loading...

Honour Killing: Implikasi Budaya Patriarki Terhadap Pembunuhan Qandeel Baloch Tahun 2016

Oleh:

Departemen Public Relation HIMAHI UTY

 

PENDAHULUAN

Kemunculan Honour Killing Di Pakistan Sebagai Bentuk Pelanggaran HAM

Kekerasan terhadap perempuan saat ini tidak hanya menjadi masalah individual atau masalah nasional, namun sudah menjadi masalah global bahkan transnasional. Hal ini karena dalam kekerasan terhadap perempuam berkaitan dengan masalah perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai hak yang melekat secara alamiah sejak manusia dilahirkan dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Hak asasi tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak untuk berkembang. Kekerasan terhadap perempuan akhirnya menjadi permasalahan atau hambatan terhadap pembangunan, dengan alasan tersebut maka akan mengurangi kepercayaan diri dari wanita, menghambat kemampuan wanita untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, poliitik, dan kegiatan lainnya dengan tanpa adanya aksaan maupun batasan bagi perempun. Hal ini menyebabkan kemampuan perempuan untuk memanfaatkan kehidupannya baik fisik, ekonomi, politik dan kultural menjadi terganggu dan adanya keterbatasan ruang bagi perempuan. (Widiastuti, 2008).

Fenomena pelanggaran Hak Asasi Manusia telah terjadi di berbagai belahan dunia. Bukti konkrit yang terjadi di satu negara yaitu Pakistan yang memiliki angka pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya terhadap kaum perempuan cukup tinggi. Minimnya penilaian terhadap hak asasi perempuan yang tidak memiliki persamaan dengan hak yang didapat oleh kaum laki-laki sehingga memicu adanya tindakan ketidak adilan di kelompok masyarakat. Keadaan terburuk dari adanya ketidak adilan hak antara perempuan dengan laki-laki ini berujung pada terjadinya perbuatan kekerasan yang menyebabkan pembunuhan. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan terhadap kaum perempuan yang mengatasnamakan kehormatan telah menarik perhatian dunia internasional. Salah satu negara yang memiliki angka pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama pada perempuan adalah Pakistan, dimana terdapat kasus sebuah keluarga yang diperbolehkan memberikan hukuman berupa membunuh anggota keluarganya apabila anggota keluarga tersebut telah menodai kehormatan keluarganya. Hal ini dikenal dalam budaya Pakistan setempat dengan istilah “karo-kari” atau dalam istilah internasionalnya adalah honour killing sebagai peristiwa pembunuhan demi kehormatan.

Pakistan menjadi salah satu negara dari 189 negara yang telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination Against Woman (CEDAW) yang memiliki tujuan dalam melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Dengan meratifikasi konvesi tersebut maka Pakistan memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip CEDAW sebagai acuan dalam penyesuaian hukum nasional serta dalam kehidupan bernegara. Meskipun telah meratifikasi CEDAW tetapi masih terdapat banyak laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan di Pakistan. (Handoyo, 2020). Pada kasus honour killing ini yang masih belum menemukan titik cerah yang kemudian membuat Pakistan dianggap sebagai negara yang lemah atau weak states dalam menangani pelanggaran hak asasi perempuan di negaranya.

Berdasarkan Honour Based Violence Awareness Network Pakistan merupakan negara dengan jumlah tertinggi praktik honour killing yang diperkirakan seperlima dari jumlah total yaitu 1000 kasus dari total 5000 kasus di dunia setiap tahun. Artinya sebanyak 25 persen kasus honour killing terjadi di Pakistan dari total honour killing di dunia. Sekitar 190 milyar manusia hidup di Pakistan dan setiap hari tiga di antaranya terbunuh dengan alasan untuk mengembalikan kehormatan keluarga.Terjadinya honour killing di Pakistan disebabkan oleh budaya patriarki yang sudah mengakar di Pakistan. Selain itu terdapat faktor internal dan eksternal yang menjadi alasan munculnya honour killing. Faktor internal ditandai dengan unsur budaya karena honour killing merupakan budaya asli dari Pakistan sendiri yang berawal dari suku Baloch dan Pashtun yang menganut 12 prinsip hidup dimana nilai-nilainya bersifat sangat patriarkis dan implementasinya sama dengan konsep honour killing saat ini. Kemudian untuk faktor eksternal yang memperkuat budaya asli Pakistan tersebut dengan datangnya imigran Arab. Karena hadirnya bangsa Arab yang sangat kental dengan budaya patriarki dinilai memperparah keadaan dimana para imigran berperan dalam penyebaran honour killing di seluruh wilayah Pakistan seperti Punjab dan Balochistan.

