Etnis Rohingya Pasca Kudeta Militer di Myanmar : Antara Harapan dan Kesengsaraan

“Mereka kini memandang militer
sebagai musuh bersama. Agama dan ras bukan lagi masalah. Setiap orang kini
memikirkan kemanusiaan.”
-Nay San Lwin-
Pendahuluan
Etnis
Rohingya adalah sebuah etnis minoritas yang sering mendapatkan diskriminasi dan
tindakan nonhumanis lainnya oleh pihak pemerintah Myanmar. Sebagai etnis
minoritas, apalagi memiliki perbedaan agama terhadap etnis mayoritas,
memberikan kesempatan konflik yang cukup besar untuk kemungkinan terjadi. Hal
ini terbukti dan berlaku bagi etnis Rohingya yang menganut agama Islam berada
di tengah-tengah etnis mayoritas yang beragama Budha di Myanmar. Selain itu,
konflik yang juga pernah berlangsung dan disebabkan oleh perbedaan agama
terjadi antara konflik Israel-Palestina antara Islam dengan Yahudi dan konflik
di Irlandia Utara antara Katolik dan Protestan (Siba, 2018). Konflik yang terjadi antara pemerintah
Myanmar dan etnis Rohingya bukanlah persoalan baru. Ditelaah dari sejarahnya,
etnis Rohingya telah memiliki konflik dengan pemerintahan Myanmar dimulai
ketika pemerintah Junta Militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun
1962, ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta sekaligus menjadikan dirinya
sebagai presiden. Pada masa pemerintahan rezim Jenderal Ne Win, terjadi
berbagai bentuk diskriminasi terhadap etnis Rohingya. Selanjutnya, konflik dan
diskriminasi tidak hanya berhenti sampai di sana, konflik terus berjalan dan
semakin terekskalasi di tahun 2012 karena adanya bentuk balas dendam antaragama
Budha dan Islam.
Kudeta
militer yang terjadi di Myanmar saat ini merupakan sejarah kelam yang kembali
terulang dan bahkan dengan pola yang sama. Konflik berkepanjangan yang dialami
oleh etnis Rohingya seolah-olah tidak kunjung selesai. Setelah etnis Rohingya
mendapatkan status stateless atau
tidak mempunyai kewarganegaraan, etnis Rohingya diharuskan kembali menghadapi
rezim militer yang merupakan aktor sejarah kelam dibalik diskriminasi dan
konflik yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar. Sementara itu, karena
status stateless yang didapatkan oleh
etnis Rohingya, mengakibatkan etnis Rohingya saat ini berada pada pengungsian
Bangladesh. Saat terjadi kudeta militer di Myanmar, ternyata pada saat yang
bersamaan pihak Bangladesh akan melakukan repatriasi atau pemulangan kembali
etnis Rohingya ke Myanmar (Wijaya, 2021). Akan tetapi, hal ini kembali menjadi
perdebatan karena masyarakat pengungsi etnis Rohingya menolak dengan alasan
keselamatan (DW, 2021). Nampaknya, etnis Rohingya masih memiliki trauma buruk
terhadap apa yang pernah mereka alami sebelumnya, khususnya terhadap rezim
militer.
Kudeta
militer yang terjadi di Myanmar tidak hanya mengakibatkan hilangnya asa bagi
etnis Rohingya untuk diterima kembali di Myanmar. Hal sebaliknya juga terjadi
akibat adanya kudeta Militer ini, yaitu solidaritas masyarakat Myanmar untuk
etnis Rohingya. Solidaritas ini dapat dilihat ketika terjadinya demonstrasi
untuk mengembalikan pemerintahan yang sah dari kudeta yang dilakukan oleh
militer Myanmar. Ini adalah harapan bagi etnis Rohingya untuk dapat diterima
kembali di Myanmar. Bentuk solidaritas dan ajakan dalam melindungi etnis
Rohingya yang disampaikan saat demonstrasi menentang kudeta militer merupakan
bentuk harapan dan masa depan baru bagi etnis Rohingya. Melalui artikel ini,
akan dijelaskan perjalanan etnis Rohingya sebagai sebuah etnis minoritas yang
sering mendapatkan diskriminasi, serta akan dijelaskan rasionalisasi masa depan
etnis Rohingya di Myanmar. Apakah kudeta militer ini adalah bentuk dari harapan
masa depan atau kesengsaraan dari etnis Rohingya di Myanmar.
