Kasus Pelatihan Militer Angkatan Udara Singapura di Langit Indonesia Menurut Pandangan Hukum Udara Internasional

Abstrak
Tulisan ini membahas fenomena yang terjadi di langit
Indonesia, khususnya di provinsi Riau, terkait kekhawatiran pertahanan
Indonesia akibat pesawat-pesawat angkatan udara Singapura yang melakukan
latihan di wilayah udara Indonesia pada bulan Oktober 2015. Latihan militer ini
sebenarnya telah dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun
1995, ketika kedua negara menandatangani perjanjian militer yang dikenal
sebagai Perjanjian Kawasan Latihan Militer (MTA), yang berlaku selama 6 tahun
hingga tahun 2001. Namun, kekhawatiran muncul ketika Singapura kembali
melaksanakan latihan militer di langit Indonesia tanpa memperpanjang izin
kepada pihak Indonesia, yang membuat pertahanan Indonesia merasa marah.
Masalah ini menimbulkan kekhawatiran terhadap
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jika dibiarkan begitu
saja. Kami pun mulai meneliti kasus ini dari perspektif antar negara dan hukum
internasional. Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan hukum internasional
mengenai kegiatan negara di langit negara lain, seperti Traktat Angkasa Luar
1967 mengenai pemanfaatan luar angkasa dan konvensi Paris tahun 1919 yang
menegaskan kedaulatan negara atas yurisdiksinya sendiri. Dengan
mempertimbangkan kedua aspek ini, fenomena ini layak untuk diteliti secara
ilmiah dan memberikan pendapat yang jelas.
Kata kunci: MTA, Singapura dan Indonesia, Hukum
internasional luar angkasa, keamanan.
1.Pendahuluan
Indonesia, sebagai
negara terbesar di Asia Tenggara, memiliki wilayah yang luas di darat, laut,
dan udara. Hal ini membuat negara-negara tetangga tertarik untuk memanfaatkan
keadaan tersebut dalam berbagai bidang. Dalam hal ini, Singapura menargetkan
wilayah udara Indonesia sebagai tempat untuk melaksanakan latihan angkatan
udaranya melalui kerjasama bilateral di bidang pertahanan. Mengingat
keterbatasan wilayah udara mereka sendiri, Singapura ingin melakukan kegiatan
militer di negara tetangganya, yaitu Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui
kerjasama yang diajukan oleh menteri pertahanan dan deputi perdana menteri
Singapura, Tony Tan, kepada pemerintah Indonesia agar mereka dapat menggunakan
wilayah udara Indonesia sebagai area latihan. Kerjasama ini kemudian dituangkan
dalam sebuah perjanjian tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak secara
sah, tanpa mempertimbangkan pendapat publik.
Kegiatan latihan
militer asing sendiri merupakan permasalahan bagi pemerintah dan masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah melakukan pertimbangan matang mengenai
daerah latihan, waktu latihan, dan hal lainnya. Singapura sendiri melakukan
latihan militer di wilayah orang lain karena keterbatasan wilayah udara mereka
yang sangat sempit, meskipun mereka merupakan negara maju di Asia Tenggara.
Tidak ada masalah dalam
pelaksanaan latihan militer yang dilakukan oleh Singapura. Namun, menurut
panglima TNI, Gatot Nurmantyo, pelatihan tersebut melanggar batas waktu yang
telah disepakati dalam perjanjian, tanpa adanya perpanjangan izin dari pihak
Singapura. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan mendapat respon negatif dari beberapa pihak di pemerintahan
Indonesia, terutama dari kementerian pertahanan. Seharusnya, Singapura harus
memperoleh izin jika ingin menggunakan langit Indonesia.
