loading...

Hukum Konflik dan Humaniter dalam Islam

by : Ihba Pambuko Mangku Rino, University of Darussalam Gontor.

  1. PERANG MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Menurut yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perang merupakan suatu permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau pertempuran senjata antara dua atau lebih pasukan lentera dan lascar.[1]  Dalam pasal 3 Konvesi Jenewa 1949 menjelaskan bahwa perang merupakan kekerasan terhadap kehidupan seseorang, khususnya pembunuhan dari segala jenis, pemotongan anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga bisa diartikan suatu kesengajaan melakukan serangan terhadap masyarakat sipil atau serangan terhadap gedung material, satuan, angkutan dan lain-lain.[2]

Perang adalah aksi perselisihan secara fisik maupun non fisik antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang di era kuno identic dengan perseteruan dengan senjata dari dua kubu, sedangkan di era modern, perang lebih dimaknai dengan superioritas teknologi dan industri. Perbedaan prinsip tersebut terdasari dari doktrin angkatan perang, seperti “ Barang siapa yang menginginkan kekuasaan tertinggi maka kuasai dunia”, jargon yang seperti itu menggambarkan kepada pasukan pelaku perang untuk menunjukkan bahwa penguasaan tertinggi haruslah dicapai dengan sebuah pertempuran.

Konflik perang telah diketahui oleh manusia sejak lama, yakni semenjak sebuah kelompok  individu mengenal kelompok individu lainnya pada saat berinteraksi, seperti yang diungkapkan oleh teori kontrak social (Social Contract).[3]  Konflik merupakan suatu perselihan, pertentangan, percekcokan. Dan akan muncul fase tertentu akan muncul Tarik-menarik kepentingan antar individu dan akan muncul saat dimana terjadi kesenjangan dalam Tarik-menarik sehingga timbul peperangan dalam berbagai ragam dan bentuk. Perang menurut Jean Jasques Rosseau bukanlah hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, tetapi antar negara dengan negara, dimana  melibatkan orang-orang dalam permusuhannya. Dan individu yang terlibat dalam permusuhan itu bukanlah lagi memiliki status sebagai rakyat sipil ataupun manusia, namun sebagai tentara yang menjadi salah satu persenjataan dalam permusuhan

Maka dari itu, sasaran yang dicari ketika konflik ataupun perang adalah untuk menjatuhkan lawan permasalahan dengan maksud menghancurkan dan memusnahkan. Dengan demikian, sah bagi pihak yang bersangkutan dalam perang ataupun konflik untuk membunuh individu yang menjadi rival dalam perseteruan. Akan tetapi, apabila sebuah individu ataupun kelompok negara telah menyerah dan meletakkan senjatanya, saat setelah itu mereka bukanlah lagi berstatus sebagai musuh ataupun agen dari musuh. Mereka yang melakukan gerak mundur seperti itu secara langsung sudah tidak lagi memiliki dasar legitimasi untuk membunuhnya, jika mereka dibunuh, menurut hukum perang Internasional yang berlaku saat ini, maka termasuk dalam kejahatan perang yang perlu untuk ditindak lanjut  menurut hukum Internasional.[4] Dan menurut U.S. Army Field Manual of The Law of Landwarfare menjelaskan beberapa tujuan perang, antara lain:

a.  Melindungi baik kombat maupun non kombat dari penderitaan yang tidak perlu.

b.  Menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh.

c.  Memungkinkan dikembalikannya perdamaian.

d.  Membatasi pihak yang berpartisipasi dalam perang.[5]

Hak asasi manusia merupakan hak setiap orang ataupun individu yang dimiliki ejak lahir dan memiliki sifat utama dan suci. Maka dari itu, tidak seorangpun yang berhak mengambil dan mencabutnya. Dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tegas memasukkan unsur penghormatan hak asai manusia dan mengakui individu sebagai subjek hukum internasional. Piagam PBB juga menaruhkan kewenangan kepada Majlis Hukum untuk memprakarsai kajian dan membuat rekomendasi bagi terpacunya perkembangan progresif terhadap Hukum Internasional dan kodefikasinya serta untuk membantu hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa pandang ras, jenis kelamin, bahasa maupun bangsa.[6]  Apabila peraturan yang telah diteapkan dilanggar ataupun tidak dilakukan, maka status pelanggaran diangkat dalam ranah Hukum Humaniter yang berskala Internasional.

  • PERANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam peperangan menurut ajaran Islam tidaklah begitu berbeda dengan perang konvensional yang ada. Namun, perintah dan pepatah yang digunakan dalam metode perang jelaslah berbeda, dalam islam memiliki jargon religious yang membangkitkan tujuan perang ataupun konflik. Kata JIHAD  merupakan kata yang dalam sebagai symbol peperangan. Dalam islam jihad digunakan untuk membela agama Allah, meskipun dengan kekerasan, jalan damai yang digunakan tidaklah melanggar aturan agama, dibarengi dengan menjalankan peraturan yang berlaku dalam agama. Jihad dalam arti luas, tidaklah selalu bermaknakan sebagai perang ataupun mengorbankan peperangan, karena melangkah di jalan Allah bisa dicapai dengan cara damai ataupun tindak kekerasan. Jihad bisa disebut sebagai propaganda religious yang dilakukan persuasive.

Ajaran Agama Islam tidaklah membenarkan peperangan yang itujukan untuk ekspansi ataupun menakhlukkan suatu negara, dan mendiktekan kehendak, perag yang diperbolehkan dalam ajaran gama Islam adalah untuk menolak serangan musuh, atau mempertahankan hak yang sah yang dilanggar olwh musuh atau melindungi keamanan dakwah.

Tuntutan dalam berperang dalam agama Islam memiliki seruan tersendiri dan telah ditetapkan dalam kitab suci Al-Quran, salah satunya yang berbunyi :

????????? ??? ??????? ??????? ??? ????????? ?????? ???????? ? ????????? ?????????????? ? ????? ??????? ???? ??????? ?????? ????????? ???????? ? ????????? ??????? ??????? ????????? ??????????   

Artinya : Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).(An-Nisaa : 84)[7]

Sejarah perang Nabi Muhammad SAW adalah awal kehormatan dari sebuah perikemanusiaan karena Nabitelah mengajarkan kepada kita etika dalam perang yang beradabdan berperikemanusiaan. Perjanjian gencatan senjata, pengiriman delegasi ke luar negri, dan strategi  Nabi di medan perang mengandung pengertian yuridis yang secara tidak langsung mendukung pada Hukum Humaniter Internasional.

Gambaran dan tuntutan yang telah Allah turunkan kepada Nabi dan penyampaiannya kepada Ummat menyimpulkan pada peraturan perang yang mendasar dalam metode peperangan sesuai dengan hukum Internasional, perang dengan sifat berperikemanusiaan perlu adanya diterapkan untuk menjunjung tinggi nilai manusia dalam individu. Tujuan perang dalam Islam yaitu untuk memelihara perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan umat serta untuk melindungi kemerdeaan penyiaran dakwah Islamiyah. Adapun tujuan lain yaitu :

1.  Untuk menolak permusuhan kepada Islam dan kaum Muslimin, yang dilakukan oleh kaum musyrik, kafir, pembangkang dan orang-orang yang dendam kepada Islam.

2.  Untuk mengokohkan dakwah Islam agar bisa sampai kepada orang-orang yang berhak mengetahuinya.

3.  Untuk menawarkan Islam kepada kaum musyrikin, kafirin, orang-orang dzalim, dan orang-orang yang mempunyai prasangka buruk terhadap Islam.

Perintaah untuk berperang di medan pertempuran harus ditentukan melalui komando yang diketuai oleh komandan masing-masing pasukan dari setiap kubu, dalam islam sendiri dilarang untuk memulai pertempuran sebelum pihak musuh memulai perpecahan perang yang terjadi.

  • SISTEM KONFLIK DAN PERANG DALAM ISLAM

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai nilai dan norma norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hokum tertulis (hukum tertulis). Pengertian kejahatan menurut tata bahasa adalah suatu tindakan atau perbuatan yang jahat seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Kejahatan perang adalah segala pelanggaran  terhadap hukum-hukum perang atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individu[8]. Lantas bagaimana pengertian kejahatan perang menurut islam?.