Awal Mula Konflik Etnis Rohingya di Myanmar
Myanmar adalah sebuah negara yang
terbagi menjadi tujuh negara bagian berdasarkan etnis minoritas. Myanmar
memiliki ibukota di Yangon dan berada di antara negara Tiongkok, Laos, India,
Thailand, dan Bangladesh. Myanmar memiliki 135 kelompok etnik yang
masing-masing memiliki budaya dan bahasanya sendiri-sendiri. Akan tetapi, etnis
yang terbesar di Myanmar adalah etnis Burma yang menganut agama Buddha
Theravada (Saba, 2021). Rohingya sebagai etnis minoritas berada di wilayah
Rakhine. Banyaknya kelompok etnik yang berada di Myanmar tentu mengakibatkan
Myanmar tidak jauh dari sebuah konflik. Apalagi nantinya etnis minoritas
dianggap mengganggu kenyamanan suatu wilayah mayoritas, maka konflik akan sulit
terelakkan untuk terjadi (Raharjo, 2015).
Peristiwa
konflik dan diskriminasi di Myanmar dialami oleh etnis minoritas Rohingya. Hal
ini berawal ketika pemerintahan Junta Militer di bawah Jenderal Ne Win merebut
kekuasaan dan saat yang bersamaan, politik diskriminasi terhadap etnik
minoritas mulai diberlakukan. Rezim Ne Win menganggap bahwa etnis Rohingya
sebagai sebuah ancaman sehingga dilaksanakanlah sebuah operasi untuk menumpas
pergerakan separatis dan mengontrol penduduk Rohingya pada tahun 1978 sekaligus
mengakibatkan hijrahnya etnis Rohingya ke Bangladesh (Triono, 2014).
Selanjutnya, konflik kembali menguat ketika tahun 1982 muncul kebijakan baru,
yaitu Burma Citizenship Law (BCL), yaitu Rohingya tidak mendapat
kewarganegaraan, hak atas tanah, dan pendidikan serta pekerjaan yang layak dan
cukup (Mizty, 2014). Kebijakan ini adalah suatu upaya untuk mempengaruhi gaya
hidup etnis Rohingya yang beragama Islam untuk pindah ke Buddha atau biasa juga
dikenal sebagai burmanisasi.
Berakhirnya
era Ne Win di tahun 2000 bukan berarti mengakhiri penderitaan etnis Rohingya
dari konflik dan diskriminasi. Sebagai etnis yang telah mendapatkan status stateless atau tidak mempunyai
kewarganegaraan, penderitaan akan sulit berakhir kecuali adanya solidaritas
dari elemen-elemen Myanmar untuk etnis Rohingya. Konflik dan diskriminasi yang
dialami oleh etnis Rohingya kembali memuncak pada bulan Juli 2012, ketika
terjadinya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis
Rohingya serta penyerangan yang dilakukan antara etnis Rakhine dan etnis
Rohingya (Triono, 2014). Ada banyak faktor yang memicu terjadinya konflik
tersebut, mulai dari kecemburuan sosial etnis Rakhine dengan etnis Rohingya,
etnis minoritas Rohingya dianggap mengganggu dan mengurangi hak lahan dan
ekonomi etnis Rakhine, dan terjadinya
kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Buddha yang diduga
dilakukan oleh laki-laki Muslim dan kemudian dibalas dengan pembunuhan 10 orang
laki-laki Muslim (Raharjo, 2015).
Setelah
konflik kembali memanas, diskriminasi dan tindakan nonhumanis terhadap etnis
Rohingya tidak ada henti-hentinya. Berikut adalah tindakan diskriminasi dan
nonhumanis yang diterima etnis Rohingya akibat konflik yang memuncak di tahun
2012, sebagai berikut :
1. Tahun 2012 merupakan puncak konflik
yang mengakibatkan 98 orang terbunuh, 123 terluka, 5.338 rumahnya dibakar, dan
75.000 mengungsi. Konflik itu terus memanas sehingga jumlah korban tahun 2012
terus mengalami peningkatan, yaitu 140.000 etnis Rohingya memilih untuk
mengungsi sedangkan 120.000 lainnya memilih untuk tetap tinggal di Rakhine dan
hampir 200 orang meninggal dunia.
