loading...

Keefektifan Upaya ASEAN dalam Menyelesaikan Konflik Myanmar di bawah Bayang-bayang Prinsip ASEAN

Sistem hubungan internasional saat ini telah berkembang dan berubah secara drastis khususnya pasca perang dingin. Negara - negara di Asia Tenggara bersatu untuk membentuk organisasi yang bertujuan untuk melindungi kawasan dari ideologi - ideologi pasca perang dunia serta tentunya untuk mendorong stabilitas dan kemakmuran bersama bagi kawasan ini.   Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan sebuah organisasi kawasan di Asia Tenggara yang dibentuk pada 8 Agustus 1967 yang kala itu dicetuskan oleh 5 negara  yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand yang hadir dalam deklarasi Bangkok. Kelima negara inilah yang juga menandatangani Piagam ASEAN. Seiring berjalannya waktu, beberapa negara Asia tenggara lainnya mulai bergabung dalam ASEAN, seperti Vietnam, Brunei Darussalam, Myanmar, Kamboja, dan Laos.

Dalam Piagam ASEAN terdapat 14  prinsip  dasar  yang  dimiliki  oleh  ASEAN itu sendiri. Prinsip ini dipegang teguh oleh tiap anggota ASEAN  dalam  menjalankan  tugasnya. Anggota  ASEAN harus memiliki rasa hormat terhadap  kedaulatan  sesama  negara ASEAN, eksistensi tiap negara yang bebas dari campur  tangan  pihak  eksternal, kebebasan fundamental dan hak asasi manusia, serta menghormati segala perbedaan  mulai dari  budaya, agama, dan segala kemerdekaan yang mana seluruh anggota ASEAN harus  tetap  menjaga  persatuan  satu  sama  lain. Selain itu, di dalam  prinsip kelima  pun disebutkan bahwa setiap anggota  ASEAN tidak boleh ikut campur dalam hal yang  berkaitan  masalah internal suatu negara sesama  anggota ASEAN  demi menghormati kepentingan tiap negara anggota  dan  menghindari ketidak  harmonisan  dalam ASEAN. 

Dalam  melakukan  interaksi  dan  pemecahan   masalah, ASEAN memiliki cara      tersendiri   yang  membuatnya  berbeda  dari  organisasi  regional  lainnya  yang  dikenal  dengan  istilah  ASEAN   Way   of   Diplomacy, yang menjadi panduan    anggota    ASEAN    dalam    bertindak     seperti     prinsip     non-intervensi   dan   saling   menghormati   batas  wilayah  dan  kedaulatan  masing  masing. prinsip   utama   ASEAN   Way  terdiri  dari  empat  poin  yaitu  the principles  of  non-interference  in  the  internal  affairs of other members, quiet diplomacy, the non-use of force, and decision-making through consensus. Poin  pertama  dari  ASEAN  Way  yaitu  the  principles  of  non-interference in  the  internal  affairs  of  other  members memberikan batasan batasan yang jelas dalam  pola  kerjasama  dan  interaksi  anggota ASEAN. Prinsip ini membuat dalam  proses  pengambilan  kebijakan  terkait   isu   atau   keadaan   di   negara   anggota   lain   harus   dengan   seizin   negara  bersangkutan  dan  negara  lain  tidak  diperbolehkan  mengambil  sikap  yang    dirasa    akan    merusak    rasa    kebersamaan antar anggota ASEAN.  Kedua,   prinsip   quiet   diplomacy   yang  menjadi  salah  satu  cara  negara  anggota  ASEAN  melakukan  interaksi  yaitu  dengan  melaksanakan  diplomasi  untuk isu isu sensitif secara diam diam atau     bersifat     bilateral     daripada     melakukan   diplomasi   secara   terang   terangan       seperti       melaksanakan       konferensi      tingkat      tinggi      dan      sejenisnya. Ketiga, prinsip the non-use of force yang   pada   dasarnya   membuat   hubungan  anggota  ASEAN  menjadi  lebih  kekeluargaan  dengan kepercayaan antar anggota, prinsip ini menghindari    penggunaan    kekuatan    militer   dalam   pemecahan   masalah   ASEAN     yang     seharusnya     dapat     diselesaikan dengan poin terakhir yaitu decision-making through consensus atau penetapan keputusan melalui musyawarah, semua keputusan yang dibuat oleh organisasi ini harus melalui diskusi oleh seluruh perwakilan negara dan atas persetujuan semua pihak pula (Putri, Jasmine, Salma, Bagasta, & Faturrahman, 2021). 