Pada awalnya islam memang melarang adanya peperangan, pada masa periode awal dakwah Islam di Makkah yang berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, dimana kaum kafir Quraisy selalu menghalangi, memusuhi dan menindas kaum Muslimin secara kejam, karena al-Qur’an menyebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 77:

?????? ???? ????? ????????? ????? ?????? ??????? ???????????? ??????????? ?????????? ??????? ?????????? ???????? ?????? ?????????? ?????????? ????? ??????? ???????? ?????????? ???????? ?????????? ??????? ???? ??????? ???????? ? ????????? ???????? ???? ???????? ????????? ?????????? ??????? ???????????? ?????? ?????? ??????? ? ???? ??????? ?????????? ??????? ???????????? ?????? ?????? ???????? ????? ??????????? ????????

 Artinya :

“tidakkah kamu perhatikan orang orang yang dikatakan pada mereka “tahanlah tanganmu dari peperangan, dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat”. Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba tiba sebagian dari mereka (orang munafik) takut kepad manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat takutnya. Mereka berkata “Ya tuhan kami, mengapa engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai beberapa waktu lagi? Katakanlah: “kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”

Oleh karena itu, al-Qur’an melarang umat Islam menyerang suatu bangsa yang tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam. Di samping dapat memberikan jaminan keselamatan, umat islam selalu bersikap adil dan penuh hormat, belas kasihan serta menjunjung tinggi harga diri. Seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa tujuan mulia dari jihad atau perang menolak keganasan manusia serta pemeliharaan hak-hak hidup agama lainya serta perlindungan terhadap rumah ibadah.[9]

Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam bukunya “L’Humanisme De L’Islam” menegaskan beberapa prinsip-prinsip fundamental dan sistem hukum Islam yang dapat diterapkan sebagai kaedah-kaedah dalam sengketa bersenjata antar Negara atau dalam suatu Negara, secara ringkas dikemukakan sebagai berikut :

  1. Didalam peperangan dilarang membuat ekses, pengkhianatan dan ketidak adilan dalam segala bidang.
  2. Dalam peperangan dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan musuh menderita secara berlebihan seperti memberikan hukuman-hukuman yang keji. Dan melakukan perbuatan yang sia-sia, khususnya perusakan tanaman-tanaman dan lain sebagainya.
  3. Memberikan perlakuan yang berperi kemanusian terhadap tawanan perang yang akan ditukar atau dibebaskan secara sepihak, apabila perang sudah selesai dan tidak ada lagi tawanan perang muslim di pihak musuh.
  4. Memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil dengan menghormati agama dan kebudayaan mereka.
  5. Syariat Islam melarang segala bentuk tindakan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian damai yang telah dibuat. Pakta perdamaian harus dipegang teguh sejauh pihak musuh masih menghormati isi perjanjian damai tersebut.[10]
  • BENTUK-BENTUK KEJAHATAN DALAM PERANG

Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan illegal atau dilarang berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau metode peperangan yang dilarang. Selain bentuk-bentuk kejahatan perang menurut Konvensi Jenewa, berikut adalah bentuk-bentuk kejahatan perang menurut Hukum Islam:

  1. Membunuh atau memenggal kepala para tawanan, menjagal orang dan binatang, membinasakan tanaman-tanaman dan menebangi pohon dengan semena-mena.
  2. Melakukan perbuatan-perbuatan pengkhianatan dan kecurangan. Demikian juga dengan berbuat zina sekalipun terhadap wanita-wanita tahanan perang.
  3. Membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang, termasuk didalamnya seperti wanita, anak-anak, pelayan dan budak, orang jompo/buta, orang cacat badan, para pemuka agama, biarawan dan biarawati, dan orang gila.
  4. Membunuh para saudara pihak musuh sebagai tindakan pembalasan.
  5. Melakukan pembantaian missal setelah musuh dapat dikalahkan atau setelah suatu daerah diduduki.
  6. Menggunakan senjata beracun, melakukan penghancuran dan serangan secara membabi buta.
  7. Agresi, atau serangan tanpa alasan atau tanpa peringatan terlebih dahulu.[11]
  • PERLAKUAN TERHADAP TAWANAN DALAM ISLAM

Dalam Islam, tawanan perang ialah orang kafir atau orang musryrik yang dalam peperangan berhasil ditangkap oleh tentara Islam. Dalam fiqh, tawanan perang dapat dikelompokkan  menjadi  al-asra dan al-sabiyy. Al-asra adalah  tawanan  perang  yang  berasal dari tentara musuh yang ikut berperang melawan tentara Islam. Sedangkan  al- sabiyy ialah  anak-anak  dan  wanita  musyrik  yang  berhasil  ditangkap  oleh  tentara Islam.

