksistensi dari suatu negara. Tentu saja dengan aksi bengis yang dilakukan oleh ISIS hal ini menjadi sesuatu yang krusial dalam keamanan suatu negara. Frasa “jihad” merupakan sebuah titik dasar dari tindakan ISIS melancarkan aksi terornya. Meleburkan batas negara dan menciptakan perang sipil, ditambah lagi dengan keinginan akan berdirinya negara Islam Iraq dan lahirnya pemerintahan AL Sham. Melakukan tindakan perang terhadap masyarakat yang mengingat akan kebengisan mereka serta melakukan “hijrah” kepada masyarakat yang menantang kehadiran pemerintahan AL Sham, kemudian ISIS menginginkan pandangan terhadap muslim diseluruh dunia dapat dilihat dari tindakan mereka yang ingin mendirikan khalifa dan hal ini menjadi isu utama yang ingin diwujudkan oleh ISIS. Tentu dengan hadirnya keinginan tersebut akan mampu menggoyang stabilitas politik internasional antar negara yang ada di dunia.
Strategi besar yang ingin dilakukan oleh ISIS tersebut dilakukan dengan menggunakan tindakan militer dan merebut tanah dan kota dari negara modern. Dengan perlengkapan militer yang memadai ISIS mampu menghancurkan negara Iraq dan Iran dan merumuskan aturan baru dalam wilayah jajahannya. Tentu saja dengan sumber daya yang dimiliki oleh ISIS, organisasi tersebut mampu melahirkan sebuah sistem pemerintahan yang mampu mengontrol kehidupan sosial masyarakat.
Keberhasilan ISIS dalam mengendalikan Mosul pada 10 Juni 2014 menjadi jalan terang bagi ISIS dalam menjalankan aksi kekerasannya di wilayah negara Iraq, hingga melebarkan target pada Kota Syria seperti Deir es Zour serta perbatasan antara Syria dan Turki termasuk Ayn AL Arab. Demi mewujudkan ambisinya dalam menguasai negara Suriah dan Turki, ISIS membombardir negara tersebut sehingga daerah tersebut dapat dikuasai secara penuh dan hasrat akan ideologinya dapat diwujudkan secara kekerasan. Dengan segala tindakan dan aksi bengis yang telah mereka lakukan, hal tersebut tentu saja memicu respon dari dunia internasional dalam melawan ISIS. Salah satunya ialah negara Amerika, yang mana keamanan nasional Amerika menginginkan ISIS dapat dihancurkan dan tidak mengganggu stabilitas politik internasional.
COUNTER-TERRORISM DALAM MENGHADAPI ISIS
Resolusi PBB
Tindakan yang dilakukan oleh ISIS merupakan tindakan tidak berperikemanusiaan. Maka dari itu, pihak internasional berupaya mencegah terorisme yang terjadi. Salah satu respon internasional dalam melawan terorisme adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi A/70/674 tentang Plan of Action to Prevent Extremism. Menurut Dewan Keamanan PBB, kekerasan ekstremisme dapat memicu terorisme, maka dari itu, PBB mengadopsi consensus The United Nations Global Counter-Terrorism Strategy sebagai langkah melawan terorisme dengan merangkul negara-negara aggota PBB yang memiliki hak prerogatif dan memiliki kewajiban menjaga keutuhan hak asasi manusia sesuai dengan hukum internasional yang berlaku (United Nations, 2015). Selain mengajak negara anggota untuk berkomitmen bersama, PBB juga bergerak melalui debat tematik yang diadakannya dengan beberapa tema besar yang dapat mendukung gerakan melawan ekstremisme secara global
Dalam resolusi tersebut, PBB tidak hanya bergerak dalam sektor global saja, namun juga pada tingkat nasional. Negara anggota PBB diharuskan membuat rancangan sebagai aksi untuk melawan kekerasan ekstremisme. Negara harus melibatkan aktor-aktornya seperti hukum nasional, edukasi sosial, serta melibatkan kementerian-kementerian nasional. Rancangan yang dibuat juga harus adil dan negara harus menyinggung masalah terorisme luar negeri dan mencegah teroris dari luar masuk ke teritori negaranya. Negara harus mencegah transaksi terorisme seperti perdagangan minyak, barang antik, penyanderaan, dan penerimaan donasi. Mencegah terorisme dapat dilakukan dengan menyelaraskan kebijakan pembangunan nasional dengan Sustainable Development Goals. Kebijakan negara diharapkan dapat menggandeng negara dan aktor non-negara untuk mendedikasikan pendanaan.