Konsep Human Security

Keamanan (security) dalam bukunya “People, States and Fear” yang ditulis oleh Barry Buzan dikatakan bahwa keamanan dalam pengertian objektif memiliki arti suatu ukuran yang di dalamnya tidak mengandung ancaman terhadap nilai yang diperoleh sedangkan dalam pengertian subjektif adalah tidak adanya rasa takut bahwa nilai-nilai tersebut akan diserang (Buzan, 1991:4). Secara umum, keamanan didefinisikan sebagai kemampuan diri untuk bertahan (survival) dalam menghadapi ancaman yang ada dan nyata. Human security atau keamanan manusia juga menjadi gagasan dalam masalah kemanusiaan dewasa ini yang mengancam ketahanan diri dan pelanggaran HAM yang terjadi. Tidak jarang, konsep human security menjadi kental akan peran negara dalam mendefinisikannya terutama dalam membuat dan menerapkan kebijakan keamanan yang berdasarkan pada letak wilayah, sektor militer, stabilitas politik yang terkadang mengesampingkan keamanan dan kebutuhan individu.

Menurut UNDP, terdapat tujuh komponen keamanan manusia yang penting untuk diperhatikan pemenuhannya, diantaranya 1) economic security (terbebas dari ancaman kemiskinan dan upaya mencapai kesejahteraan), 2) food security (kemudahan akses dan terpenuhinya kebutuhan pangan), 3) health security (kemudahan dalam akses layanan kesehatan dan terbebas dari ancaman penyakit), 4) environmental security (terbebas dari ancaman pencemaran udara dan lingkungan serta kemudahan dalam akses air bersih), 5) personal security (terbebas dari ancaman fisik karena perang, kekerasan domestik, kriminalitas, penggunaan obat terlarang dan kecelakaan lalu lintas), 6) community security (terbebas dari ancaman hilangnya kelestarian identitas kultural dan budaya tradisional) dan 7) political security (terjaminnya hak asasi manusia dan terbebas dari ancaman tekanan politik.

Berkaitan dengan kasus yang kami angkat, maka yang termasuk di dalamnya adalah personal security yaitu keamanan yang melekat pada diri seseorang secara utuh. Personal security menurut Franklin D. Roosevelt adalah personal security menjadi bagian dari empat jenis kebebasan yang melekat pada diri manusia yaitu kebebasan dalam berbicara dan mengekspresikan diri, kebebasan dalam menyembah Tuhan dengan caranya sendiri, kebebasan dari rasa ingin, dan kebebasan dari rasa takut (Lestari, 2007). Sedangkan PBB mengkategorikan dalam beberapa jenis personal security yaitu kekerasan seksual, penangkapan dan penahanan, penyanderaan, aksi protes dan demonstrasi, ranjau darat, gencatan senjata tembak, dan pembajakan. Peristiwa honour killing yang terjadi di Pakistan selain menciderai hak asasi manusia secara individu juga telah merusak keamanan personal dalam keamanan manusia. Konsep human security dan personal security akan menjadi konsep yang dinilai tepat untuk membahas peristiwa honour killing di Palestina serta melihat upaya dari negara atau pemerintah yang berkewajiban untuk melindungi dan menjamin keamanan rakyatnya.

