loading...

Dinamika Kebakaran Hutan di Pulau Kalimantan

Aqshal Ilham Ramadhan

Nur Vita Dewan Tari

Arina Varadilla

UPN "Veteran" Jawa Timur


Pendahuluan

Kalimantan merupakan pulau terluas ketiga di dunia, Pulau Kalimantan memiliki pembagian wilayah yakni meliputi pembagian wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Secara administratif Kalimantan memiliki 5 provinsi bagian yakni Kalimantan Timur memiliki Ibu Kota Provinsi Samarinda, Kalimantan Utara yang memiliki Ibu Kota Provinsi Tanjung Selor, Kalimantan Tengah dengan Ibu Kota Provinsi Palangkaraya, dan Kalimantan Barat dengan Ibu Kota Pontianak (Bappeda, 2019). Perekonomian di Pulau Kalimantan didominasi oleh beberapa sektor yang sesuai dengan kondisi alam di Kalimantan yaitu pertambanagan dan penggalian, industri pengolahan, pertanian, perhutanan dan perikanan. Setiap provinsi di Kalimantan memiliki ciri khas dan dominasi masing-masing, Kalimantan Barat memiliki ciri yang mudah teringat yaitu berbatasan langsung dengan negara Malaysia tepatnya di Serawak. Kalimantan Barat didominasi oleh pertanian, perhutanan, dan industri pengolahan memiliki dominasi yang sama dengan Kalimantan Tengah. Sektor yang menjadi basis perekonomian Kalimantan Timur adalah pertambangan dan penggalian sama dengan Kalimantan Selatan. Sedangkan industri pengolahan sangat berpotensi di Kalimantan Utara (Bappeda, 2019). Sektor perhutanan yang cukup mendominasi di Kalimantan karena pulau ini memiliki hutan dengan luas 40,8 juta hektar yang menjadi habitat bagi flora dan fauna dengan presentasi 6% lahannya yang dihuni oleh satwa-satwa tanpa terkecuali orangutan yang merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia. Menurut World Wide Fund (WWF) Kalimantan merupakan salah satu paru-paru dunia, namun diprediksi Kalimantan akan kehilangan hutannya sebesar 75% pada tahun 2020 karena pengalihan lahan dan beberapa faktor lain seperti kebakaran hutan (Adharsyah, 2019). Kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian masyarakat internasional yang erat dengan Pulau Kalimantan (H & H, 2011). Kebakaran hutan merupakan bencana yang kerap terjadi setiap tahunnya yang membawa kerugian bagi segi sosial ekonomi, kesehatan, dan lingkungan, bahkan mengganggu sektor perhubungan internasional yang melintas di sekitar Kalimantan, karena Kalimantan merupakan wilayah yang dilewati jalur strategis perdagangan internasional. Kalimantan juga merupakan pulau yang bertetangga dengan negara-negara di sekitarnya seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Laut Cina Selatan (Sahat M & Friyanto, 2008). Greenpeace sebagai organisasi internasional yang bergerak dalam bidang lingkungan juga merespon kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan kisaran waktu 2015 sampai 2019. Melalui investigasi yang dilakukan pihak Greenpeace membuktikan sebanyak 4,4 juta hektar lahan perhutanan yang terbakar kurun waktu 2015 hingga 2019. Greenpeace memberikan peringatan secara tegas kepada Indonesia atas kebakaran hutan yang terjadi berulang-ulang setiap tahunnya (Litha, 2020). Berdasarkan pemaparan di atas penelitian ini menganalisis beberapa rumusan masalah yaitu; (1) mengapa kebakaran hutan di Kalimantan bisa terjadi; (2) bagaimana dampak yang dihasilkan akibat dari kebakaran hutan di Kalimantan; (3) bagaimana upaya pemerintah dalam menangani kebakaran hutan di Kalimantan.

Metodologi Penelitian dan Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memahami dan menjelaskan fenomena yang terkait dengan fokus pembahasan mengenai permasalahan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Indonesia yang terletak pada provinsi Kalimantan. Pengumpulan data menggunakan data sekunder yang berasal dari Kajian Jurnal, artikel, berita, dan website resmi yang memiliki hubungan dengan kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan. Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran Environmentalism merupakan suatu pergerakan dalam pengubahan sistem sosial dan politik yang difokuskan untuk melestarikan alam, meningkatkan kualitas hidup, dan melakukan adanya perubahan kebijakan negara akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Kalimantan (Walhi, 2008). Kerangka pemikiran Environmentalism selalu mengutamakan pada perbaikan standar lingkungan kualitas hidup yang harus diperhatikan oleh manusia, perbaikan sumber daya alam dapat melalui peningkatan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan untuk merubah perilaku manusia dan kesadaran manusia agar sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, untuk melindungi penggunaan lahan hutan terbuka agar tidak berdampak pada kerusakan alam yang menimbulkan kebakaran. Kerusakan lingkungan akibat kebakaran dapat merugikan masyarakat domestik dan global. (Walhi, 2008).

