loading...

Kedaulatan Negara Terusik, Libanon Kembali Hadapi Israel

by : Rivaldo R.

Melacak garis sejarah konflik dari negara berbendera pohon cedar ini, Persetujuan Genjatan Senjata Israel-Lebanon sebelumnya pernah diadakan dan ditandatangani oleh Letnal Kolonel Moerdekhai Makleff yang mewakili Israel dan Letnal Kolonel Tawfiq Salim sebagai utusan dari Libanon di Ra’s Naqura, tanggal 23 Maret 1949. Israel menyutujui garis demarkasi sepanjang garis perbatasan lama, karenanya Israel bersedia menarik pasukan di selatan Libanon setelah okupasi sejak musim semi 1948. Itikad baik ini memperkenalkan kepada dunia internasional terjalinnya stabilitas yang lebih besar bagi hubungan Israel-Libanon selama lebih dari dua puluh tahun.

Secara geopolitikal Libanon seperti yang tertera di situs daring bernama World Atlas memaparkan negara ini berbatasan langsung dengan Israel di sebelah selatan, Syria di timur dan utaranya, dan laut mediteranian di sebelah barat. Relasi antara Tel. Aviv dan Beirut kembali memanas setelah dua pesawat nirawak milik Israel terbang secara ilegal di langit Libanon, disamping itu basis pergerakan faksi bersenjata Hizbullah yang berhijrah ke wilayah selatan Libanon menjadi akar alasan Israel  menempatkan ribuan pasukannya di sana. Namun langkah ini dinilai sebagai wujud dari penyalahgunaan, tentu hal ini dianggap sebagai suatu tindakan yang dapat mengancam dan merusak kedaulatan bagi Lebanon.

Padahal beberapa dekade sebelumnya, kedua kubu telah terikat dalam kesepakatan yaitu pada tahun 1949 keduanya telah mengadakan agreement yang diantaranya berisi bahwa Israel menarik pasukan dari Libanon, dan melanjutkan  keterlibatan Israel mengontrol wilayah selatan. Persetujuan Genjatan Senjata atau General Armistice Agreement (GAA) turut ditandatangani oleh beberapa negara terlibat selain Israel dan Libanon seperti Irak, Mesir, Jordania, dan Suriah karena memang pada dasarnya persetujuan genjatan senjata ini bertujuan untuk meredam perang “pembebasan” antara Israel dengan negara tetangganya yang berlangsung pada tahun 1948. Dengan demikian, persetujuan genjatan senjata tersebut berhasil mengakhiri perang dan melahirkan relasi stabil semi permanen antara negara-negara yang terlibat walau nantinya perang akan kembali terulang di tahun 1967 karena kegagalan Komisi Konsiliasi PBB mencapai perjanjian perdamaian yang lebih jelas dan menyuluruh untuk Palestina (Encyclopedia, 2019).

Perseteruan antara kedua belah pihak tidak lepas dari isu kompleks yang terjadi atas Palestina. Bermula dari setelah peristiwa “Black September” tahun 1970, pasukan pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organization (PLO) melakukan hijrah besar-besaran dari sebelumnya bermarkas di Yordania ke daerah kamp-kamp pengungsi yang terletak di selatan Libanon, hal inilah kemudian menyebabkan daerah tersebut menjadi arena tempur.

Berbicara tentang kedaulatan, setiap negara akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kedaulatan mereka melalui salah satunya peningkatan daya angkatan bersenjata aktif maupun sumber daya pendukung dan penyokongnya. Bertumpu ke pengertian kedaulatan menurut pandangan tradisionalis bahwa kedaulatan adalah sesuatu yang paling tinggi, mutlak, dan tidak dapat diganggu gugat, bebas menentukan arah politik, struktur sosial, skema ekonomi, dan penciptaan serta pemeliharan budaya tanpa membolehkan upaya asing untuk mencampuri urusan-urusan ini. Bagaimanapun, pendapat tradisionalis ternyata gagal menafsirkan kedaulatan di era sekarang, yang mana bagi mereka kedaulatan bersifat mutlak. Setidaknya, dengan menyesuaikan kondisi hubungan dan prilaku aktor internasional sekarang, kedaulatan mengalami perkembangan makna. Batasan-batasan wilayah yang memisahkan teritori antar negara juga berlaku untuk memisahkan kedaulatan mutlak satu negara atas negara lainnya. Kedua, kedaulatan negara akan berakhir jika kekuasaan negara lain dimulai.

