loading...

Dua Isu yang Dihadapi ASEAN

“Kita tidak ingin ASEAN menjadi proksi siapa pun, proksi negara mana pun, karena yang kita inginkan, ASEAN adalah terbuka, kerja sama dengan siapa pun, dengan negara mana pun” (Presiden Joko Widodo, Harian Kompas, 15 Mei 2023)

    Pernyataan Presiden Joko Widodo, mengingatkan kepada Perhimpunan Bangsabangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk tidak berpihak kepada siapa pun di saat dua kekuatan negara besar sedang mencari pengaruh di kawasan. Pengalaman masa Perang Dingin tentu berharga untuk direfleksikan dengan situasi saat ini. Memasuki usia ke-56 ASEAN harus lebih bijak dalam mengambil langkah agar mencegah potensi perang terbuka. Indonesia sebagai ketua harus mampu menjaga sentralitas agar tidak adanya pihak eksternal mengambil keuntungan dalam masalah di kawasan Asia Tenggara.

    Selama puluhan tahun, masyarakat internasional memandang Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni. Anggapan itu tidak salah karena AS mampu berlaga saat Perang Dunia II dan pemenang Perang Dingin. Akan tetapi, perlahan-lahan namun pasti kekuatan China semakin menguat dan membuat AS khawatir. Segala upaya ditempuh untuk membendung kebangkitan China dengan membentuk pakta pertahanan, yaitu AUKUS. Juga turut serta dalam persaingan di Laut China Selatan.

    China secara sepihak mengklaim wilayah Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam di LCS. Tindakan ini mendapatkan protes keras dari berbagai negara tersebut. Filipina mengambil langkah dengan menamakan wilayahnya Filipina Barat. Indonesia memberikan nama Laut Natuna Utara. Situasi menjadi semakin runyam, ketika Amerika Serikat yang tidak mempunyai wilayah klaiman dengan dalih bebas bernavigasi menempatkan kapal perang di sekitar LCS.

    Akibatnya, patroli kapal Filipina kerap terlibat bentrok dengan kapal China di Filipina Barat. Dalam hal ini, China merasa unggul karena kemampuan militernya. Untuk mengimbangi, Filipina bekerja sama militer dengan AS. Terlepas dari bantuan tersebut, AS pun mencari sokongan di kawasan Asia Tenggara.

    Pada pertengahan Maret 2023, Australia mengumumkan kerja sama kapal selam nuklir bersama AS dan Inggris. Tak salah lagi, langkah ini untuk melawan China. Indonesia merespons karena akan berdampak kepada kawasan Asia Tenggara dan potensi menjadi ladang konflik, juga mengingatkan Australia agar menjadi tanggung jawab bersama untuk menciptakan perdamaian dunia. Langkah AUKUS yang cukup progresif karena untuk mengimbangi China yang memberikan bantuan kepada berbagai negara salah satunya melalui Belt Road and Intiative (BRI).

    Di tengah kondisi yang tidak pasti, pertemuan antara Presiden China Xi Jin Ping dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat pada 19 Juni 2023, membawa angin segar dalam pertarungan politik internasional. Hal ini tidak terlepas kebijakan luar negeri Presiden Joe Biden yang berbeda dengan sebelumnya, Donald Trump. Saat ini fokus membangun aliansi dan menyelesaikan masalah melalui dialog. Nampak kedua negara tidak ingin masuk ke dalam perangkap Thucydides. Akan tetapi, hal ini bisa saja dunia hanya aman untuk sementara.

    Selain itu, masalah Myanmar menjadi duri dalam daging di ASEAN. Sejak kudeta militer pada Febuari 2021, negara tersebut mengalami kekacauan dan ketidakpastian. Junta militer Myanmar memang telah berurat-akar dan sekitar 48 tahun lamanya menguasai Myanmar. Mereka akan memanfaatkan celah apa pun untuk mengambil alih kekuasaan dari pihak sipil, seperti menganggap pemilu 2020 cenderung mengalami kecurangan.

    Isu ini memecah belah ASEAN. Saat terjadinya kudeta, hanya Indonesia, Singapura, dan Malaysia yang memberikan pernyataan. Sisanya, menganggap masalah internal Myanmar. Apalagi, di dalam ASEAN adanya prinsip tidak boleh mencampuri urusan domestik. Akibatnya, permasalahan menjadi berlarut-larut lamanya.Militer juga menganggap tidak ada kemajuan saat dipimpin oleh pihak sipil. Gerakan separatisme masih bermunculan.