Pembahasan

Unsur Alam dan Unsur Manusia dalam Penyebab Kebakaran Hutan di Kalimantan

Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan sangat berpengaruh terhadap kehidupan di sekelilingnya. Hutan merupakan aspek penting bagi kehidupan manusia terutama di Kalimantan hutan merupakan habitat bagi flora dan fauna, dominasi perekonomian masyarakat di Kalimantan juga bergantung pada sektor perhutanan, dan unsur tumbuhan didalamnya akan membantu penyerapan pencemaran udara yang ada. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2019) potensi penyebab kebakaran hutan di Kalimantan didominasi oleh faktor manusia daripada faktor alam dengan persentase yang disebutkan adalah 99% faktor manusia dan 1% faktor alam. Terdapat unsur kesengajaan dalam adanya kebakaran hutan di Kalimantan seperti sengaja membuang puntung rokok dalam kawasan perhutanan, sengaja menimbulkan percikan api melalui berbagai cara secara diam-diam. Hal ini dilakukan atas dasar pengalih fungsian lahan perhutanan menjadi lahan lain agar menciptakan lapangan pekerjaan yang baru. Faktor ekonomi menjadi peran utama dalam terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan, hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Bapak Doni Monardo. Faktor manusia yang menjadi faktor utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan tidak akan terjadi jika tidak adanya faktor pendukung. Dalam hal ini faktor alam di Kalimantan menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan, dapat dikaji melalui keadaan iklim, suhu, dan kelembaban wilayah di Kalimantan. Kalimantan memiliki iklim sama seperti Indonesia sendiri yakni beriklim tropis yang memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Jika ditelaah melalui perhitungan bulan maka musim kemarau di Pulau Kalimantan datang mulai bulan Mei hingga bulan Oktober, sedangkan musim hujan akan datang pada bulan November sampai bulan April. Iklim di Kalimantan juga dipengaruhi oleh angin muson barat dan angin muson timur yang terjadi atas pengaruh letak Pulau Kalimantan yang berada pada garis khatulistiwa. Namun, beberapa tahun terakhir pergantian musim di Pulau Kalimantan tidak dapat ditentukan dengan kesesuaian hitungan bulan seperti di atas, terkadang terjadi hujan berkepanjangan dan kemarau berkepanjang sehingga mengakibatkan kekeringan terhadap unsur hara pada tanah di hutan Kalimantan. Hal ini sangat berpengaruh pada kebakaran hutan karena akan berpotensi menimbulkan percikan api secara cepat dan cepat menjalar dengan dipengaruhi oleh arah gerak angin. Percikan api yang cepat terjadi juga sangat dipengaruhi oleh temperatur suhu yang ada di Pulau Kalimantan karena letaknya yang jauh dari perairan terutama dari laut dan pantai. Temperatur suhu terendah di Kalimantan terletak di wilayah Banjarmasin yang berada di Kalimantan Selatan 20,4 derajat celcius hingga 3,8 derajat celcius. Kelembapan udara terendah ada pada Kota Samarinda Kalimantan Timur dengan 81,3 % (Bappeda, 2019). Kebakaran hutan yang membawa nama perusahaan yang dianalisis langsung oleh Greenpeace yang menemukan sepuluh nama perusahaan kelapa sawit yang terseret dalam kasus kebakaran hutan dalam kurun waktu 2015 hingga 2018. Hal ini sangat disayangkan oleh Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace, Bapak Kiki Taufik yang memberikan ujaran kekecewaan atas terjadinya kebakaran di setiap tahunnya, beliau sempat menyebutkan nama pemerintah yang tidak memberikan efek jera sehingga pelaku kebakaran hutan terus melakukan aksinya demi kepentingan sepihak dan merugikan segala aspek yang ada (BBC, 2019).