Dalam tulisan ini, akan
dijelaskan dua hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan wilayah untuk
latihan militer asing di negara tetangga, serta berbagai tanggapan dari
berbagai pihak. Pertama, akan dibahas isi dan aturan yang tercantum dalam
perjanjian yang menjadi pedoman kerjasama kedua negara, yaitu perjanjian
military training area (MTA) yang kontroversial di dunia militer. Kedua, akan
dibahas pandangan hukum mengenai ruang angkasa dan luar angkasa internasional
dalam melihat fenomena antara Singapura dan Indonesia. Bagaimana isi perjanjian
military training area (MTA) yang menjadi legalitas izin kegiatan tersebut? Dan
bagaimana fenomena ini dilihat dari perspektif hukum ruang angkasa dan luar
angkasa internasional?
2.Tinjauan Pustaka
Terkait
Berikut adalah tabel
yang berisi tinjauan pustaka terkait dengan kasus pelatihan militer Angkatan
Udara Singapura di langit Indonesia dan pandangan hukum ruang angkasa
internasional:
No. |
Sumber Referensi |
Penulis |
Tahun |
1 |
Artikel: "Pengaturan
Pemanfaatan Ruang Angkasa Menurut Perjanjian Internasional Space Treaty
1967" |
Amadea, Harold, Stefan |
2021 |
2 |
Artikel: "Urgensi
Penataan Hukum Keruangangkasaan Dalam Kerangka Kepentingan Nasional Negara
Berkembang" |
Agus Pramono |
2019 |
3 |
Keputusan Presiden
(KEPPRES) Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Agreement Between Indonesia
and Singapore |
Entitas Pemerintah Pusat |
1996 |
4 |
Jurnal: "Yurisdiksi
Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional" |
Barus |
2014 |
5 |
Buku: "Hukum Luar
Angkasa dan Outer Space Laws" |
Syahmin, Utama, Idris |
2012 |
Tinjauan pustaka
tersebut meliputi artikel yang membahas pengaturan pemanfaatan ruang angkasa,
urgensi penataan hukum keruangangkasaan, keputusan presiden yang mengesahkan
perjanjian antara Indonesia dan Singapura, yurisdiksi wilayah udara suatu
negara dalam hukum internasional, dan buku yang menjelaskan hukum luar angkasa
dan outer space laws. Semua sumber referensi tersebut memiliki kaitan dengan
kasus pelatihan militer Angkatan Udara Singapura di langit Indonesia dan
pandangan hukum ruang angkasa internasional.
3.Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif, kuantitatif, dan penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian kuantitatif bertujuan untuk
mengumpulkan dan menganalisis data guna memberikan informasi yang dapat dipercaya
dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah (Cresswell, 2003). Sementara itu,
metode penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan topik secara
mendalam dan mendokumentasikan mekanisme atau proses kausal (Neuman, 2014).
Metode penelitian hukum
normatif, yang juga dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal, dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soerjono Soekanto & Sri
Mamudji, 2003). Menurut Peter Mahmud Marzuki (2010), metode penelitian hukum
normatif merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
dan doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Penelitian ini
dilakukan dengan mengumpulkan data dan menerapkan metodologi di atas. Dengan
menggunakan pendekatan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang pandangan hukum ruang angkasa internasional terhadap kasus
pelatihan militer Angkatan Udara Singapura di langit Indonesia.
Pengumpulan data
dilakukan melalui penelitian terkini yang berasal dari berbagai sumber.
Referensi utama pertama adalah artikel yang membahas pengaturan pemanfaatan
ruang angkasa berdasarkan perjanjian internasional Space Treaty 1967 yang
disusun oleh Amadea, Harold, Stefan (2021). Selanjutnya, penelitian ini juga
menggunakan jurnal, tesis, buku, dan berita sebagai referensi tambahan. Data
dari sumber-sumber tersebut kemudian disusun secara terstruktur untuk
memberikan informasi yang jelas kepada pembaca.
Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan model interaktif. Proses ini meliputi pengumpulan
data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian dilakukan reduksi
data, yaitu memilih dan menganalisis data mentah yang relevan untuk menghasilkan
hasil yang lebih jelas. Data yang telah direduksi disajikan dalam bentuk
singkatan, bagan, tabel, dan grafik agar lebih mudah dipahami. Peneliti
kemudian menghasilkan temuan berdasarkan data yang telah disensor dan
ditampilkan (Hube & Mile, 2018).