2. Tahun 2013 para pengungsi yang telah
menetap di Bangladesh memilih untuk meninggalkan Bangladesh serta 3.000 di
antara memilih untuk mengungsi ke Malaysia, Indonesia, dan Thailand.
3. Tahun 2014 adanya penyerangan dari
gerombolan etnis Rakhine yang mengakibatkan pembunuhan dan dievakuasi 300 orang
serta 140.000 orang terlantar.
4. Tahun 2015, 700.000 etnis Rohingya
dirampas haknya, yaitu tidak diakui sebagai warga Negara Myanmar. Sedangkan
30.000 anak muslim harus kehilangan pendidikan serta tempat untuk belajar.
Adapun total sekitar 2000 orang yang meninggal di laut akibat melarikan diri
untuk mengungsi.
5. Tahun 2016, pada bulan Oktober 2016
telah terjadi serangan militer oleh etnis Rakhine yang melakukan pembalasan
berupa pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran yang mengakibatkan 100.000
melarikan diri ke Bangladesh.
6. Tahun 2017 merupakan tahun dengan jumlah kekerasan terbanyak selama konflik etnis Rohingya berlangsung. Sebanyak 9.000 orang meninggal sejak 25 Agustus sampai 24 September. Namun, konflik itu terus mengalami peningkatan. Akhir September meningkat menjadi 13.759 orang meninggal termasuk 1.000 anak usia di bawah 5 tahun. Untuk persentasenya: 69% kematian karena kekerasan, 9% rumah dibakar hingga korban meninggal dan 5% dipukuli sampai mati. Untuk anak-anak di bawah 5 tahun: 59% tertembak, 15% dibakar sampai mati, 7% dipukul hingga mati dan 2% meninggal karena ledakan ranjau darat .
Pola yang sama juga terjadi di
tahun-tahun berikutnya. Konflik dan diskriminasi yang dialami oleh etnis
Rohingya seolah-olah tidak ada habisnya. Walaupun banyak aktivis kemanusiaan
Myanmar yang membawa isu ini ke ranah internasional, tetapi pihak pemerintah
Myanmar berdalih bahwa apa yang terjadi adalah urusan internal negaranya.
Selain itu, para aktivis atau aktor yang mendukung perlindungan etnis Rohingya
juga sering kali mendapatkan ancaman dari masyarakat Myanmar. Hal ini
membuktikan bahwa etnis Rohingya bukan hanya tidak diterima dari segi
administrasi oleh pemerintah tetapi juga tidak diterima oleh masyarakat
Myanmar. Hal ini tentunya akan semakin mempersulit harapan etnis Rohingya untuk
kembali ke negaranya dengan damai dan
sejahtera tanpa konflik dan diskriminasi. Akan tetapi, setelah adanya
kudeta militer yang baru-baru ini terjadi, harapan etnis Rohingya untuk kembali
ke Myanmar mulai terlihat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya masyarakat Myanmar
dalam berdemonstrasi menuntut keadilan dan perlindungan kemanusiaan bagi etnis
Rohingya. Ini mengindikasikan bahwa etnis Rohingya diterima oleh masyarakat
Myanmar.
Kekuasaan Rezim Militer Setelah Kudeta Militer Memusnahkan
Harapan Etnis Rohingya Untuk Kembali ke Myanmar
Lantas, bagaimana nasib etnis
Rohingya pasca terjadinya kudeta militer yang terjadi di Myanmar ? Seperti yang
dituliskan di atas, masyarakat Myanmar sejatinya tidak hanya berdemonstrasi
untuk menegakkan demokrasi di Myanmar, tetapi juga mereka menuntut keadilan dan
perlindungan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya. Apa daya demonstrasi
penuntutan tersebut masih jauh panggang dari api. Nyatanya, pihak militer
justru melakukan operasi di wilayah Rakhine. Sebetulnya, jika ditinjau dari
kacamata politik, kudeta ini justru menimbulkan secercah harapan bagi kaum
Rohingya, lantaran junta militer Myanmar telah merangkul Partai Nasional Arakan
(Arakan National Party/ANP) yang
merupakan partai lokal yang berbasis di Rakhine untuk menjadikan mereka
tergabung ke dalam parlemen dan diberikan hak untuk menunjuk perwakilan
mengenai isu-isu Rohingya. Namun, hal ini justru menimbulkan polemik baru
lantaran sebanyak 47 Lembaga sipil yang berdomisili di Rakhine justru mendesak
agar ANP segera menarik diri mereka dari undangan junta militer tersebut.