Namun,  pada  awal  Februari  ini  telah  terjadi  sebuah  krisis  yang  menimpa  salah  satu negara  anggota ASEAN yaitu Myanmar. Pada masa awal kemerdekaan, Myanmar merupakan negara yang didominasi oleh rezim Junta   Militer Myanmar   atau   yang   dikenal sebagai   Tatmadaw. Junta militer Myanmar dengan sistem kepemimpinannya yang otoriter memperoleh    kekuasaannya  melalui    kudeta militer  yang  terjadi  pada  tahun  1962.  Kudeta militer    inilah yang    menjadi    awal    dari keruntuhan   sistem   demokrasi   di   Myanmar. Kepemimpinan Tatmadaw berdampak  pada kondisi  ekonomi Myanmar yang semakin memburuk, dan tingkat kemiskinan serta pengangguran meningkat. Kuatnya   kekuasaan   dari Junta Militer Myanmar membuatnya hampir tak tertandingi, sampai pada  akhirnya  masyarakat  Myanmar terlibat   dalam pemberontakan  “8888”  yang terjadi  pada  tanggal  8  Agustus  1988. Dalam aksi  ini,  mahasiswa  dan  aktivis pro demokrasi menyerukan protes terhadap Junta militer. Akan  tetapi  upaya  pemberontakan  ini  tidak berakhir seperti yang diharapkan. Dalam peristiwa ini,banyak warga sipil yang   dibunuh, disiksa, dan dipenjara karena keterlibatan mereka. Namun, adanya pemberontakan ini, melahirkan  Liga  Nasional Demokrasi yang kemudian menjadi partai besar yang  menyuarakan  perlunya  demokrasi dalam politik  Myanmar.  Pemimpin  NLD, Aung  San Suu  Kyi,  menuntut  agar militer  menyerukan pemilihan  pada  tahun  1990. 

Meskipun begitu, Tatmadaw masih mendominasi   sebagian   besar   pemerintahan Myanmar,   dan   terus   menghalangi   upaya demokratisasi    rakyat    Myanmar. Pada November 2020, Myanmar melaksanakan  pemilihan  umum  kembali.  Liga Nasional untuk Demokrasi, yang dipimpin oleh Daw Aung San Suu Kyi , menang telak, merebut 83 persen kursi yang tersedia. Terkait  hasil  pemilu tersebut,  partai  oposisi  pertama  yaitu Union Solidarity  and  Development  Party (USDP), tidak  terima  dengan  kemenangan  partai  NLD, dan    menuduh    adanya    ketidakadilan    dan kecurangan. kemudian atas dasar tuduhan tersebut  militer  Burma  (Tatmadaw)  melakukan  kudeta dalam  rangka  merebut  kendali  kekuasaan  dari pemerintahan demokratis. Pada pagi hari tanggal 1 Februari 2021, Parlemen Myanmar dijadwalkan untuk mengesahkan hasil pemilihan nasional yang diadakan pada bulan November sebelumnya dan membentuk pemerintahan berikutnya. Sebelum Parlemen dapat mengesahkan hasil pemilu, tentara mengepung gedung dan mengumpulkan tokoh-tokoh pemerintah, termasuk Ibu Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint, menteri kabinet dan menteri utama dari beberapa daerah, serta politisi dan aktivis lainnya. 