Lalu ada sektor regional. Meskipun telah membuat kebijakan serupa, negara-negara yang tergabung dalam hubungan regional diharapkan dapat membuat kebijakan bersama yang lebih baru sebagai langkah komprehensif untuk melawan terorisme. Diharapkan danya penguatan organisasi regional dan sub-regional dengan melakukan monitoring dan pengawasan terkait kontak antarnegara dan penyaluran tentara dan senjata
PBB dalam resolusi ini menegaskan tentang adanya komitmen untuk mobilisasi sumber dana. Berdasarkan dari interdependensi politik, sosial, dan ekonomi yang mendorong munculnya kekerasan ekstremisme, maka perlu adanya pemanfaatan dana yang ada dengan lebih efisien dan dapat menciptakan sinergi dalam alokasi dana. Sustainable Development Goal juga memiliki cakupan untuk mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif lewat pencegahan kekerasan ekstremisme. Investasi dalam upaya preventif jauh lebih hemat ketimbang harus mengalokasikan sumber dana untuk mitigasi dan Sekretaris Jenderal PBB merekomendasi upaya menentukan fokus utama dalam mendedikasikan dana yang sudah ada untuk menemukan tindak terorisme dan kejahatan ekstremisme yang memungkinkan untuk mengatasi kejahatan ekstremisme dan untuk mengidentifikasi sumber dana yang lain dari sektor global, regional, serta nasional.
Resolusi ini memiliki tujuh rekomendasi bidang yang dapat di bidik. Yang pertama adalah dialog dan pencegahan konflik. PBB mendorong adanya dialog dengan pihak-pihak yang berperang untuk mencegah konflik berkelanjutan yang dapat menimbulkan kekerasan ekstremisme. Dialog dilakukan untuk mengajak individu untuk keluar dari kelompok ekstremis. Dialog dan pencegahan dilakukan dengan merangkul tokoh agama untuk mempromosikan toleransi dan saling memahami di anatar perbedaan yang ada. Yang kedua adalah menguatkan pemerintahan yang baik, hak asasi manusia, dan aturan hukum dimana ketika pemerintah mendukung norma HAM internasional, mempromosikan pemerintahan yang baik, serta menegakkan aturan hukum dengan mengeliminasi korupsi, maka akan memungkinkan tercipta lingkungan masyarakat dan kekerasan ekstremisme dapat dicegah. Perlu keterlibatan antara pemerintah dengan komunitas untuk mewujudkannya.
Yang ketiga adalah menarik komunitas dengan meningkatkan partisipasi komunitas dalam melawan kekerasan ekstremis dan membuat kebijakan dan program yang berorientasi pada komunitas. Yang keempat adalah memberdayakan generasi muda. Dengan fasilitas teknologi yang sesuai, generasi muda dapat mempromosikan perdamaian, pluralisme, dan mutual respect. Yang kelima adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dengan melibatkan dan membangun kapasitas bagi perempuan menjadi langkah yang dapat mencegah terorisme dan kekerasan ekstremisme. Yang keenam adalah edukasi, pembangunan skill, dan fasilitas pekerja. Dengan menjamin pendidikan yang layak, peningkatan kemampuan, serta pemberian fasilitas bagi tenaga kerja, maka angka kemiskinan dapat ditekan. Yang ketujuh adalah strategi komunikasi, internet, dan media sosial. Dengan melakukan penelitian terkait penyalahgunaan teknologi untuk menyebarkan kekerasan ekstremis serta melakukan pencegahan penyebarluasan kejahatan.