Dengan menggunakan
metodologi ini, penelitian ini berusaha untuk mengungkap pandangan hukum ruang
angkasa internasional terkait dengan keamanan dalam konteks kasus pelatihan
militer Angkatan Udara Singapura di langit Indonesia.
4.FINDING (TEMUAN)
4.1. Military
training agreement (MTA)
Dalam
konteks kerjasama militer antara Indonesia dan Singapura, terdapat sebuah
perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Pelatihan Militer (MTA). Perjanjian
ini memungkinkan Singapura untuk menggunakan wilayah udara Indonesia di daerah
Kepulauan Riau dan Natuna untuk keperluan latihan militer. Kerjasama ini
didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, di mana Singapura dapat berlatih
di wilayah udara Indonesia sementara Indonesia mendapat bantuan dalam bentuk
teknologi senjata canggih serta pembangunan fasilitas dan infrastruktur
militer.
Perjanjian
ini melibatkan perwakilan dari masing-masing negara, dengan Indonesia diwakili
oleh Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat dan Singapura diwakili
oleh Menteri Pertahanan Dr. Tony Tan. Mulai tanggal 21 September 1995, secara
resmi Indonesia secara hukum memberikan izin penggunaan wilayah udaranya untuk
latihan militer Angkatan Udara Singapura.
Perjanjian
ini memiliki masa berlaku selama 5 tahun, sehingga pada tahun 2001 perjanjian
tersebut berakhir, meskipun upaya perpanjangan selalu dilakukan oleh Singapura.
Namun, upaya perpanjangan ini menuai banyak kecaman dari pihak Indonesia yang
menginginkan adanya pembaruan dalam perjanjian tersebut, khususnya terkait
pengendalian pelaku kejahatan internasional yang menjadi buron di Indonesia.
Meskipun sudah dibahas dalam perjanjian baru yang kemudian dibekukan mengenai
peran buronan internasional dalam kerjasama internasional.
Dalam
perjanjian ini, wilayah udara Indonesia yang diberikan izin untuk digunakan
dalam latihan dibagi menjadi dua bagian: 1) Area 1 mencakup wilayah barat daya
Singapura hingga Tanjung Pinang dan utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau, dan 2)
Area 2 mencakup wilayah timur Singapura hingga Kepulauan Natuna.
Dengan demikian, temuan ini mengungkapkan
tentang eksistensi Perjanjian Pelatihan Militer (MTA) antara Indonesia dan
Singapura yang memungkinkan Singapura untuk menggunakan wilayah udara Indonesia
dalam latihan militer. Temuan ini juga menyoroti beberapa isu terkait keamanan,
seperti pembaruan perjanjian untuk mencakup pengendalian pelaku kejahatan
internasional yang menjadi buron di Indonesia dalam international hub.
Gambar 1
Perjanjian Pelatihan Militer (MTA)
antara Indonesia dan Singapura memiliki isi sebagai berikut:
Perjanjian ini memungkinkan pesawat
militer Singapura untuk melakukan uji kelayakan udara, pemeriksaan teknis, dan
pelatihan penerbangan di wilayah udara yang diberikan oleh Indonesia kepada
Singapura. Area pelatihan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Area 1 yang meliputi
barat daya Singapura hingga Tanjung Pinang dan utara Pulau Bintan, Kepulauan
Riau, dan Area 2 yang mencakup timur Singapura hingga Kepulauan Natuna. Jumlah
pesawat Singapura di Area 1 tidak boleh melebihi 15 pesawat pada satu waktu dan
jumlah penerbangan maksimum adalah 40 pesawat per hari.
Selain itu, perjanjian ini mencakup
kontrol lalu lintas udara, di mana pesawat Singapura yang melintas ke, dari,
atau berada di wilayah udara Indonesia akan diproses melalui lalu lintas udara
Singapura untuk alasan praktis dan logistik. Perjanjian
ini juga menyebutkan pembentukan Komite Pelatihan Bersama yang bertugas
menyusun prosedur terkait perjanjian ini dan menjaga kepentingan dan keamanan
Republik Indonesia. Setiap perbedaan yang timbul dari penafsiran atau
pelaksanaan perjanjian akan diselesaikan melalui konsultasi damai antara kedua
pihak.