Militer yang mengutip otoritas konstitusionalnya mengumumkan keadaan darurat nasional, menguasai lembaga-lembaga besar, menangguhkan sebagian besar siaran televisi dan membatalkan penerbangan domestik dan internasional. Akses telepon dan internet dihentikan. Pasar saham dan bank komersial tutup, dan antrean panjang terbentuk di luar ATM Di Yangon, kota terbesar dan bekas ibu kota, orang berlarian ke pasar untuk membeli makanan dan persediaan lainnya. Protes yang relatif damai selama berminggu-minggu berubah mematikan pada 20 Februari 2021, ketika dua pengunjuk rasa tak bersenjata dibunuh oleh pasukan keamanan di kota Mandalay, termasuk seorang bocah lelaki berusia 16 tahun. Dua hari kemudian, jutaan orang di seluruh negeri turun ke jalan melakukan pemogokan umum. Polisi dan tentara menembaki para pengunjuk rasa di jalan-jalan, seringkali menembak kepala mereka. Pemberhentian kerja terus berlanjut sejak saat itu, tetapi protes mereda di bawah penumpasan brutal. Banyak pengunjuk rasa melarikan diri ke bagian terpencil negara tempat mereka berlindung dengan kelompok pemberontak etnis, bergabung dengan Pasukan Pertahanan Rakyat yang baru dibentuk dan dilatih untuk berperang. Sejak kudeta, lebih dari 2.500 warga sipil telah dibunuh oleh junta dan 16.500 telah ditangkap, menurut Asosiasi Bantuan Tahanan Politik, sebuah kelompok hak asasi manusia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 13.000 masih ditahan hingga Desember 2022. 

Sejak tindakan keras terhadap pengunjuk rasa di kota-kota besar dan kecil, militer telah secara agresif menargetkan wilayah-wilayah negara yang berada di bawah kendali pemberontak, seringkali tanpa pandang bulu. Junta telah menangkap lebih dari 143 jurnalis per Desember 2022 dan menutup kantor berita independen. Di daerah pedesaan, tentara telah membakar rumah dan desa, memperkosa wanita, menembak warga sipil yang melarikan diri, dan memotong pasokan makanan. Jet tempur telah membom perkemahan sipil. Pada 23 Oktober, pesawat militer meledakan sebuah konser terbuka di Negara Bagian Kachin , menewaskan sedikitnya 80 orang. Pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 1.700 orang, termasuk sedikitnya 130 anak-anak, dan secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 13.000 orang. Militer telah memperluas operasi kekerasan di daerah etnis minoritas, menggusur lebih dari 550.000 orang. Sedikitnya 1,4 juta orang telah mengungsi akibat pertempuran sejak kudeta, banyak dari mereka tinggal di kamp-kamp darurat di hutan. Ribuan pengungsi telah melarikan diri ke negara tetangga, termasuk Thailand dan India. Pemerintah harus mengakhiri semua pemulangan paksa pencari suaka dan sebaliknya memastikan pengungsi menerima akses ke bantuan dan prosedur perlindungan internasional, serta memfasilitasi bantuan lintas batas darurat.

Kudeta tersebut dikecam keras oleh Amerika Serikat, beberapa pemerintah asing lainnya, serta organisasi kemanusiaan yang telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin junta. ASEAN pun didesak untuk melakukan sesuatu demi menghentikan krisis yang terjadi di Myanmar. Sebagai organisasi  regional  kawasan  Asia  Tenggara, ASEAN tentu   saja   memiliki   urgensi   besar untuk   terlibat   dalam   penyelesaian   konflik-konflik  yang  terjadi  di  wilayah  Asia  tenggara, khususnya  yang  melibatkan  isu  kemanusiaan, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan utama ASEAN yaitu meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional. Namun, terdapat perbedaan sikap terhadap krisis Junta Militer Myanmar di dalam tubuh anggota ASEAN. Pemerintah Thailand, yang berkuasa melalui kudeta pada tahun 2014, sejauh ini menghindari kritik terhadap militer Myanmar, dengan menyebut kudeta tersebut sebagai urusan internal negara itu. Vietnam, Kamboja, dan Filipina tersinggung dengan cara yang sama. Sementara pemerintah Vietnam dan Kamboja sendiri adalah rezim otoriter, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte telah menyatakan perang terhadap demokrasi di negaranya. Malaysia dan Indonesia, mengecam perang junta militer Myanmar dan kekerasan kekerasan di sana. Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin mengungkapkan "rasanya tersingkir atas tindak kekerasan mematikan yang terus berlanjut terhadap warga sipil yang tidak bersenjata". Presiden Indonesia Joko Widodo menyerukan segera menghentikan kekerasan dan mengumumkan bahwa bersama dengan Brunei, akan mengadakan pertemuan khusus ASEAN (DW, 2021).