PEMBAHASAN

Eksistensi Honour Killing Di Pakistan

Honour killing adalah tindakan balas dendam dan biasanya mengacu pada pembunuhan atau kematian  anggota keluarga laki-laki dari anggota keluarga perempuan yang diduga membunuh anggota keluarga tersebut. Perempuan dapat diserang oleh satu atau lebih anggota keluarganya karena berbagai alasan” (Uhr, 2001). Pelaku honour killing memilih untuk membunuh korban dengan berpura-pura menghentikan rumor dan gosip tentang  keluarganya. Dengan demikian, kehormatan  memiliki banyak implikasi yang  terkait dengan kebanggaan, harga diri, martabat, dan ketenaran. Kehormatan dan rasa malu memiliki efek yang sangat berbeda pada pria dan wanita di Pakistan.

Laki-laki diharapkan menjaga kehormatannya dalam keluarga dan kelompok sosialnya dengan mencegah perempuan  mempermalukan keluarganya. Oleh karena itu, dalam masyarakat  yang nilai-nilainya berdasarkan kehormatan, kehormatan biasanya diasosiasikan dengan pengaturan seksualitas perempuan, yang disetarakan dengan penyelarasan norma dan tradisi sosial (Aisha K. Gill, 2014) yang disebut kehormatan. pada keyakinan yang berakar dalam di beberapa budaya. Perempuan  Pakistan diproduksi sebagai barang dan komoditas, bukan sebagai manusia dengan martabat dan hak yang sama dengan laki-laki. Tubuh wanita dianggap sebagai harta karun kehormatan keluarga. Konsep status laki-laki dan status keluarga sangat tinggi, seolah-olah terjadi honour killing, seorang wanita bertanggung jawab menjaga "kehormatan" keluarga, dan seorang gadis Pakistan berkewajiban melindungi keluarga kehormatan.

Jika seorang wanita atau anak perempuan dituduh atau diduga terlibat dalam perilaku yang dapat membahayakan status seorang pria atau keluarga, dia mungkin  menghadapi pembalasan brutal dari kerabat dan seringkali kekerasan, yang bisa berakibat fatal. Sementara klaim tersebut tidak didasarkan pada fakta atau bukti  nyata, klaim penghinaan terhadap perempuan seringkali cukup untuk mendorong keluarga untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Pembunuh yang dihukum sering berbicara dengan bangga dan tanpa pertobatan dari kejahatan mereka (Mayell, 2002). Perempuan yang menjadi korban pembunuhan demi kehormatan tidak dimakamkan di kuburan umum, tetapi di kuburan yang khusus diperuntukkan  bagi mereka yang tampaknya telah mempermalukan keluarga mereka. Kebanyakan honour killing juga terjadi karena  kecurigaan daripada bukti yang kuat. Sebagian besar honour killing terjadi di negara-negara di mana wanita dianggap sebagai pembawa reputasi keluarga.

Perempuan yang dituduh menyebabkan aib atau aib bagi keluarga  mereka jarang diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Masih banyak  yang salah paham dan memaknai tindakan honour killing sebagai pembenaran atas keberadaan syariat Islam. Peneliti menekankan bahwa praktik pembunuhan demi kehormatan bukanlah keyakinan agama apapun, tidak ada hubungannya dengan agama tertentu, melainkan keyakinan budaya tradisional. Seperti yang ditunjukkan oleh Hussein, "kehormatan adalah negara tradisional yang mengakar kuat yang muncul di era pra-Islam dari budaya kuno suku-suku gurun." (Hussein M., 2006). honour killing tidak lebih dari praktik budaya historis yang diwarisi dari nenek moyang mereka dan merupakan bagian penting dari struktur negara patriarki. Islam tidak memiliki konsep pembunuhan demi kehormatan sementara agama digunakan untuk membenarkan praktik.