Perjanjian ini akan ditinjau kembali
setelah lima tahun dan dapat diperpanjang jika kedua pihak merasa bermanfaat
untuk melakukannya. Pemberlakuan perjanjian ini akan dimulai setelah
pemberitahuan resmi dari masing-masing pihak mengenai pemenuhan prosedur hukum
internal terkait ratifikasi.
Dengan demikian, perjanjian ini
mengatur kerjasama pelatihan militer antara Indonesia dan Singapura, terutama
terkait penggunaan wilayah udara Indonesia oleh Angkatan Udara Singapura. Isi
perjanjian tersebut memiliki kaitan dengan keamanan karena melibatkan
pengaturan kontrol lalu lintas udara dan persyaratan keamanan yang harus
dipenuhi untuk menjaga kepentingan Republik Indonesia.
4.2 Konvensi Paris 1919
dan Konvensi Chicago 1944
Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 adalah dua pengaturan
internasional pertama yang membahas tentang penerbangan udara. Konvensi Paris,
yang diselenggarakan pada tahun 1919 di Paris, Prancis, mengakui bahwa setiap
negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas
wilayahnya. Konvensi ini memperluas konsep wilayah suatu negara untuk mencakup
wilayah nasional dan perairan teritorial yang berbatasan dengannya. Meskipun
konvensi ini hanya berlaku bagi negara-negara pemenang Perang Dunia I dan telah
menjadi tatanan hukum yang sudah tidak digunakan saat ini, prinsip-prinsip yang
terkandung di dalamnya menjadi dasar hukum bagi ruang angkasa internasional.
Beberapa prinsip yang diatur dalam Konvensi Paris memiliki kontribusi
signifikan bagi penerbangan saat ini. Pertama, setiap negara memiliki
kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya, yang
berarti ruang udara mengikuti status hukum dari daratan yang ada di bawahnya.
Kedua, negara-negara peserta berjanji memberikan izin hak lintas kepada pesawat
udara, kecuali untuk alasan militer atau mengganggu keamanan publik. Dengan
demikian, pesawat komersial atau penumpang sipil memiliki hak lintas damai di
wilayah negara lain. Ketiga, negara peserta berhak melarang penerbangan di
zona-zona tertentu guna mencegah penyalahgunaan.
Setelah Konvensi Paris, muncul Konvensi Chicago pada tahun 1944 yang
secara khusus membahas tentang wilayah udara nasional. Konvensi ini memberikan
kerangka kerja yang lebih rinci untuk pengaturan penerbangan internasional,
termasuk pendirian Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Konvensi
Chicago menetapkan prinsip-prinsip dan standar yang harus dipatuhi oleh
negara-negara peserta dalam rangka memastikan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Dengan demikian, Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 memiliki
kaitan dengan keamanan penerbangan dan menyediakan landasan hukum untuk
pengaturan ruang udara internasional.
5. DISKUSI
5.1. Pandangan Hukum Ruang Angkasa Internasional terhadap kasus Pelatihan Militer Angkatan Udara
Singapura Di Langit Indonesia
Dalam konteks pelatihan militer Angkatan Udara
Singapura di langit Indonesia, terdapat pandangan hukum ruang angkasa
internasional yang perlu dipertimbangkan. Konvensi Paris 1919, dalam Pasal
1-nya, menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif
atas ruang udara di atas wilayahnya. Namun, penggunaan zona udara Indonesia
oleh Singapura berdasarkan Military Training Agreement (MTA) dapat dianggap
sebagai pelanggaran terhadap pasal hukum internasional tersebut.