Global Coalition
Selain resolusi PBB, terdapat respon lain yang bertujuan untuk melawan terorisme yaitu Global Coalition yang dibentuk oleh Amerika Serikat pada 10 Oktober 2014 yang bertujuan untuk melawan organisasi ISIS. Bersama dengan NATO, koalisi ini memiliki lima upaya utama yaitu memberikan dukungan militer ke pada mitra koalisi; menghentikan arus dari musuh asing; menghentikan pembiayaan serta donasi yang diterima lawan; mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah tersebut; dan mengekspos sifat asli lawan (U.S. Departement of State). Mitra yang tergabung adalah negara-negara Eropa serta negara-negara Timur Tengah yang berkontribusi dalam kampanye udara untuk melawan ISIS. Mitra koalisi memiliki kontribusi dalam upaya militer seperti menyediakan senjata, peralatan, pelatihan, atau memberi saran. Selain berkontribusi dalam bidang militer, koalisi ini juga berkontribusi dalam kemanusiaan dengan membantu pihak-pihak yang terdampak yaitu warga sipil dengan memberikan bantuan seperti tempat tinggal, makanan dan air, obat-obatan serta pendidikan
Koalisi ini bekerja sama dengan pemerintah Irak, pasukan keamanan Irak, serta mitra koalisi yang berada di sekitar kawasan tersebut untuk mencegah berkembangnya pengaruh ISIS (U.S. Departement of State, 2020). Koalisi terus meningkatkan berbagai bentuk bantuan dan dukungan stabilisasi untuk daerah-daerah tersebut. Global Coalition bekerja sama dengan pemerintah dan rakyat Irak untuk membangun negara yang aman, stabil, dan makmur dengan memperjuangkan kedaulatan Irak dan dengan berdialog bersama pemerintah Irak untuk membicarakan langkah yang tepat dan efisien untuk melawan ISIS. Political Directors dari koalisi mengatakan bahwa:
Di Suriah, Koalisi berdiri bersama rakyat Suriah untuk mendukung penyelesaian politik yang berlangsung lama berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254. Koalisi harus terus waspada terhadap ancaman terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, untuk mempertahankan kemajuan yang dicapai oleh Koalisi Global untuk mengalahkan Daesh / ISIS, untuk bertindak bersamasama melawan ancaman apa pun terhadap hasil ini dan menghindari kekosongan keamanan di wilayah yang dapat dieksploitasi Daesh / ISIS (U.S. Departement of State, 2020).
Koalisi harus tetap waspada untuk menghadapi ancaman ISIS di seluruh dunia, dengan mendapat persetujuan dari negara-negara yang terdampak jaringan ekstremis ISIS dan tetap menjunjung tinggi hukum internasional yang berlaku sehingga negara terdampak tidak semakin dirugikan.
ICCT
Terbentuknya International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) - The Hague juga merupakan upaya global untuk menanggulangi masalah terrorisme yang mengancam perdamaian dunia. Berdasarkan inisiatif dari Parlemen Belanda, ICCT dibentuk pada tahun 2010 sebagai lembaga independen yang terbebas dari badan publik atau kepentingan individu mana pun dan tidak terhubung ke partai politik, kelompok denominasi, atau gerakan ideologis apa pun
ICCT merupakan sebuah lembaga pusat pengetahuan yang berfokus untuk menciptakan informasi, menyusun, dan menyebarkan yang aspek hukum yang berkaitan dengan pencegahan dan counter-terrorism internasional (Criminal Justice Response). ICCT ingin menjadi penghubung antara para akademisi, para pembuat kebijakan, dan para praktisi dari berbagai belahan dunia dengan menyediakan sarana untuk berkolaborasi secara produktif, melakukan penelitian praktis, dan memfasilitasi pertukaran keahlian serta analisis dari temuan ilmiah yang relevan. Dengan menghubungkan pengetahuan para ahli dengan berbagai isu yang dihadapi pembuat kebijakan, ICCT berkontribusi untuk mendukung penguatan penelitian dan kebijakan sehingga solusi baru yang lebih inovatif dapat dibuat sehingga dapat memperkuat hak asasi manusia dan keamanan dunia.