ASEAN telah mengupayakan penyelesaian krisis di negara tersebut melalui diskusi dan pertemuan dengan seluruh negara anggota. Pada April 2021 para pemimpin ASEAN bertemu dengan pemimpin kudeta Myanmar, Jendral Min Aung Hlaing untuk membicarakan perdamaian di Myanmar. Ke-9 pemimpin ASEAN dan Jenderal Hlaing menyetujui 5 poin konsensus ASEAN.  Lima poin konsensus itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar, dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, serta kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar. Selain itu Salah satu upaya ASEAN adalah pelaksanaan The ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus(AIPMC),  pembentukan  komisi  khusus  dalam rangka  menangani konflik di  Myanmar.  Pada pertemuan    di    Bali,    AIPMC    menghimbau Presiden Myanmar Thein Sein untuk melanjutkan    tugasnya    memajukan    proses demokratisasi    dan    penegakan    Hak    Asasi Manusia di Myanmar.

Indonesia sebagai negara yang memegang tongkat kepemimpinan ASEAN tahun ini juga terus berupaya mencari jalan keluar untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Indonesia  berusaha melakukan berbagai  upaya  untuk  menekan  pihak  militer Myanmar, melalui   pendekatan yang   lebih mengedepankan aktivitas diplomasi dan dialog. Upaya  aktif  Indonesia  juga  terlihat  dari aktivitas shuttle diplomacy yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, yaitu  dengan  berkunjung  ke  sejumlah  negara ASEAN,    diantaranya,    Brunei    Darussalam, Singapura    dan    Thailand,    dalam    rangka berdiskusi   dan   berkonsultasi   untuk   mencari solusi bersama, terkait kudeta militer Myanmar. Dalam  kunjungannya  tersebut,  Menlu  Retno Marsudi mengatakan “Indonesia memilih tidak tinggal   diam.   Berpangku   tangan   bukanlah pilihan". Selain  itu,  Di  luar  lingkup  ASEAN, Retno  Marsudi  mengatakan  bahwa  Indonesia juga telah menjalin komunikasi dengan China, Australia,  India,  Jepang,  Inggris  serta  utusan khusus sekjen PBB (BBC, 2021).  

Pada september lalu, Indonesia telah menyelesaikan rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta. Indonesia sebagai ketua, secara terbuka mengakui kurangnya kemajuan dalam melaksanakan rencana perdamaian blok tersebut.Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan kemarin setelah pertemuan puncak tahunan di Jakarta, para pemimpin Asia Tenggara “mengecam keras” kekerasan yang terus berlanjut di Myanmar, dan untuk pertama kalinya secara langsung menyalahkan militer Myanmar atas meningkatnya konflik yang melanda negara tersebut. Dalam pernyataan yang berjudul “Tinjauan dan Keputusan Para Pemimpin ASEAN mengenai Implementasi Konsensus Lima Poin,” berisi sejumlah langkah maju yang kecil namun signifikan dalam respons blok tersebut terhadap situasi di Myanmar. Yang pertama adalah membentuk “mekanisme konsultasi informal” – sebuah “troika” ASEAN – yang terdiri dari ketua-ketua ASEAN saat ini, di masa lalu, dan di masa depan. Tujuannya adalah untuk memastikan kesinambungan respons blok tersebut terhadap Myanmar dari tahun ke tahun. Pernyataan itu juga menegaskan bahwa Myanmar akan dicopot dari jabatan ketua blok berikutnya pada tahun 2026 dan digantikan oleh Filipina (Strangio, 2023).

ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara yang diharapkan mampu menyelesaikan konflik di Myanmar sebenarnya belum bisa berbuat banyak. Hal  ini  karena  ASEAN tersandera oleh doktrin dan prinsip tidak saling mengintervensi (non-interference principle) urusan internal masing-masing negara yang harus dihormati. Prinsip  non  intervensi  ini diciptakan sebagai sebuah wujud perlindungan untuk  menjamin  kemerdekaan  dan  kedaulatan negara-negara   anggota   dan   dalam   rangka mencegah    adanya    kemungkinan    intervensi asing  yang  tidak  diinginkan  terhadap  urusan dalam   negeri   dari   masing-masing   negara anggota. Seperti   yang   dikatakan perdana   menteri   Thailand   pada   pertemuan ASEAN ke-42 di Thailand, bahwa pendekatan secara  halus  (ASEAN  way)  lebih  efektif  untuk dilakukan  daripada  menggunakan  pemberian sanksi  kepada  Myanmar.  Pendekatan  ASEAN saat ini  lebih  berfokus  pada  proses  diplomatik yaitu  meyakinkan  pemerintah  Myanmar  untuk bekerja  sama  dengan  ASEAN  dalam  rangka menekan  tindak  kekerasan  di  Myanmar  yang masih   cukup   tinggi.   ASEAN   sendiri   lebih memposisikan  diri  sebagai  wadah  atau  media yang  dapat  digunakan  untuk  mendiskusikan masalah-masalah    yang    terjadi    dan    bukan sebagai  aktor  utama  yang  berhak  melakukan tindakan kepada negara anggotanya.

Dilihat dari kacamata supremasi hukum dan demokrasi, kudeta bulan Februari di Myanmar jelas melanggar Piagam ASEAN, tetapi setiap tindakan potensial yang diambil ASEAN untuk menangani pelanggaran tersebut bertentangan dengan prinsip ini. Meskipun mengadopsi "konsensus lima poin" tentang krisis setahun yang lalu, Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah gagal memenuhi janjinya atau mengambil langkah berarti untuk menekan junta untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusianya. Dua hari setelah kesepakatan konsensus, junta menarik kembali pengesahannya, mengumumkan akan mempertimbangkan “saran yang dibuat oleh para pemimpin ASEAN ketika situasi kembali stabil.” Alih-alih menghentikan serangan seperti yang diminta, junta meningkatkan pelanggarannya. Pelanggaran junta sejak kudeta meliputi pembunuhan massal, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.


Menurut penulis, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai sebuah organisasi kawasan yang besar dan memiliki kredibilitas di mata dunia dapat melakukan sesuatu lebih dari apa yang mereka lakukan sekarang. Organisasi ini seolah-olah kehilangan kekuatan dan kewibawaan sebagai organisasi regional. Dibandingkan dengan organisasi regional lainnya, ASEAN merupakan organisasi regional yang negara anggotanya sering berkonflik satu sama lain, dan ASEAN sebagai organisasi yang menaunginya tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut. Menurut  beberapa  pakar  politik,  kudeta  yang  terjadi  di  Myanmar  akan  berdampak  terhadap blok      jika      komunitas      internasional       tidak       mengambil  tindakan  yang  tegas. Selain itu, jika kudeta militer di Myanmar terus berjalan dan terkesan “tidak dihukum”, “tidak diadili” dan “dibiarkan” saja, perlahan akan menimbulkan effect domino yang membuat kelompok – kelompok yang tidak suka pemerintah atau regime di suatu negara melakukan hal yang sama. 

Berbagai macam upaya diskusi, meeting, hingga pertemuan tingkat tinggi yang telah dilaksanakan oleh organisasi ini guna mencari jalan keluar krisis militer di Myanmar merupakan sebuah usaha yang tepat dan memang harus dilakukan, namun seperti yang dikemukakan oleh Hans J Morgenthau dalam bukunya “Politics Among Nations:The Struggle for Power”, kita hidup di dunia yang anarki, setiap negara memiliki kepentingan nasional nya sendiri yang ingin dicapai, oleh karena itu dalam kasus ini agenda diskusi dan berbincang bersama tidak berjalan secara efektif karena semua negara hanya akan mengumbar janji dan usaha yang belum tentu direalisasikan, apalagi isu kudeta, politik, dan kemanusiaan ini adalah isu yang sensitif bagi beberapa negara di Asia Tenggara.