Hal ini terkait dengan
fakta bahwa Indonesia perlu memberikan izin kepada Singapura ketika melewati
wilayah langit Indonesia, seperti di Natuna dan Selat Malaka, yang sebenarnya
merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Permasalahan ini telah dikemukakan oleh
Komandan Pangkalan TNI AU Tanjungpinang, Letnan Kolonel Penerbang I Ketut Wahyu
Wijaya, yang menjelaskan bahwa Singapura mengeluhkan Indonesia karena melintasi
wilayah yang masih menjadi wilayah NKRI berdasarkan MTA.
DCA (Defence Cooperation Agreement) dan MTA (Military Training Agreement) yang memperbolehkan pesawat tempur
Singapura menggunakan ruang udara Indonesia untuk latihan, secara tidak
langsung dapat mengurangi kedaulatan dan ruang keleluasaan Indonesia. Hal ini
berpotensi membahayakan keamanan dan potensi ekonomi Indonesia. Pernyataan
Jenderal Gatot Nurmantyo saat menjadi Panglima TNI pada tahun 2015 juga
menunjukkan kesadaran akan hal ini, di mana ia menegaskan bahwa wilayah
tersebut adalah milik Indonesia dan pesawat militer Indonesia tidak boleh
dilarang melintas di wilayahnya sendiri.
Namun, terjadi
ketimpangan dan kontradiksi di mana pada tahun 2022, Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto menyatakan pemberian izin untuk pelatihan militer Singapura di wilayah
Indonesia, yang disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri
Singapura. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pelatihan militer Singapura
tidak akan mengancam kedaulatan negara.
Dalam diskusi ini,
penting untuk mempertimbangkan pandangan hukum ruang angkasa internasional
terkait dengan pelatihan militer Singapura di langit Indonesia. Terdapat
kontradiksi antara penolakan yang dinyatakan pada tahun 2015 oleh Jenderal
Gatot Nurmantyo dengan pemberian izin yang terjadi pada tahun 2022 oleh Menteri
Pertahanan Prabowo Subianto. Diskusi ini berfokus pada pemahaman hukum,
ketidaksesuaian tindakan yang dilakukan, dan dampaknya terhadap kedaulatan dan
keamanan negara Indonesia.
Selanjutnya, perlu
dilakukan analisis lebih lanjut terkait dengan kasus pelatihan militer Angkatan
Udara Singapura di langit Indonesia. Dalam konteks hukum ruang angkasa
internasional, terdapat beberapa pertimbangan yang dapat dibahas.
Pertama, Konvensi Paris
1919 menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif
atas ruang udara di atas wilayahnya. Namun, dengan adanya MTA antara Indonesia
dan Singapura, terjadi penggunaan zona udara Indonesia untuk pelatihan militer
oleh Angkatan Udara Singapura. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh
mana keberlakuan kedaulatan Indonesia dalam konteks penggunaan ruang udara
tersebut.
Kedua, terdapat
kontradiksi antara pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo pada tahun 2015 yang
menolak penggunaan ruang udara Indonesia oleh Singapura untuk latihan militer dengan
pemberian izin yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada
tahun 2022. Perbedaan pandangan ini mengundang perhatian terkait konsistensi
kebijakan dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara.
Ketiga, penting untuk
mengevaluasi dampak dari pelatihan militer Singapura di langit Indonesia
terhadap keamanan nasional. Meskipun telah ada pernyataan bahwa pelatihan
tersebut tidak akan mengancam kedaulatan negara, perlu diperhatikan potensi
risiko yang dapat timbul, seperti kebocoran informasi sensitif atau
ketidakpastian terkait penggunaan wilayah udara.
Dalam diskusi lebih
lanjut, perlu dilakukan analisis mendalam terkait dengan aspek hukum, keamanan,
dan kebijakan luar negeri dalam konteks pelatihan militer Angkatan Udara
Singapura di langit Indonesia. Pertimbangan mengenai kepentingan nasional,
kewajiban internasional, dan potensi dampak harus diperhatikan secara seksama
untuk memastikan keamanan dan kedaulatan negara terjaga.