Menurut laporan tahun 2014 oleh organisasi hak-hak perempuan bernama Aurat Foundation, setiap hari perempuan dibunuh, diculik, diperkosa, dan bunuh diri (Out, 2016). Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan honour killing, seperti ketika seorang wanita memiliki hubungan di luar nikah atau ketika dia memiliki hubungan dengan seorang pria yang bukan suaminya. Ini membawa rasa malu dan aib bagi nama keluarga, yang tidak dapat diterima dan mendorong tindakan pembunuhan demi kehormatan. Kedua, faktor lainnya adalah flirting atau merayu pria. Peristiwa itu menimpa seorang model terkenal Pakistan bernama Qandeel Balooch yang  dibunuh oleh saudaranya Waseem Azeem. Qandel Balooch adalah model seksi yang tak henti-hentinya mengunggah foto dan video ke media sosial. Kandir dicekik hingga kehabisan napas. Perbuatan Qandeel diyakini telah mempermalukan dan melemahkan harga diri keluarga (Murni, 2018).


Gambar 1 Sosial Media Qandeel Baloch

Sumber : https://www.liputan6.com/global/read/2559036/sang-ibu-kuak-sisi-lain-qandeel-baloch-kami-keluarga-miskin

 

Waseem Azeem tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Sebaliknya, Waseem bangga karena mampu membunuh nyawa adiknya atas nama pembunuhan atas nama kehormatan. honour killing lainnya dipicu oleh permintaan cerai dari suaminya. Di Pakistan, tindakan ini dianggap sangat memalukan karena  sama saja dengan membeberkan masalah dan rasa malu yang ada dalam anggaran kepada masyarakat luas. Faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya honour killing adalah kenyataan bahwa mereka adalah korban pemerkosaan. Situasi di mana seorang wanita kehilangan keperawanannya sebelum menikah bukanlah kehendak atau kehendak korban, tetapi dianggap memalukan bagi keluarga. Konon, pemicu lain untuk honour killing adalah ketika istri tidak menyajikan makanan tepat waktu. Jumlah pembunuhan demi kehormatan di Pakistan adalah:




Gambar 2 Grafik Jumlah Korban Honour Killing di Pakistan Tahun 2009-2017

Sumber : http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/28065/BAB%20IV.pdf?sequence=8&isAllowed=y

 

Grafik di atas menunjukkan jumlah korban honour killing di Pakistan dari 2009 hingga 2017. 1107 korban jiwa, 1107 korban jiwa tahun 2009, puncak 1366 korban jiwa 2011, 1229 korban jiwa tahun 2012, 1157 korban jiwa tahun 2013, 1197 korban jiwa tahun 2014, 2015 Terdapat 721 korban jiwa setahun dan 1088 korban jiwa pada tahun 2016, dengan data terakhir  tahun 2017 menunjukkan  648 korban jiwa . Mengingat tingginya jumlah honour killing di Pakistan, kekejaman dan  pembunuhan terhadap  perempuan  di Pakistan telah mengejutkan masyarakat internasional. Pada 2015, 1.096 wanita meninggal. Sebelumnya, 1.005 orang meninggal pada  2014  dan  869 wanita meninggal pada 2013.

Angka-angka ini diyakini lebih tinggi (NDTV, 2016), karena  banyak kasus tetap tidak dilaporkan. Kembali ke pandangan mayoritas warga Pakistan yang memiliki pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Bagi orang Pakistan, perempuan hanya dilihat sebagai simbol barang dagangan, barang dagangan, leluhur, dan  kehormatan laki-laki. Orang tua kemudian berhak mencarikan pasangan bagi anaknya sesuai dengan keinginan dan pikirannya. Sebenarnya, ada banyak alasan mengapa perempuan Pakistan ini menderita pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya adalah tidak mengetahui hak-hak  yang  diterima  perempuan secara nasional dan internasional.