Globalisasi selain menjadi pemicu laju tumbuhhnya regionalisme model baru, dia juga menjadi alasan utama mengapa kedaulatan menghadapi perubahan makna dan konsep dari apa yang diusung oleh kaum tradisionalis. Nampak, globalisasi menggerogoti kedaulatan negara sejengkal demi sejengkal jika tidak dilakukan penguatan nasionalisme dari dalam. Kita mengetahui bahwa generasi muda di belahan dunia timur telah terimbas budaya barat, merekapun mempraktekkannya dengan percaya diri. Hal ini memang tidak bisa dilarang, mengingat banyak negara dunia mengamini konsep demokrasi sebagai acuan dalam bernegara, pada sektor hiburan seperti ini, pemerintah dan organisasi non negara perlu terlibat agar kedaulatan negara dalam dimensi ini tidak semakin terancam dan parah. Namun tentu masih ada beberapa sektor dan poin dimana kedaulatan menjadi sangat dipertahankan.

Kedaulatan negara memiliki dua komponen: pertama adalah komponen internal bahwa negara yang berdaulat mempunyai hak ekslusif atas suatu wilayah tertenu, bebas dari campur tangan dan gangguan orang luar. Setiap bentuk suatu intervensi yang mana berujung kepada pemaksaan atau penggunaan kekerasan dalam masa damai termasuk ke dalam perbuatan yang melanggar konsep kedaulatan. Kedua secara eksternal, negara juga memiliki hak istemewa dan khusus untuk mengambil pilihan berperang, dan menjadi aktor yang dapat terlibat dalam hukum internasional guna memungkinkan negara tersebut untuk mengadakan kontrak dan hubungan internasional dengan negara-negara lain (Dewi, 2013).

Dalam kurun waktu tiga belas tahun terakhir terhitung sejak akhir dari konflik bersenjata Israel-Hizbullah pada 2006 yang ditandai dengan kesepakatan genjatan senjata dan memberlakukan status quo di kawasan pertempuran tersebut, yang mana pada 11 Agustus 2006 Dewan Keamanan PBB menyetujui dan memberlakukan resolusi 1701 yang berbunyi pemerintah Libanon mengambil tanggung jawab mengintensifkan pos-pos keamanan di sepanjang perbatasan dan Israel harus menarik 15.000 pasukannya.  Semenjak disepakatinya genjatan senjata, koneksi kedua pihak relatif stabil walau terkadang dalam beberapa kesempatan masih ada ancaman-ancaman verbal dari masing-masing pimpinan. Ketegangan sebenarnya dipicu oleh aktivitas kelompok bersenjata Hizbullah yang sejak dulu telah lama mempunyai hubungan yang tidak stabil dengan Israel.

            Malcolm D. Evans menerangkan bahkan ada masanya ketika istilah perang muncul dan lazim digunakan. Secara formal, Negara akan menghadapi kondisi perang jika telah melalui fase declaration of war/pernyataan perang dari salah satu negara/pihak yang tengah bermasalah atau adanya indikasi yang meyakinkan pemimpin negara bahwa telah terjadi tindakan militer yang dinilai sebagai ajakan untuk berperang. Maka dari itu eskalasi tensi antara Israel dan Libanon yang direpresentasikan oleh  Hizbullahnya dapat menyeret kedua pihak ke arena perang terbuka.

