loading...

Keamanan Komunitas Bagi Kelompok Muslim di India

        Penulis: Muhamad Syahril Jumhur (UIN Sunan Ampel)

        Keamanan komunitas merupakan salah satu komponen dari tujuh komponen keamanan manusia atau Human Security, yaitu keamanan ekonomi, politik, kesehatan, pangan, lingkungan, dan individu. Keamanan manusia merupakan perkembangan dari keamanan tradisional yang hanya berpusat pada keamanan untuk negara. Secara konsep, keamanan manusia resmi dicetuskan oleh UNDP melalui Human Development Report (HDR) pada tahun 1994 dengan makna ‘freedom of fear, freedom of want, and freedom of indignities’. Konsep tersebut berpusat pada keamanan bagi manusia dengan tujuh komponen universal dan saling bergantung satu sama lain yang telah disebutkan di atas (Tadjbakhsh, 2014).

            Kemudian beralih ke makna komunitas itu sendiri. Komunitas adalah kumpulan individu yang didasarkan pada geografis, kepentingan, nilai, atau kebutuhan bersama, seperti pemuda, perempuan, pekerja, atau keagamaan. Jadi, Keamanan komunitas adalah pendekatan yang berorientasi pada sekelompok orang untuk mengatasi ancaman atau ketidakamanan yang mengintegrasikan keamanan manusia dengan paradigma pembangunan nasional (UNDP, 2009). Dalam hal ini, komunitas yang akan dibahas adalah kelompok muslim di India. Komunitas Muslim India merupakan sekumpulan individu yang disatukan oleh nilai yang sama, yaitu Islam dan wilayah geografis, yaitu India. India merupakan negara yang menempati posisi ketiga sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ditambah lagi menurut prediksi dari Pew Research Center, India akan mendapat predikat pertama negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia pada tahun 2060. Namun, kondisi tersebut tidak membuat kelompok muslim di India menjadi mayoritas, karena kelompok penganut Hindu jumlahnya masih jauh lebih besar dari populasi muslim. Jadi, Negara India tetap dikenal dengan nama “Hindustan” yang berarti Tanah Hindu (Abeyasa, 2022).

            Dalam sejarah, Islam mulai masuk ke India pada abad ke-8 melalui jalur peperangan. Ekspansi yang berkepanjangan yang dilakukan umat Islam saat itu hampir menguasai sebagian besar wilayah India. Kerajaan muslim yang menguasai wilayah India saat itu menerapkan pendekatan sosial dan budaya untuk menarik masyarakat, seperti dalam hal pembangunan masjid yang arsitekturnya mirip dengan tempat ibadah umat Hindu, seperti candi. Kejayaan Islam mulai luntur saat Inggris menjajah India dengan perusahaan multinasionalnya, yaitu East-India Company pada awal abad ke-19. Di samping mengeruk kekayaan alam India, para pendatang dari Inggris tersebut juga merusak tatanan sosial, budaya, dan agama yang telah ada (Abeyasa, 2022).

            Saat ini, jumlah pemeluk Islam di India berada angka 14 % dari total seluruh warga India. Islam menempati urutan kedua di bawah Hindu yang kemudian diikuti di urutan ketiga dan seterusnya oleh agama Kristen, Sikh, Buddha, Jain, Zoroaster, dan lain-lain. Pemerintah India memiliki kementrian khusus untuk menangani kaum minoritas, yaitu Kementrian Urusan Minoritas dan Komisi Nasional yang merujuk pada pemeluk agama-agama selain Hindu. Dalam masyarakat, Hindu tidak hanya dikenal sebagai agama, tetapi dapat juga menjadi identitas kultural dan juga menjadi basis budaya bangsa (Ulum, 2018). Jadi, umat Hindu di India yang mencapai lebih dari satu milyar pemeluk ini memiliki kelompok yang ultranasionalis ekstrem, yang terkadang mendiskriminasi kaum minoritas, khususnya komunitas muslim.

            Diliput dari Republika.id (2022), Serentetan diskriminasi yang dialami komunitas muslim dapat ditarik sejak 2014, ketika Narendra Modi terpilih sebagai Perdana Menteri India. Partai yang menjadi kendaraan Modi yaitu Bharatiya Janata Party (BJP) dikenal sebagai Partai Hindu sayap kanan. Modi juga diketahui memiliki catatan kelam ketika memimpin Gujarat di mana terjadi kerusuhan yang menewaskan 2.000 orang yang sebagian besar muslim. Kemudian pada Agustus 2019, parlemen yang dikuasai mayoritas BJP berhasil mengesahkan pencabutan otonomi dari satu-satunya wilayah mayoritas muslimnya, yaitu Kashmir yang juga disengketakan dengan Pakistan. Kebijakan tersebut menimbulkan unjuk rasa rakyat Kashmir yang selanjutnya disikapi tindakan represif oleh militer India dan pemadaman jaringan internet. Ditambah lagi pada November 2019, Mahkamah Agung India mengabulkan tuntutan kelompok Hindu ekstrem untuk mengubah status Masjid Ayodhya menjadi Kuil Sri Rama yang dalam waktu tidak lama, Narendra Modi langsung melakukan kunjungan ke tempat itu. Pada puncaknya, Parlemen India mengesahkan amandemen undang-undang kewarganegaraan yang mendiskriminasikan masyarakat yang beragama Islam.