Akibat dari polemik baru ini, etnis
Rohingya kini hidup dibawah ketidakpastian, mereka sekarang hidup
terlunta-lunta di kamp pengungsian
yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Rencana untuk memulangkan mereka
kembali dari Bangladesh ke Myanmar pun kian hari kian menyusut akibat dampak
dari peristiwa kudeta ini. Rencana repatriasi mereka pun kini terancam gagal,
hal ini lantaran rencana repatriasi ini bergantung pada keputusan militer dan
hal ini sedikit banyak memberikan kekhawatiran tersendiri bagi kaum Rohingya,
mereka beranggapan jika repatriasi tetap dilakukan mereka khawatir pihak
militer Myanmar akan tetap menyiksa mereka.
Sementara itu, di dunia internasional sendiri, PBB mengaku jika kudeta yang terjadi di Myanmar bisa berpotensi menambah buruk keadaan kaum Rohingya di wilayah Rakhine. Hal ini cukup beralasan mengingat mulai 2 Februari 2021 data menunjukkan ada sekitar 600.000 orang Rohingya yang masih terisolasi di wilayah Rakhine sementara sebanyak 120.000 orang tercatat ditahan di kamp konsentrasi yang menyebabkan mobilitas mereka terbatas dan hak mereka atas kesehatan serta pendidikan pun terbatas (Titiyoga, 2021). Menanggapi kekhawatiran ini, Dewan Keamanan PBB telah mengadakan rapat dan membahas mengenai nasib etnis Rohingya pasca kudeta militer Myanmar (TimDetik.com, 2021).
Solidaritas Masyarakat Myanmar dalam Memprotes Kudeta
Militer untuk Melindungi Etnis Rohingya
Demonstrasi yang berlangsung di
Myanmar juga sedikit disisipi unsur solidaritas oleh warga Myanmar terhadap
kaum Rohingya (Bonasir, 2021). Tidak hanya Rohingya, muslim sebagai agama
minoritas di sana juga bersatu dalam demonstrasi menentang kudeta yang terjadi.
Banyak dari aktivis Myanmar yang mengedepankan unsur persatuan dalam
demonstrasi mereka dan mulai meninggalkan prejudis dan unsur kebencian terhadap
kaum-kaum minoritas di Myanmar, termasuk etnis Rohingya. Kini mereka berada
dalam satu koridor untuk kembali mengamankan demokrasi di Myanmar yang lumpuh.
Kini para etnis mayoritas seperti etnis Bamar, Shan, Mon, dan Rakhine mulai
membuka diri dengan etnis minoritas, seperti Rohingya, Chin, dan Karen. Bahkan,
mereka khususnya etnis Bamar telah menolak dugaan kekejaman yang dilakukan oleh
Etnis Rohingya yang dituduhkan oleh Tatmadaw.
Melalui solidaritas yang dilakukan
oleh masyarakat Myanmar maka diskriminasi dan tindakan nonhumanis yang kerap
diterima oleh etnis Rohingya akan sedikit berkurang. Selain itu,
aktivis-aktivis Myanmar yang dahulu mendapatkan ancaman karena membela etnis Rohingya
di tingkat internasional, tetapi saat ini mulai mendapatkan banyak pujian dan
apresiasi oleh masyarakat Myanmar. Oleh karena itu, kudeta militer yang terjadi
di Myanmar juga merupakan sebuah harapan bagi etnis Rohingya untuk diterima
kembali di negaranya sendiri, yaitu Myanmar.
Kesimpulan
Kudeta militer yang terjadi di
Myanmar merupakan peristiwa yang sudah kerap terjadi di negara ini.