            Beberapa bulan lalu tepatnya pada ahad malam tanggal 25 Agustus 2019, Presiden Libanon Michele Aoun secara tegas menanggapi bahwa dua serangan drone yang diduga kuat berasal dari Israel adalah bentuk dari deklarasi perang. Agresi tersebut serentak terjadi di Beirut yang mana satu pesawat tanpa awak tersebut menabrak pusat media milik Hizbullah dan menyebabkan kerusakan parah. Satunya lagi menabrak dan tidak meledak karena ada kesalahan teknis (Damarjati, 2019). Dalam kondisi seperti ini, tentu kedaulatan Libanon sedang dalam posisi terguncang. Ketika suatu instrumen militer atau sejenisnya milik negara asing telah dengan sengaja dan ilegal beroperasi di wilayah domestik, berarti telah melanggar konsep kedaulatan. Aoun beserta sekutunya Hasan Nasrallah yang memimpin Hizbullah berhak untuk memutuskan perlawanan dalam rangka menjaga kedaulatan nasional. Seirama, Menteri Pertahanan Libanon Elias Bou Saab yang telah melakukan inspeksi ke daerah konflik menegaskan bahwa negaranya tidak akan pernah menyerahkan sejengkal tanah kepada Israel (Republika, 2019). Lebih lanjut, Saab semakin intens memburu hak wilayah Libanon melalui koordinasi dengan UNIFIL (Pasukan Sementara PBB di Libanon) yang berorientasi menciptakan perdamaian abadi.

Oleh karena itu, Aoun tidak segan-segan menyatakan bahwa negara mereka siap melawan yang bertujuan untuk mempertahankan diri. Namun tidak cukup sampai disini, langkah Aoun selanjutnya mencoba untuk melobi dua kekuatan besar dunia yakni Amerika Serikat dan Perancis agar turut andil menangani masalah ini. Permintaan Aoun tentu mempunyai dasar mengingat dua negara tersebut adalah anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Sehubungan dengan hal ini, DK PBB terbukti telah mempunyai rekam jejak untuk berperan menengahi konflik ketika tahun 2006 silam. Penugasan ribuan tentara penjaga perdamaian yang tergabung di UNIFIL adalah sautu bentuk komitmen DK PBB memelihara dan menciptakan perdamaian abadi di dunia. DK PBB yang beranggotakan lima negara pemegang hak Veto termasuk dua diantaranya Perancis dan Amerika Serikat secara militer memang mempunyai posisi dan pengaruh yang kuat di mata internasional. Data yang diambil dari globalfirepower.com menunjukkan keduanya juga menempati posisi sepuluh besar dalam kategori alokasi anggaran negara untuk militer yakni berturut-turut sebesar 716 miliar USD dan 40,5 miliar USD (GFP, 2019).  Inisiasi ini dilakukan oleh Presiden Libanon karena dirinya telah mengkonfirmasi pernyataan Perdana Menterinya Saad Hariri secara jelas bahwa permasalahan  Hizbullah bukanlah masalah internal negaranya, tetapi telah berubah status menjadi masalah regional (Turak, 2019), yang mana instabilitas politik dan militer di suatu kawasan akan membawa dampak ke kondisi dan stabilitas global.

Jika diklasifikasikan, konflik yang menyobek situasi damai di sepanjang perbatasan Israel-Libanon awalnya berstatus konflik bersenjata non-internasional yang mana aktornya diperankan oleh state (Israel) dan aktor non-state (Hizbullah)bersenjata. Namun ternyata dalam perkembangannya permusuhan ini turut menarik pemerintah Libanon sebagai negara yang terlibat di arena perang, maka kalisfikasi perang berubah menjadi konflik bersenjata internasional. Baik kedua klasifikasi perang tersebut telah mendapat aturan-aturan yang diformulasikan dalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan 1 & 2. Disamping itu, sejalan dengan pernyataan Hariri bahwa konfik telah menjadi masalah kawasan, karena Hizbullah sebagai kelompok bersenjata juga mendapat sokongan dari Iran. Israelpun sebagai rivalnya, juga memperoleh dukungan dan suplai besar dari Amerika Serikat dari sisi politik dan militer. Sehingga, jika kembali kita  tarik benang merahnya, konflik bersenjata yang tengah berlaku dan menyeret beberapa aktor negara yang berpotensi besar bisa melakukan intervensi adalah masuk ke dalam kategori konflik bersenjata internasional.