Upaya CEDAW Dalam Merespon Honour Killing Di Pakistan

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women (CEDAW) atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskirminasi terhadap Perempuan. CEDAW merupakan kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus mengatur tentang berbagai macam hak-hak perempuan. Konvensi CEDAW ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1979 dan kini, CEDAW telah diratifikasi oleh 189 negara dari 195 negara di dunia (Sumunarsih, 2021). Pakistan merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah kasus tertinggi akibat kekerasan perempuan. Salah satunya yaitu melalui honour killing sebagai fenomena pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarganya yang lain yang diyakininya telah merusak kehormatan atau telah melanggar prinsip yang telah ditetapkan keluarganya atau telah melanggar tradisi, budaya, norma atau aturan sosial maupun agama yang diyakininya. Pembunuhan dengan beralaskan 'mempertahankan kehormatan' ini bukanlah hal yang asing bagi beberapa kelompok masyarakat. Pada Maret 1996 Pakistan telah meratifikasi CEDAW. Tindakan ini bisa dikatakan sebagai wujud partisipasi dan tindakan sebagai usaha awal negara Pakistan lebih serius dalam menghapus segala bentuk diskriminasi terutama pada perempuan (Zuhdi, 2021).

Kehadiran CEDAW maka perannya sangat dipertanyakan melalui peran yang diberikan dalam merespon peristiwa honour killing di Pakistan. Untuk mengurangi jumlah kasus honour killing di Pakistan dan dengan menegakan prinsip perlindungan HAM, selain hal tersebut juga harus didasari pada perubahan pola pikir dari masyarakat demi tercapainya hak yang diimplementasikan pemerintah Pakistan berdasarkan CEDAW untuk dapat berjalan secara efektif dan mampu mengurangi atau bahkan menghapuskan honour killing yang terjadi di Pakistan. Kehadiran CEDAW dalam memberikan perannya seperti menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan (equality and justice), yaitu persamaan hak dan kesempatan serta perlakuan yang adil disegala bidang dan segala kegiatan.

Konvensi CEDAW juga mengakui bahwa (candraningrum, 2015):

a.     Antara perempuan dan laki laki terdapat perbedaan biologis kodrati.

b.     Adanya perbedaan perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender yang membuat perempuan merasa dirugikan.

c.     Perbedaan posisi dan kondisi antara laki-laki dan perempuan. Dimana perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang lebih lemah atau rentan tindakan diskriminasi atau menanggung akibat dari perlakuan diskriminatif yang dialami sebelumnya atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat yang sudah biasa dengan tindakan diskriminasi terhadap perempuan.

Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi tersebut maka CEDAW menetapkan prinsip-prinsip serta norma-norma untuk menghapus kesenjangan, sub-ordinasi serta tindakan yang merugikan kedudukan perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut sebagai kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan. Prinsip-prinsip CEDAW dapat pula digunakan sebagai alat untuk mengkaji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak jangka pendek atau jangka panjang yang dapat merugikan perempuan.

Kemudian seiring dengan perkembangannya, dikenal REDD+ yang lebih jauh lagi mencakup urusan konservasi, serta penjagaan stok karbon yang sesuai dengan manajemen hutan yang berkelanjutan (sustainable management). REDD+ adalah kelanjutan dari mekanisme yang sudah ada. Ia memberikan peluang kunci untuk menghasilkan pendanaan, kemauan politik, dan mekanisme yang diperlukan untuk melindungi hutan serta memerangi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan manusia di negara-negara berkembang. Hal ini merupakan seperangkat kebijakan, reformasi kelembagaan, dan program yang memberikan insentif moneter bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan menghentikan atau mencegah perusakan hutan mereka. Contoh pengembangan implementasi REDD+ sendiri ada di Indonesia, yaitu dengan moratorium kehutanan yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Pelaksanaan implementasi tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang nantinya akan berdampak pada perubahan iklim.