ICCT memiliki dua agenda utama. Agenda yang pertama adalah aspek hukum internasional kontraterorisme dan pertanyaan mengenai terduga teroris yang tidak dapat dipidana. Isu-isu seperti penuntutan teroris internasional serta mekanisme peradilan akan ditangani oleh pusat yang dan akan diberikan rekomendasi dan masukan untuk kebijakan dan prosedur untuk penyelesaian masalah. Agenda yang kedua adalah analisis faktor-faktor yang menjadi penyebab diambilnya pilihan oleh individu atau kelompok untuk menggunakan kekerasan sebagai langkah politik. Analisis tersebut akan membantu mencari jawaban terkait pertanyaan "mengapa orang memanfaatkan kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka?" dan jawaban tersebut dapat menjadi titik awal diperolehnya sebuah solusi. Dengan begitu, langkah-langkah dapat diambil untuk mencegah individu dan kelompok ini melakukan tindakan kekerasan.
Dalam kontribusinya untuk menangani tindakan terorisme, ICCT melaksanakan proyek The Counter-Terrorism Strategic Communications (CTSC) yang bekerjasama dengan negara lain misalnya dengan menggandeng para ahli dari Eropa, Amerika Serikat, dan Australia serta para peneliti dari Timur Tengah dan Asia Selatan. CTSC dibentuk sebagai upaya mengatasi tantangan keamanan nasional dan global mengenai bagaimana cara memahami dan menghadapi seperti apa pesan propaganda kekerasan ekstremis. Melalui penelitian empiris dan didasarkan dari data sumber primer dan kenyataan lapangan, proyek ini bertujuan untuk menguji asumsi dan mengevaluasi aksi di masa lalu untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan pedoman utama sebagai upaya komunikasi strategis dalam counter-terrorism.
ICCT menganggap bahwa perlu adanya evaluasi dari strategi counter-terrorism yaitu dengan strategi yang lebih sistematis dan teruji secara ilmiah. Belajar dari efektivitas kebijakan di masa lalu, apabila kebijakan belum teruji, pengambilan keputusan dinilai tidak akan tepat sehingga lebih beresiko. Maka dari itu, ICCT ada untuk mengevaluasi strategi Counter terrorism dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan mengurangi resiko.
KESIMPULAN
Telah banyak kasus yang terjadi akibat ulah dari organisasi kelompok ekstremis ISIS yang dilakukan pada negara-negara yang ada di dunia. Dalam menebarkan terornya, ISIS dapat mendirikan basisnya pada kawasan tertentu yang berada di belahan dunia ini. Kasus yang dilakukan oleh kelompok ISIS tersebut sangat meresahkan, dan dapat menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Sudah banyak juga korban yang berjatuhan akibat serangan terror yang dilakukan oleh ISIS. Dalam memberantas kelompok ekstremis ISIS yang telah meresahkan dengan memberikan ancaman di berbagai negara di seluruh dunia, diperlukan adanya kerja sama di tingkat regional, tingkat nasional, maupun di tingkat internasional dengan bantuan dari Organisasi Internasional, salah satunya adalah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Proses kerja sama yang dilakukan dengan baik dapat memberikan hasil yang baik dalam mewujudkan pemberantasan kelompok terorisme ISIS yang ada.
Salah satu respon dari pihak internasional dalam melawan gerakan kelompok ekstremis ISIS, yaitu ketika PBB mengeluarkan resolusi tentang Plan of Action to Prevent Extremism. Dalam resolusi tersebut, PBB tidak hanya bergerak dalam sektor global saja, tetapi sektor nasional dan regional. Di tingkat nasional, PBB mengharuskan negara anggota untuk membuat sebuah rancangan sebagai aksi guna melawan kekerasan ektremisme, dengan melibatkan aktor-aktor yang ada dalam negara. Lalu dalam sektor regional, diharapkan dapat membuat kebijakan bersama yang lebih baru sebagai langkah komprehensif guna melawan kelompok terorisme. Resolusi PBB yang dikeluarkan tersebut memiliki tujuh rekomendasi bidang yang dapat di bidik, diantaranya adalah yang pertama dialog dan pencegahan konflik, yang kedua dengan menguatkan pemerintah yang baik, ketiga dengan menarik komunitas dengan meningkatkan partisipasi komunitas dalam melawan kekerasan ekstremis dan membuat kebijakan dan program yang berorientasi pada komunitas, yang keempat memberdayakan generasi muda, yang kelima menciptakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, yang keenam dengan melakukan edukasi pembangunan skill dan juga fasilitas kerja, dan yang terakhir adalah strategi komunikasi, internet dan media sosial.