            Amandemen yang diberi nama Citizenship Amandement Act (CAA) itu disepakati pada 11 Desember 2019 dan berbunyi "In the Citizenship Act, 1955 (herein after referred to as the principal Act), in section 2, in subsection (1), in clause (b), the following proviso shalla be instered namely : "Provided that any person belonging to Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi or Christian community from Afghanistan, Bangladesh or Pakistan, who entered into India on or before the 31st day of December, 2014 and who has been exempted by the Central Government by or under clause (c) of sub-section (2) of section 3 of the Passport (Entry into India) Act, 1920 or from the application of the provisions of the Foreigners Act, 1946 or any rule or order made thereunder, shall not be treated as illegal migrant for the purposes of this Act;" (Mangkuto, 2019). Dalam UU yang baru tersebut, disebutkan bahwa pemberian kewarganegaraan akan dipercepat bagi warga dari enam agama, yaitu Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen yang datang dari negara tetangga, meliputi Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan, jika mereka datang ke India sebelum 2015. Regulasi baru tersebut tidak menyertakan Islam sama sekali, sehingga itu dapat menjadi ancaman terhadap komunitas muslim, karena akan membuat banyak muslim India kehilangan kewarganegaraan. Amandemen tersebut juga didukung dengan regulasi National Register of Citizens (NRC) yaitu regulasi untuk mendokumentasikan seluruh warga negara India yang legal, sehingga para imigran yang ilegal dapat diidentifikasi lalu dideportasi. Padahal sebelum diamandemen, UU kewarganegaraan tersebut melarang imigran ilegal menjadi warga negara India secara mutlak, tanpa memandang agamanya (Ramadani, 2020).

            Undang-undang tersebut tentunys mengalami penolakan dan pengecaman dari komunitas muslim. Lalu pada Februari 2020 setelah aksi penolakan CAA dan NRC berjalan tiga bulan, terjadi aksi pemburuan terhadap warga muslim di Ibukota, New Delhi. Dilaporkan sebanyak 53 orang tewas yang 40 diantaranya muslim, diikuti pembakaran rumah dan pertokoan. Situasi tersebut juga diperparah dengan berbagai sekolah negeri di wilayah Karnataka yang menerapkan kebijakan larangan memakai hijab bagi muridnya. Pelarangan Hijab yang merupakan bagian dari aturan umat Islam tentu memicu aksi protes dari para pelajar muslim (Permana, 2022).

            Berdasarkan situasi dan kondisi komunitas muslim India di atas, keamanan komunitas yang merupakan salah satu komponen keamanan manusia belum terpenuhi dengan baik, karena terdapat pengucilan sosial dan kebijakan diskriminatif terhadap suatu komunitas. Konflik yang didasari keagamaan ini terjadi antara umat Hindu ultranasionalis dan komunitas Muslim. Kelompok Hindu yang menguasai parlemen India tersebut meloloskan berbagai undang-undang yang diskriminatif terhadap muslim.

            Jika dilihat dari penyebab konflik keagamaan yang dibagi menjadi dua oleh Almirzanah (2002) yaitu  faktor di luar agama, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, dan kemiskinan, dan faktor di dalam agama di mana agama itu sendiri menimbulkan konflik yang sulit diredam, konflik yang terjadi antara komunitas Hindu dan Muslim utamanya disebabkan oleh faktor di luar agama, yaitu faktor politik di mana pemerintah yang berkuasa itu cenderung mendiskriminasi salah satu komunitas keagamaan, yaitu komunitas muslim, seperti dengan disahkannya aturan CAA dan NRC yang telah dijelaskan di atas. Konflik tersebut juga diperkuat oleh faktor di dalam agama itu sendiri, karena perbedaan identitas agama tersebutlah yang menimbulkan konflik tersebut terjadi, seperti adanya ajaran dari pemuka agama Hindu bernama Yati Narsinghanand Giri yang mendorong kebencian, bahkan genosida terhadap komunitas Muslim India (Almas, 2022).

References

Abeyasa, A. (2022, April 26). Sejarah Perkembangan Islam di India: Populasi dan Kondisi Terkini. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/sejarah-perkembangan-islam-di-india-populasi-dan-kondisi-terkini-grpk

Almas, P. (2022, Januari 19). Seruan Genosida Muslim dan Penangkapan Biksu India. Retrieved from Republika: https://republika.co.id/berita/r5xwae335/seruan-genosida-muslim-dan-penangkapan-biksu-india

Almirzanah, S. (2002). Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian; Studi Bersama Antar Iman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mangkuto, S. (2019, Desember 24). UU Kewarganegaraan Anti-Muslim India, Mengapa Memicu Protes?

Permana, F. E. (2022, Februari 22). Muslim India Ditindas, ICMI Dorong Indonesia Bersikap. Retrieved from Republika.id: https://www.republika.id/posts/25336/muslim-india-ditindas-icmi-dorong-indonesia-bersikap

Ramadani, R. Y. (2020). Diskirminasi Kaum Muslim Di India Menurut Konvensi . Journal Inicio Legis Volume 1 Nomor 1, 7.

Tadjbakhsh, S. (2014). Human Security Twenty Years on. Norwegian Peacebuilding Centre.

Ulum, R. (2018). INSTITUSI MINORITAS DAN STRUKTUR SOSIAL. Harmoni, 14.

UNDP. (2009). Community Security and Social Cohesion Towards an UNDP Approach. Retrieved from United Nations Development Programme.

 

0 Comments

Leave a comment