    Aung San Suu Kyi tidak mengambil sikap tegas dalam hal ini seperti membela etnis Rohingya karena adanya ketakutan. Di dalam diskusi podcast Total Politik berjudul Kudeta Militer Myanmar, Bambang Harymurti (Jurnalis Senior Tempo) menyatakan menteri pertahanan, polisi, dan tentara dipilih oleh militer. Mereka tidak tunduk kepada pemerintah sipil. Akhirnya, gerak langkah Suu Kyi terbatas karena mudah digulingkan oleh pihak militer. 

    Bahkan, Suu Kyi pada tahun 2020 dihadapkan di Mahkamah Pengadilan Den Haag, Belanda. Negara Gambia sebagai penuntut, meminta pertanggung jawaban Suu Kyi atas kejahatan genosida etnis Rohingya di Myanmar. Akan tetapi, dia berdalih bahwa tindakan itu hanyalah ekses militer. Nampak Suu Kyi mengamankan kekuasaannya agar langgeng di puncak kekuasaan.

    Akibatnya, terjadilah krisis demokrasi. Masyarakat menganggap keadaan sama seperti saat rezim militer berkuasa. Tidak ada perubahan siginfikan. Hal inilah yang menjadi pintu masuk militer untuk berkuasa kembali.

    Dinamika Laut China Selatan

    Asep Setiawan dalam Keamanan Maritim di Laut China Selatan: Tinjauan atas Analisa Barry Buzan (2017) menyatakan bahwa sengketa wilayah ini muncul pada tahun 1947 ketika Tiongkok menerbitkan peta yang mengklaim sebagian besar perairan LCS dan telah menjadi wilayah Tiongkok sejak Dinasti Han (206-220SM). Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Indonesia pun mempunyai jejak historis. Akhirnya, permasalahan tersebut telah diselesaikan melalui Konvensi Hukum Laut 1982.

    Akan tetapi, beberapa dekade akhir, meningkatnya agresifitas Tiongkok di wilayah LCS yang diiringi dengan semakin kuat dalam politik, militer, dan ekonomi. Filipina secara inisiatif mengajukan gugatan kepada Mahkamah Arbitrase Internasional. Pada tahun 2016, gugatan dimenangkan oleh Filipina. Namun, China nampak acuh tak acuh dalam menanggapi keputusan tersebut.

    China tidak menghormati kedaulatan negara klaiman dan juga tidak taat pada hukum internasional. Langkah China membuat pengaruh asing mudah masuk di kawasan serta memecah belah sentralitas ASEAN. Sebab, pada 2011 Presiden Myanmar Thein Sein memberikan pernyataan mendukung China dalam isu LCS.

    Bahkan, China membangun pangkalan militer di Kepulauan Spratly yang berbatasan dengan Filipina, juga menggelar latihan militer. Filipina merespons latihan militer bersama AS. Langkah AS ikut serta di LCS dengan alasan membantu menjaga perdamaian kawasan.

    Perhatian AS di LCS telah berlangsung lama. Sejak Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dan Presiden Barack Obama telah mengeluarkan sejumlah manuver politik yang mempunyai tujuan untuk menjaga eksistensi di kawasan Asia Tenggara. Wilayah LCS diperebutkan oleh dua kekuatan besar karena merupakan jalur strategis perdagangan dari Asia ke Eropa. Selain itu, menyimpan sumber daya alam seperti minyak dan gas.

    Rivalitas antara AS dan China di kawasan Asia Tenggara tidak berujung. Menurut sejarawan Nicolas Tarling, ASEAN saat dibentuk pada 1967 dipandang Beijing sebagai alat AS untuk mengepung China (Harian Kompas, 12/7/2023). Memang di masa lalu AS banyak memberikan bantuan ekonomi di kawasan. Akan tetapi, saat ini arus itu berubah; China menjadi penyokong terbesar. Maka, segala cara AS menempuh jalan untuk tetap menjaga pengaruh; salah satunya membangun pangkalan militer di Darwin.

    Negara-negara klaiman tidak seagresif seperti Filipina. Namun, Indonesia pada Januari 2020 cukup mengambil langkah tegas. Meningkatkan patroli lebih intensif di Laut Natuna Utara karena kapal-kapal nelayan China masuk ke wilayah tersebut. ASEAN wajib menjaga kawasan karena menurut survei 73 persen responden menyatakan wilayah Asia Tenggara saat ini menjadi ancaman sedangkan 60.7 persen mengkawatirkan perpecahan (The Jakarta Post, 17/5/2023).