Upaya Pemerintah Pakistan dalam Menangani Honour Killing di Pakistan

Peristiwa honour killing yang menggemparkan dunia karena dianggap sebagai budaya yang tidak masuk akan dimana mereka harus menghilangkan nyawa seorang perempuan yang dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga demi menjaga dan mengembalikan kehormatan keluarga. Banyaknya peristiwa tersebut di Pakistan mengundang pertanyaan dari masyarakat dunia apakah pemerintah Pakistan tidak berencana untuk menghentikan budaya yang mengakar tersebut? Hal ini juga dianggap telah menodai HAM yang secara utuh melekat pada manusia baik laki-laki ataupun perempuan. Faktanya,  ternyata pemerintah Pakistan telah berupaya untuk menghentikan praktik honour killing ini dan mendengar kritikan dunia untuk menjaga dan melindungi keamanan manusia dari setiap individu.

PBB turut mendesak pemerintah untuk segera mencegah aksi pembunuhan demi kehormatan salah satunya dengan membawa mereka yang bertanggungjawab atas hal tersebut ke pengadilan. Koordinator Residen PBB, Neil Buhne mengatakan bahwa di bawah hukum nasional dan standar nilai internasional, negaralah yang jelas memegang peranan untuk menegakkan hak-hak perempuan dan menjamin mereka terbebas dari perilaku diskriminasi termasuk bertangggung jawab untuk mencegah, melindungi dan memberikan ganti rugi dengan tanpa memandang gender dan status sosial dalam keluarnya. Bahkan melalui tiga resolusi terpisah yaitu pada tahun 2001, 2003 dan 2005, PBB terus meminta para anggotanya untuk mengintensifkan peran legislatif untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis kehormatan dan menindaklanjuti secara sungguh-sungguh serta membawa pelaku ke dalam pengadilan untuk diadili sesuai dengan perbuatannya.

Pemerintah Pakistan sendiri ternyata menyadari dan mengakui honour killing menjadi perbuatan tidak bermoral yang seharusnya dapat dicegah dan dihentikan. Sebagaimana Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif bahwa pembunuhan demi kehormatan menjadi masalah paling serius dan pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mencegah hal tesebut terjadi lagi. Menurut data, hampir 1.000 wanita setiap tahunnya dibunuh di Pakistan demi menjaga kehormatan, meskipun dalam realitanya menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan jumlah tersebut jauh lebih banyak hanya saja kasus tersebut tidak pernah dilaporkan dan tidak tercatatat terutama di daerah pedesaan. Hal inilah yang mendorong banyak pelaku tidak diadili dan tidak membuat jera pelaku lainnya sehingga kasus pembunuhan ini terus terjadi. Nawaz Sharif memberikan pujian atas pengesahaan RUU yang menentang pembunuhan demi kehormatan dan bejanji agar polisi dan pengadilan untuk segera menerapkannya. Parlemen Pakistan juga sepakat untuk mengesahkan undang-undang tersebut dan mewajibkan hukuman seumur hidup dan atau 25 tahun penjara bagi para pelaku pembunuhan bahkan ketika keluarga dan kerabat memaafkannya. Meskipun dalam prosesnya menimbulkan banyak pro kontra hingga harapan agar undang-undang tersebut dapat berlaku di seluruh penjuru negeri. Majelis juga meloloskan RUU yang mengatur tentang peningkatan hukuman atas tindak pemerkosaan, pemerkosaan di bawah umur atau kepada orang disabilitas dan mewajibkan tes DNA.

Punjab sebagai salah satu provinsi terpadat di Pakistan mengesahkan seperangkat undang-undang yang mengatur perlindungan hak-hak perempuan provinsi Punjab, RUU tersebut bernama RUU Perlindungan Perempuan Terhadap Kekerasan Punjab. RUU tersebut mendefinisikan ulang apa saja yang termasuk dalam kekerasan kepada perempuan seperti pelecehan domestik, seksual, psikologis, ekonomi dan kejahatan dalam atau melalui dunia maya atau sosial media. Pengesahan ini menimbulkan pihak pro dan kontra dimana pihak kontra yang berasal dari banyak partai agama di Pakistan mengatakan bahwa dengan pengesahan RUU tersebut sama juga halnya pemerintah sedang melakukan liberalisasi negara. Sedangkan pihak pro yaitu pemerintah federal berjanji untuk menerapkan undang-undang yang melawan hukum Islam kontroversial yang memperbolehkan pembunuhan demi sebuah kehormatan. Janji Nawaz Sharif bersama pemerintah federal Pakistan akan terus diperjuangkan untuk mencapai keamanan manusia terutama dalam keamanan personal untuk melindungi perempuan dari pembunuhan berbasis kehormatan meskipun harus mengubah budaya impunitas Pakistan.