Adapun  yang  dimaksud  dengan  tawanan  perang  dalam  Hukum  Islam  adalah kombatan dari kalangan orang-orang nonmuslim yang berhasil ditangkap hidup-hidup  oleh  kaum  muslim.  Adapun  yang  dimaskud  dengan  kombatan  dalam  persperktif  Hukum  Islam  adalah  mereka  laki-laki  yang  mampu  melakukan  peperangan  dan  ikut  serta  dalam  aksi  perlawanan/permusuhan  terhadap  negara  muslim.  Demikian pula  halnya  kaum  wanita,  anak-anakm  dan  tokoh-tokoh  agama  yang  berada  di medan  pertempuran. Secara umum, orang-orang yang tidak ikut serta dalam aksi peperangan  dan  aksi  perlawanan  harus  diperlakukan  seperti  layaknya  warga  sipil,  dan  tidak  termasuk dalam kategori tawanan perang.[12]

Dalam  sejarah,  Nabi  tidak  pernah  memperlakukan  tawanan  perang  dengan  kasar  apalagi  membunuhnya,  kecuali  hal-hal  yang  prinsip,  seperti  tawanan  perang   melakukan  tindak  pidana  (jarimah)  atau  sangat  berbahaya  apabila  dibiarkan  hidup,  sebagaimana  yang  dilakukan  oleh  Nabi  dalam  kasus  Perang  Badr.  Selain  yang  dibunuh,   masih   banyak   tawanan   Perang   Badr   yang   dibebaskan,   bahkan   tanpa  meminta tebusan dari mereka. Dan Nabi berpesan agar memperlakukan para tawanan  dengan  sebaik-baiknya. 

  • KESIMPULAN

Dari  pembahasan  dan  uraian  di  bab -bab  sebelumnya,  dapat  disimpulkan bahwa kejahatan perang  adalah  segala  pelanggaran  terhadap  hukum-hukum  perang atau  hukum  humaniter  internasional  yang  mendatangkan  tanggung  jawab  criminal individu. Kejahatan  perang  merupakan  pelanggaran  terhadap  hukum  atau  kebiasaan hukum,  termasuk  pembunuhan,  perlakuan  buruk  terhadap  tawanan  dan  penduduk sipil,  perampasan  barang -barang  publik  atau  harta  milik  pribadi, dan perusakan bangunan -bangunan tanpa alasan. Dan pelaku kejahatan perang dimungkinkan untuk dituntut  dan  dipidana  di  forum  mahkamah  militer  nasional  maupun  mahkamah kejahatan internasional. Dalam  Islam  tidak  menghendaki  adanya  tindakan  sewenang-wenang  baik terhadap  musuh  maupun terhadap tawanan perang  dari  pihak musuh.

Dalam Islam, dalam  ketentuan-ketentuan  syariah,  melindungi  dan  menjunjung tinggi  darah  dan nyawa   manusia.   Karena   perang   dalam   Islam   bertujuan   bukan   untuk   mencapai kemenangan  atau  merampas  harta  kekayaan  musuh  melainkan  untuk memerangi orang-orang  musyrik  yang  melakukan  penyerangan  terhadap  umat  Islam  terlebih dahulu.


[1] Depdikbud. Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: 1989.

[2] 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: Elsam.

[3] Harcahyono, Cheppy. 1996. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Kencana.

[4] Assiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Press

[5] Haryomataram, KGPH. 2007. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: Raja Grafindo Persada

[6] Lihat Pasal 13 PBB

[7] n.d. Al-Qur’anul Kareem.

[8] Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan,  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia ,  Jakarta,  Balai  Pustaka, 1989, cet. 2, h. 344.

[9]  Afzalur  Rahman,  Nabi  Muhammad  sebagai  Seorang  Pemimpin  Militer ,  Jakarta,  Amzah,  2002, h. 306.

[10]  L. Amin Widodo,  Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional , Yogyakarta, Tiara Wacana  Yogya, 1994, h. 69.  

[11]  Altaf Gauhar,  Tantangan Islam , Alih Bahasa:  Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka, 1982, h.  230.

[12]  Abdul Ghani,  Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 26

1 Comments

Leave a comment