             Berangkat dari pengalaman meredam konflik pada 2006 lalu dengan instrumen resolusi 1701 yang disetujui oleh Dewan Keamanan PBB hendaknya Amerika Serikat dan Perancis melalui Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi supranasional dapat menemukan jalan baru untuk menyudahi konflik. Misalnya memberlakukan amandemen untuk perjanjian genjatan senjata yang telah diteken antara dua pihak 13 tahun lalu. Terkesan pihak-pihak yang bersengketa mengesampingkan perjanjian lama yang dianggap telah usang dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku dari kedua negara. Melihat tujuan utama dari amandemen ialah melakukan modifikasi dan perubahan untuk menciptakan keadaan yang lebih baik. Disamping itu, dinamika ketegangan yang terus mengalami perkembangan menuntut untuk dijalankannya suatu agreement  baru yang dapat mengakomodasi kejadian ini. DK PBB untuk merealisasikan ide ini maka dia perlu melakukan negosiasi kembali dengan Israel dan Libanon untuk mendapat persetujuan mereka. Persetujuan kedua belah pihak sangat esensial untuk menentukan perubahan, mustahil mengamandemen persetujuan dengan mengabaikan suara para pesertanya. Satu keuntungannya bahwa merumuskan amandemen persetujuan bilateral terbilang lebih mudah daripada rumusan perjanjian multirateral (Roisah, 2015).

            Terlepas dari usaha mewujudkan perdamaian, Isreal dan Libanon tidak akan benar-benar berperang kecuali telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang bersifat kumulatif untuk bisa masuk ke dalam fase berperang reguler. Kriteria-kriteria tersebut yaitu: just causa/causa ista (dilakukan berdasarkan sebab yang sah dan dibenarkan), right intention/recta intentio (dilakukan dengan niat yang benar), competent authority/auctoritas recta (dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk menggunakan kekerasan bersenjata), last resort/ultima ratio (dilakukan sebagai sarana terakhir), dan peace as the ultimate obkective (dilakukan dengan tujuan akhir menciptakan perdamaian) (Suswanto, 2015). Keduanya tentu terikat dan tunduk kepada hukum humaniter internasional guna meminimalisir korban jiwa dan melindungi entitas-entitas rentan seperti penduduk sipil dan tentara yang terluka. Apalagi kedunya telah meratifikasi Konvensi Jenewa IV 1949 relatif mengenai perlindungan warga sipil di masa perang masing-masing pada tanggal 06 Juli 1951 untuk Israel, dan Lebanon meratifikasi pada tanggal 10 April 1951 ((ICRC), 2019).

Konvensi Jenewa menjamin orang-orang yang rentan di saat perang diantaranya orang sakit, terluka, lumpuh, korban kapal karam, tawanan perang, penduduk sipil dan kawasan permukimannya. Tenaga bantuan medis dan segenap perangkat serta instrumennya juga mendapat hak untuk bebas dari target serangan ketika masa perang. Sengketa Libanon-Israel jika kembali terpaksa berkonfrontasi secara kekerasan dengan mengerahkan angkatan bersenjata masing-masing dalam skala besar dan berpotensi memberikan dampak ke sipil, hendaknya bertindak mengacu aturan-aturan dalam Konvensi Jenewa dan Protokol tambahan I yang mengontrol tentang konflik bersenjata internasional.

REFERENSI

(ICRC), I. C. (2019). Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva, 12 August 1949. Diambil kembali dari ICRC:Treaties, States Parties and Commentaries: https://ihl-databases.icrc.org

Damarjati, D. (2019, September 1). Insiden Drone, Hizbullah: Respons terhadap Israel Telah Diputuskan. Diambil kembali dari detiknews: https://news.detik.com/internasional/d-4688759/

Dewi, Y. T. (2013). Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Encyclopedia. (2019, Oktober 03). Arab–Israeli General Armistice Agreements (1949). Diambil kembali dari ENCYCLOPEDIA.COM: https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/

GFP. (2019). Defense Spending by Country. Diambil kembali dari GFP Strength in Numbers: www.globalfirepower.com

Republika. (2019, April 25). Lebanon tak akan Biarkan Israel Ambil Tanahnya Sejengkal pun. Diambil kembali dari REPUBLIKA.co.id: m.republika.co.id

Roisah, K. (2015). Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktik. Malang: Setara Press.

Suswanto, A. (2015). Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Turak, T. K. (2019, September 8). Israel Vs Hizbullah, Hariri: Hizbullah Bukanlah Masalah Ciptaan Lebanon. Diambil kembali dari matamata politik: matamatapolitik.com

0 Comments

Leave a comment