Permasalahan etnis, konflik agama, dan diskriminasi kaum minoritas juga bukan
hal baru bagi masyarakat Myanmar. Salah satu etnis yang sering mendapatkan
tindakan diskriminasi dan nonhumanis oleh pemerintah Myanmar adalah etnis
Rohingya. Bahkan, etnis Rohingya mendapatkan status stateless atau tidak memiliki kewarganegaraan dikarenakan konflik
yang pernah menimpa etnis ini dengan rezim junta militer di tahun 1978 di bawah
kepemimpinan rezim Ne Win. Kudeta militer yang kembali terjadi di Myanmar di
tahun 2021, mengakibatkan etnis Rohingya mengingat kenangan buruk sejarahnya di
masa lalu.
Kudeta yang terjadi untuk merebut kekuasaan pemerintahan yang sah oleh pihak militer Myanmar atau Tatmadaw memberikan dilematika terhadap posisi etnis Rohingya saat ini di Myanmar. Kudeta militer bisa memberikan hilangnya harapan bagi etnis Rohingya untuk kembali ke negaranya sendiri karena berdasarkan sejarah, bahwa diskriminasi dan tindakan non humanis yang dialami oleh etnis Rohingya disebabkan oleh pihak militer. Sementara itu, saat ini pihak militer menguasai Myanmar sehingga repatriasi yang akan dilakukan pihak Bangladesh ke Myanmar untuk etnis Rohingya mengalami hambatan. Akan tetapi, kudeta militer ini juga memberikan secercah harapan bagi etnis Rohingya untuk bisa kembali ke negaranya. Hal ini disebabkan oleh terlihatnya solidaritas masyarakat Myanmar saat berdemonstrasi terhadap penegakan demokrasi untuk turut serta menyuarakan perlindungan terhadap etnis Rohingya. Kejadian solidaritas ini memberikan harapan bagi etnis Rohingya untuk diterima kembali di negaranya terutama diterima oleh masyarakat Myanmar. Dengan demikian, kudeta militer di Myanmar memberikan dilematika terhadap posisi etnis Rohingya, apakah diterima kembali ke negaranya atau akan selamanya menetap di negeri orang sebagai etnis dengan status stateless atau tidak memiliki kewarganegaraan.
Oleh : ACADEMIA KOMAHI UNSOED
Daftar Pustaka
Bonasir, R. (2021). Ketika umat Islam dan Buddha di Myanmar bersatu menentang kudeta
militer: Kami semua kini bersaudara, satu keluarga. bbc.com. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56563850
DW.
(2021). Pengungsi Rohingya Semakin Takut
ke Myanmar Setelah Kudeta. Dw.Com. https://www.dw.com/id/pengungsi-rohingya-takut-kembali-ke-myanmar-setelah-kudeta/a-56436655
Mitzy,
I. G. (2014). Perlawanan Etnis Muslim Rohingya terhadap Kebijakan Diskriminatif
Pemerintah Burma-Myanmar. Indonesian
Journal of International Studies, 1(2).
Raharjo,
N. S. I. (2015). Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine Myanmar. Jurnal Kajian Wilayah, 6(1).
Siba,
A. M. (2018). Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Konflik Rohingya Human RIght
Violations On Rohingya Conflict. Islamic
World Politics, 2(2), 368–384.
Tim Detik.com. (2021). Nasib Muslim Rohingya Bikin Khawatir PBB
Gara-gara Kudeta. detikNews.https://news.detik.com/internasional/d-5359014/nasib-muslim-rohingya-bikin-khawatir-pbb-gara-gara-kudeta/2
Titiyoga, G. W. (2021). Nasib Pengungsi Rohingya dan Etnis Minoritas
Myanmar yang Makin Suram setelah Kudeta Militer. majalah.tempo.co. https://majalah.tempo.co/read/internasional/162669/nasib-pengungsi-rohingya-dan-etnis-minoritas-myanmar-yang-makin-suram-setelah-kudeta-militer
Triono.
(2014). Peran ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Jurnal TAPIs, 10(2).
Wijaya,
I. (2021). Bangladesh dan Myanmar Setuju
Repatriasi Pengungsi Rohingya. Idn Times. https://www.idntimes.com/news/world/ifan-wijaya/bangladesh-dan-myanmar-setuju-repatriasi-pengungsi-rohingya-c1c2/2
0 Comments