Adanya prinsip non-interference dan decision-making through consensus seakan seperti menjadikan ASEAN seperti boneka Barbie di dalam kotak merah muda yang tidak bisa bergerak dalam melaksanakan tugasnya sebagai sebuah organisasi besar. Prinsip non-intervensi  menjelma  begitu  kaku  dan  justru menyabotase  upaya-upaya  kolektif  penegakan keadilan yang berkaitan dengan kemanusiaan di negara-negara   termasuk   juga   dalam  kasus konflik kudeta ini (Ikhsani, 2019). Kedua prinsip tersebut sangat menghambat progress kerja ASEAN dalam mengatasi permasalahan di kawasan ini terutama saat berhadapan dengan krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan yang seharusnya berada di paling atas prioritas seluruh pihak kini menjadi tidak penting lagi ketika dihadapkan dengan prinsip non-interference. Ditambah lagi adanya konsep permufakatan dalam pengambilan keputusan membuat negara anggota ASEAN dapat memiliki posisi nya masing-masing dalam merespon permasalahan ini. Ketika satu negara menyatakan tidak setuju saat pengambilan keputusan, ASEAN tidak dapat bergerak karena keputusan yang tidak bulat, inilah salah satu faktor yang membuat progress kerja organisasi ini sangat lambat, mengingat dalam kasus kudeta militer ini beberapa negara di ASEAN pun melakukan hal yang serupa di dalam negaranya. Mekanisme  ASEAN Way  akhirnya membuat para anggotanya lebih sering melakukan kerja sama bilateral informal  tanpa  melibatkan  ASEAN.  Hal ini  terjadi  karena  dianggap  lebih  mudah    dan    lebih    longgar    dalam    pelaksanaannya. Selain itu, banyaknya tantangan dan isu-isu baru yang muncul dari proses globalisasi, serta tuntutan yang semakin besar untuk demokratisasi, dan meningkatnya perhatian internasional terhadap isu-isu kemanusiaaan dibandingkan dengan isu kedaulatan  negara membuat keefektifan prinsip non-interference serta ASEAN Way kini dipertanyakan. 

Kurangnya kemajuan dalam menyelesaikan krisis Myanmar menimbulkan hambatan yang menakutkan bagi asosiasi untuk mencapai tujuan dan prinsip yang diabadikan dalam Piagam ASEAN untuk membangun komunitas ASEAN yang memperjuangkan aturan hukum, pemerintahan yang baik, demokrasi, dan berpusat pada rakyat. Jika ASEAN kembali puas dengan menunggu selama krisis Myanmar, kredibilitas blok tersebut di mata masyarakat internasional akan anjlok, menimbulkan keraguan pada “sentralitas ASEAN”. Kemudian Lambatnya implementasi Five-Point Consensus telah menciutkan ASEAN di dalam maupun di luar kawasan. Selain itu dalam mengatasi kasus ini PBB pun tidak bisa berbuat banyak sebab Myanmar didukung oleh dua pemegang hak veto yaitu Rusia dan China, yang merupakan pemasok senjata kepada Myanmar selama bertahun – tahun. Oleh karena itu, ASEAN sebagai satu satunya organisasi yang paling dekat dan relevan harus segera mengambil sikap pasti agar kudeta di Myanmar berakhir sebelum krisis ini akan semakin parah, yang sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Vioti dan Kauppi yaitu keamanan merupakan isu utama dan menempati tempat teratas di samping isu-isu lainnya.

Negara-negara ASEAN terkemuka, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura, harus bekerja sama dengan pemerintah lain untuk mengembangkan pendekatan yang jelas dan terikat waktu untuk menekan junta Myanmar menuju reformasi, termasuk meningkatkan pembatasan pendapatan mata uang asing dan pembelian senjata. ASEAN harus mengisyaratkan dukungannya terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang melembagakan embargo senjata global, merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional, dan menjatuhkan sanksi yang ditargetkan pada kepemimpinan junta dan perusahaan milik militer. Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia dapat mengambil inisiatif, menawarkan beberapa model penyelesaian konflik di Myanmar, seperti yang pernah dialami di Indonesia dan sejumlah negara ASEAN lainnya. Indonesia juga dapat memfasilitasi perdamaian dengan berperan sebagai mediator. Indonesia cukup berpengalaman menjadi mediator konflik regional. Salah satunya adalah ketika Indonesia berperan aktif dalam meredam Perang Kamboja-Thailand pada tahun 2011. 