Selain resolusi PBB, terdapat juga respon lain yang bertujuan untuk melawan kelompok terorisme, yaitu Global Coalition yang dimana koalisi ini ditujukan untuk melawan organisasi ISIS. Koalisi bentukan Amerika Serikat ini bersama NATO memiliki lima upaya utama dalam melawan organisasi ISIS, antara lain memberikan dukungan militer ke pada mitra koalisi, menghentikan arus dari musuh asing, menghentikan pembiayaan serta donasi yang diterima lawan, mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah tersebut, dan yang terakhir mengekspos sifat asli lawan. Selain bekerja sama dengan mitra koalisi, koalisi ini juga bekerja sama dengan Pemerintah dan pasukan keamanan dari negara Irak guna mencegah berkembangnya pasukan ISIS yang ada di Irak.
Lalu, terdapat juga International Centre for Counter-Terrorism ICCT yang dimana memiliki kontribusi untuk menciptakan informasi, menyusun, dan menyebarkan yang aspek hukum yang berkaitan dengan pencegahan dan counter-terrorism internasional, serta berkontribusi dalam mendukung penguatan penelitian dan kebijakan dengan menggandeng para ahli yang berkaitan dengan masalah terorisme lewat program The Counter-Terrorism Strategic Communications (CTSC) sehingga solusi baru yang lebih inovatif dapat dibuat sehingga dapat memperkuat hak asasi manusia dan keamanan dunia.
KRITIK
Dalam memberantas organisasi ISIS yang terjadi masih dikatakan sangat kurang efektif, karena cara-cara yang dilakukan tersebut hanya mengandalkan peran PBB, Global Coalition, serta ICCT secara tidak langsung. Seperti yang dilakukan oleh PBB, yang dimana hanya mengandalkan kebijakan yang dibuat untuk mencegah konflik terjadi. Hal yang sama juga terjadi dalam Global Coalition yang dimana hanya memberikan dukungan militer kepada mitranya saja, seperti memberi pelatihan militer, menyediakan peralatan militer dan senjata, dan juga memberikan saran yang dinilai sangat kurang untuk memberantas organisasi ISIS tersebut, walau terhitung sudah cukup baik karena Global Coalition ini juga mementingkan kemanusiaan dengan membantu pihak-pihak yang terdampak dari adanya serangan dari pihak yang bersangkutan.
SARAN
Daripada berfokus untuk mencegah organisasi kelompok ekstremis seperti ISIS tersebut menjadi semakin besar dan berkembang, dan juga mencegah terjadinya konflik, lebih baik apabila negara-negara di dunia tersebut beserta organisasi internasional dan koalisi-koalisi lainnya terjun secara langsung untuk melawan organisasi kelompok ekstremis ISIS daripada hanya membuat kebijakan dan hanya melatih, serta memberikan saran saja. Dengan dilakukannya penyerangan secara langsung, akan dapat cepat terselesaikan masalah tersebut untuk memberantas organisasi ekstremis ISIS. Dan juga apabila ingin mencegah semakin berkembangnya kelompok ekstremis seperti ISIS ini, ada baiknya apabila terdapat ahli-ahli komputer atau programmer yang dapat melihat secara langsung pergerakan yang mencurigakan dalam internet atau media sosial, sebab yang sudah kita lihat dan kita ketahui sendiri dimana kelompok ekstremis menyebarkan ideologinya melalui internet untuk menarik perhatian anggota baru yang ingin bergabung ke dalam kelompok ekstremis seperti ISIS. Selain itu melibatkan para peneliti dan praktisi hukum untuk menilai tindakan terorisme dari berbagai sisi agar ditemukan solusi untuk menanggulangi masalah terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Jackson, R., & Sorensen, G. (2016). Introduction to International Relations: Theories and Approaches (6th ed.). Oxford: Oxford University.
Jurnal dan Artikel:
Nye, J., & Jr., S. (2003). US Power and Strategy after Iraq. Foreign Affairs, 82/4, 60-73.
Report:
United Nations. (2015). Plan of Action to Prevent Violent Extremism. United Nations General Assembly.
Lewis, D. J. (2014). The Islamic State: A Counter-Strategy for A Counter-State. Washington DC: Institute for the Study of War.
1 Comments