Kesimpulan
Kesimpulan dari
pembahasan mengenai pelatihan militer Angkatan Udara Singapura di langit
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Konvensi Paris 1919 mengakui kedaulatan penuh dan eksklusif setiap
negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Namun, dengan adanya Military
Training Agreement (MTA) antara Indonesia dan Singapura, terjadi penggunaan
zona udara Indonesia untuk pelatihan militer oleh Angkatan Udara Singapura.
2. Terdapat perbedaan pandangan dan kebijakan antara Jenderal Gatot
Nurmantyo pada tahun 2015 yang menolak penggunaan ruang udara Indonesia oleh
Singapura untuk latihan militer, dengan pemberian izin yang dilakukan oleh
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan adanya
kontradiksi dalam kebijakan negara terkait penggunaan wilayah udara.
3. Dalam konteks hukum, perlu diperhatikan konsistensi dalam menjaga
kedaulatan dan keamanan negara. Penggunaan ruang udara Indonesia oleh militer
asing untuk latihan militer haruslah memperhatikan aspek keamanan nasional dan
potensi risiko yang dapat timbul.
4. Dalam diskusi terkait masalah ini, perlu dilakukan analisis yang
mendalam mengenai aspek hukum, keamanan, dan kebijakan luar negeri.
Pertimbangan terkait kepentingan nasional, kewajiban internasional, dan potensi
dampak harus diperhatikan dengan seksama.
5. Pentingnya menjaga keamanan dan kedaulatan negara dalam konteks
penggunaan ruang udara internasional, di mana keputusan terkait pelatihan
militer oleh negara asing harus memperhatikan dampaknya terhadap keamanan
nasional dan menjaga konsistensi dalam kebijakan luar negeri.
Dalam rangka
mempertahankan kedaulatan dan keamanan negara, penting untuk terus mengkaji dan
memperbaharui kebijakan terkait penggunaan ruang udara internasional serta
memastikan keselarasan antara hukum internasional, kebijakan nasional, dan
kepentingan keamanan.
Refrensi
Journals:
Amadea, H., Harold, S. (2021). Pengaturan Pemanfaatan Ruang Angkasa Menurut Perjanjian Internasional Space Treaty 1967.
Pramono, A. (2019). Urgensi Penataan Hukum Keruangangkasaan Dalam Kerangka Kepentingan Nasional Negara Berkembang.
Barus (2014). Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif
Hukum Internasional.
Books:
Creswell, J. W.
(2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches.
Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches.
Soekanto, S., Mamudji, S. (2003). Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat.
Marzuki, P. M. (2010). Penelitian Hukum.
Websites:
CNN Indonesia. (2015). Sengkarut Area Militer Singapura di Langit Indonesia. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004172628-20-82700/sengkarut-area-militer-singapura-di-langit-Indonesia
Neliti. (n.d.). Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional. Retrieved from https://www.neliti.com/publications/164433/yurisdiksi-wilayah-udara-suatu-negara-dalam-perspektif-hukum-internasional
Kemhan Go Id. (2015). Panglima TNI: Singapura Harus Izin Jika Ingin
Latihan Tempur. Retrieved from https://www.kemhan.go.id/itjen/2015/09/08/panglima-tni-singapura-harus-izin-jika-ingin-latihan-tempur.html
Peraturan BPK. (n.d.). Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id
Wastumconda. (2010). Military Training Area (MTA), Dimana Kedaulatan
Kita? Retrieved from https://wastumconda.wordpress.com/2010/07/08/military-training-area-mta-dimana-kedaulatan-kita/
Detik. (n.d.). Pesawat Tempur Singapura Kerap Latihan di Ruang Udara RI.
Retrieved from https://news.detik.com/berita/d-3011079/pesawat-tempur-singapura-kerap-latihan-di-ruang-udara-ri
Antara News. (n.d.). Retrieved from https://www.antaranews.com
TNI AU. (n.d.). Latihan Bersama Latma Antara Republic Singapore Air
Force. Retrieved from https://tni-au.mil.id/latihan-bersama-latma-antara-republic-singapore-air-force
Mediacenter Riau. (n.d.). Retrieved from https://mediacenter.riau.go.id
Kepres No. 8 Tahun 1996. (n.d.). Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/59671/
0 Comments