    Pasca Kudeta Junta Militer

    Myanmar menjadi pusat perhatian internasional setelah peristiwa Febuari 2021 karena menerapkan kembali metode primitif. ASEAN telah mengambil langkah mengadakan 110 pertemuan untuk dialog dengan berbagai pihak di sana. Akan tetapi, belum ada perubahan sampai saat ini. Kekerasan masih terus berlanjut.

    Thailand mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan informal dengan pimpinan junta milter karena beralasan Thailand sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar terkena dampak. Indonesia sebagai chairman menganggap tidak sesuai aturan dalam ASEAN. Pertemuan wajib diselenggarakan melalui konferensi tingkat tinggi dan dipimpin oleh Indonesia yang saat ini memegang tongkat estafet kepemimpinan. Thailand berdalih sesuai kesepakatan saat KTT Phnom Penh pada 2022 siapa pun bisa mengambil peran dalam menyelesaikan masalah Myanmar. Perpecahan ini harus diselesaikan karena cukup menjadi pusat perhatian di luar kawasan.

    Selain itu, junta militer mendapat pasokan senjata dari Rusia dan bantuan ekonomi oleh China. Hal ini yang membuat junta kuat sehingga tidak terkena dampak secara langsung oleh sanksi ekonomi yang diberikan AS. Secara geografis wilayah Myanmar memang berdekatan dengan China.

    Myanmar harus belajar pengalaman dari masa lalu bahwa dengan pendekatan represif militer membuat negaranya menjadi sulit berkembang. Delindi Nur Fatimah dalam Peran ASEAN dalam Menyelesaikan Konflik Kudeta Militer Myanmar (2021) menyatakan kudeta pertama kali terjadi pada 1962 dibawah kepemimpinan Jenderal Ne Win karena dianggap pemerintah sipil gagal dalam menyelesaikan gerakan etnis minoritas. Kudeta kedua terjadi pada 1988 saat masyarakat Myanmar melakukan pemberontakan karena telah muak dengan adanya korupsi dan krisis ekonomi. Tapi, lagilagi militer kembali menguasai pemerintahan. Kudeta ketiga terjadi pada 2021 dan Jenderal Min Aung Hlaing mengabsahakan tindakan tersebut

    Secara geopolitik, situasi ini menganggu stabilitas keamanan kawasan. Apalagi, pasca kudeta 2021, militer Myanmar terlibat dalam serangan terhadap lawan politik, pekerja kesehatan, jurnalis dan menewaskan sekitar 1.800 orang termasuk anak-anak dan menangkap lebih dari 10.000 orang (The Jakarta Post, 13/5/2022). Pemerintah Myanmar wajib memulihkan keadaan yang saat ini kondisinya karut-marut. Di era globlisasi ini merupakan hal yang tidak relevan dengan menerapkan sistem otoritarianisme. Sebab, tindakan tersebut dianggap anakronis dan merusak citra negara di hadapan internasional.

    Apa yang sepatutnya ASEAN lakukan?

    Pertama, menyamakan pandangan untuk persoalan Myanmar. ASEAN pun hanya memfasilitasi dialog. Myanmar harus mencari jalan keluar yang terbaik untuk negaranya sendiri. Myanmar dapat merefleksi pengalaman Indonesia ketika Mei 1998 saat terjadinya people’s power bahwa saat itu masyarakat telah muak dengan tindak langkah rezim militer orde baru. Meskipun demokrasi di Indonesia belum sempurna, akan tetapi Indonesia berhasil melewati masa transisi menuju reformasi dengan hasil penghapusan terhadap Dwifungsi ABRI.

    Kedua, untuk isu LCS, ASEAN dapat mempercepat code of conduct agar tidak adanya pihak yang mengklaim bukan wilayah kedaulatannya. Indonesia sebagai negara bebas-aktif, dapat membawa ASEAN untuk berkolaborasi baik dengan AS maupun China. Tujuannya, agar tidak terpusat oleh suatu poros. Hal ini juga menguntungkan bagi masing-masing negara untuk pembangunan.

    Ketiga, Indonesia sebagai negara dunia ketiga telah dikenal oleh dunia internasional sebagai juru damai melalui perannya dalam perang Rusia-Ukraina. Maka, dalam persoalan kawasan Indonesia tidak hanya retorika saja, akan tetapi perlunya mengambil langkah tegas. Sebab, dua isu ini dapat menjadi batu loncatan untuk keberhasilan Indonesia sebagai ketua ASEAN. 
 

0 Comments

Leave a comment