PENUTUP

Kesimpulan

Fenomena honour killing di Pakistan tidak dapat dipisahkan dari sistem partilocal dan partilineal karena patriarki merupakan istilah yang digunakan dalam menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok memanfaatkan kekuasaan atas kaum perempuan karena kedudukannya lebih tinggi. Pembunuhan yang terjadi pada selebgram bernama Qandeel Baloch merupakan bukti konkrit bahwa honour killing di Pakistan kebanyakan korbannya adalah Perempuan. Budaya patriariki dinPakistan yang sangat kental mendukung eksistensi honour killing di Pakistan. Hadirnya CEDAW sebagai konvensi internasional dalam mengimplementasikan perannya dikatakan tidak efektif yang disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena budaya honour killing itu sendiri telah mendarah daging di kalangan masyrakat Pakistan khususnya masyarakat daerah terpencil, mereka meyakini bahwa apa yang mereka pegang teguh merupakan hal yang benar dan sesuai dengan ajaran agama yang selama ini mereka, kemudian pasal pasal yang diterapkan CEDAW mengenai kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki laki saling tumpang tindih dengan hukum di Pakistan yang masih lemah dan kentalnya sistem kulturisasi yang dianut oleh masyarakat Pakistan. Pemerintah Pakistan menyadari bahwa honour killing sebagai perbuatan yang tidak moral untuk itu Pemerintah Pakistan mengesahkan RUU yang menentang pembunuhan demi kehormatan dan mendesak pengadilan untuk segera menerapkannya. Pengesahan tersebut menimbulkan pihak pro dan kontra dimana pihak kontra yang di dominasi oleh partai agama di Pakistan mengatakan bahwa dengan pengesahan RUU tersebut sama juga halnya pemerintah sedang melakukan liberalisasi negara. Sedangkan pihak pro yaitu pemerintah federal berjanji untuk menerapkan undang-undang yang melawan hukum Islam kontroversial yang memperbolehkan pembunuhan demi sebuah kehormatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Zuhdi, F. (2021). Fenomena "Honor Killing": Membunuh Demi Kehormatan yang Terbunuh. Diakses melalui https://www.kompasiana.com/fathurrzuhdi/60437967d541df131d56c142/fenomena-honor-killing-membunuh-demi-kehormatan-yang-terbunuh#:~:text=%E2%80%9CHonor%20Killing%E2%80%9D%20adalah%20pembunuhan%20yang,sosial%20maupun%20agama%20yang%20diyakininya pada Sabtu, 18 Juni 2022.

Widiastuti, T. W. (2008). PERLINDUNGAN BAGI WANITA TERHADAP TINDAK KEKERASAN. Wacana Hukum, 30.

Sumunarsih, S. B. (2021). Mengenal CEDAW, Konvensi Mengenai Diskriminasi Terhadap Perempuan. Diakses melalui https://www.parapuan.co/read/532808765/mengenal-cedaw-konvensi-mengenai-diskriminasi-terhadap-perempuan pada Minggu, 19 Juni 2022.

Lestari, D. (2007). Hak Asasi Manusia Di Indonesia Ditinjau Dari Berbagai Aspek Kehidupan. Hukum dan Pembangunan Tahun ke-3 No.4.

Handoyo, K. K. (2020). Terperangkap Kultur Patriarki: Kegagalan Penerapan Prinsip Cedaw Terhadap Kasus Honour Killing Di Pakistan. Journal of International Relations , 230-231.

0 Comments

Leave a comment