Walaupun prinsip non-intervensi sangat terdengar buruk saat ini, namun jika kedepannya ASEAN dapat melakukan intervensi dalam permasalahan tersebut, setiap rencana intervensi juga perlu mempertimbangkan berbagai tantangan Myanmar. Politik Myanmar sangat rentan dan lemahnya ekonomi politik berarti jalan menuju demokrasi akan panjang dan berliku. Negara ini menderita korupsi endemik, institusi negara yang rapuh, kehadiran militer yang sangat besar dalam perekonomian, dan — yang paling bermasalah — perselisihan berkepanjangan antara pemerintah pusat dan kelompok bersenjata di daerah pinggiran. Kenyataannya adalah bahwa krisis ini tidak dapat diselesaikan dalam semalam, apapun yang terjadi. Konflik tidak hanya tentang kudeta itu sendiri, atau masalah antara junta dan pemerintah sipil terpilih. Ini melibatkan faktor-faktor yang sudah berlangsung lama dalam hal sejarah, politik, budaya, dan khususnya ketegangan etnis. Oleh karena itu, solusi yang benar-benar damai untuk krisis Myanmar hanya dapat dicapai jika semua pihak terkait di Myanmar berkumpul di meja untuk berdialog dan bernegosiasi.





References

Arifin, S. (2022). Abuse of Human Rights in Myanmar:An Urgent Appeal to Reinterpret the ASEAN Non-Interference Principle. Human Rights in the Global South (HRGS), 128 - 138.

ASEAN Secretariat. (2015). The ASEAN Charter. Jakarta: ASEAN Secretariat.

BBC. (2021, March 1). Kudeta Myanmar: Mengapa Indonesia diharapkan membantu mengatasi krisis politik 'sahabat lama'? Retrieved from BBC: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56222076

DW. (2021, March 31). Kudeta Myanmar: Sikap ASEAN yang Terpecah. Retrieved from DW; Made For Minds: https://www.dw.com/id/sikap-asean-yang-terpecah-atas-myanmar/a-57052708

Ikhsani, M. (2019). Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Myanmar di bawah Prinsip Non-Intervensi ASEAN. Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah.

Morgenthau, H. J. (1948). Politics Among Nations : The Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A. Knopf, Inc.

Putri, A. S., Jasmine, P., Salma, R., Bagasta, G. S., & Faturrahman, M. P. (2021). Dampak Prinsip-Prinsip Dasar ASEAN Terhadap Pola Kerjasama ASEAN Menghadapi Krisis Kudeta Myanmar. Nation State: Journal of International Studies, 117- 140.

Ramadhani, Z., & Mabrurah. (2021). Pengaruh Prinsip Non-Intervensi ASEAN terhadap Upaya Negosiasi Indonesia Dalam Menangani Konflik Kudeta Myanmar . Global Political Studies Journal, 126.

Strangio, S. (2023, September 6). ASEAN Tweaks Its Approach Toward Military-Ruled Myanmar. Retrieved from The Diplonat Web site: https://thediplomat.com/2023/09/asean-tweaks-its-approach-toward-military-ruled-myanmar/

The Diplomat. (2021, August 09). ASEAN Can’t Do Much More About Myanmar’s Crisis. Retrieved from The Diplomat Web Site: https://thediplomat.com/2021/08/asean-cant-do-much-more-about-myanmars-crisis/

The Diplomat. (2022, January 2). ASEAN and Myanmar: Crisis and Opportunity. Retrieved from The Diplomat: https://thediplomat.com/2022/01/asean-and-myanmar-crisis-and-opportunity/

The New York Times. (2022, December 9). Myanmar’s Coup and Its Aftermath, Explained. Retrieved from The New York Times Web Site: https://www.nytimes.com/article/myanmar-news-protests-coup.html


0 Comments

Leave a comment