Dampak Kebakaran Hutan Kalimantan Bagi Masyarakat Global

Permasalahan kebakaran hutan di negara Indonesia lebih tepatnya pada provinsi Kalimantan diperkirakan dapat terjadi di setiap pergantian tahunnya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) tercatat bahwa luas lahan hutan Indonesia seluas 94,1 juta ha yang senilai dengan 50,1% total dari seluruh daratannya (KLHK, 2020). Luas lahan tersebut yang seharusnya berada pada pengawasan langsung oleh pemerintah setempat namun terdapat kelalaian dalam penegasan regulasi sehingga menimbulkan terjadinya permasalahan kebakaran hutan. Penanganan kebijakan akibat kebakaran hutan ini menjadi upaya bagi Pemerintah Indonesia dan tentunya akan mendapat banyak perhatian dari masyarakat internasional agar tidak berdampak buruk bagi masyarakat global. Adanya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan yakni dapat terjadi akibat campur tangan manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap penggunaan lahan hutan dan kebakaran hutan dapat terjadi secara alami akibat dari perubahan iklim atau cuaca dari musim hujan ke musim kemarau. Terjadinya permasalahan kebakaran hutan di Kalimantan diakibatkan oleh tidak adanya peraturan tegas untuk penggunaan lahan secara resmi hukum, sehingga masyarakat kapitalis atau pemilik modal dapat menggunakan lahan hutan secara terbuka sebagai sumber dari mata pencahariannya, dan permintaan investor asing terhadap sawit di Indonesia sangat tinggi. Dengan demikian, para pengusaha berusaha menggunakan peluang besar untuk membuka lahan hutan tanpa adanya pengawasan serta perizinan hukum dari pemerintah setempat atau pusat. Telah tercatat sekitar 42,3 juta Ha lahan hutan telah diambil alih fungsinya kebanyakan dijadikan ladang usaha seperti pembuatan lahan untuk pertambangan dan perkebunan. Rata-rata peralihan fungsi lahan tersebut tidak mampu mengelola dengan menggunakan standar lingkungan yang sesuai (Kartodiharjo, 2015). Kemudian dari faktor tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak yang terjadi akibat dari kebakaran hutan di Kalimantan. Salah satu dampak yang sangat merugikan masyarakat domestik yaitu pada bidang kesehatan karena kebakaran hutan tentunya dapat memproduksi kabut asap yang menjadikan kualitas udara sangat buruk sehingga dapat menimbulkan infeksi saluran pernafasan dengan ciri ciri seperti asma dan sesak untuk bernafas, serta menimbulkan reaksi sensitif pada bagian kulit serta mata karena terdapat kandungan zat kimia di dalam kabut asap. Menurut laporan Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI) tercatat bahwa pasien penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebanyak 20.890 pasien (Kemenkes RI, 2019). Dampak kabut asap akibat kebakaran hutan di Kalimantan tidak hanya memberikan efek buruk kepada masyarakat domestik saja melainkan negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia ikut terlibat merasakan dampaknya karena terkena kabut asap yang melewati hingga masuk ke dalam kawasan negara tersebut. Pada akhirnya, kedua negara ini merasa dirugikan sehingga turut andil dalam melakukan kerja sama regional dengan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam perjanjian pengetatan pengawasan terhadap regulasi lahan hutan yang ada di Indonesia. Perjanjian tersebut memiliki misi untuk mengawasi, mengobservasi, mewaspadai, melakukan pencegahan, pengetatan prosedur penggunaan lahan, dan sigap terhadap kondisi darurat baik dalam lingkup nasional dan internasional. Upaya dari Pemerintah Indonesia dan bantuan dari penetapan perjanjian yang ditetapkan oleh anggota negara ASEAN, untuk memberikan sanksi hukum pada para pemilik modal yang tidak bertanggung jawab atas dampak merusak lingkungan sekitar yang tidak disadari sehingga kesalahan kecil yang terulang dapat berdampak hingga ke masyarakat global. Setelah memperoleh penetapan AATHP hukum internasional, Pemerintah Indonesia juga menetapkan Undang Undang No 37 tahun 2014 yang berupa sanksi penggunaan tindakan paksaan untuk menghindari terjadinya kebakaran lahan hutan di Kalimantan, jika tetap melanggar terdapat risiko yang harus ditanggung seperti pencabutan izin dan pembekuan aset (Kemenhan, 2014). Dengan demikian, telah banyak tindakan dan kebijakan manusia untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan di Kalimantan yang terjadi secara berulang, Pemerintah Indonesia dan perjanjian kerjasama dengan regional telah menindaklanjuti agar tidak terulang kembali dampak yang merugikan masyarakat domestik dan global. Penerapan kebijakan ini tidak akan berhasil jika tidak ada kesadaran dari masyarakat domestik akan penekanan regulasi dalam penggunaan lahan hutan, oleh sebab itu pentingnya kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah untuk mengawasi, mengobservasi, dan mencegah agar mengurangi terjadinya kebakaran hutan di Indonesia.

Upaya penanggulangan dan penegakan hukum pemerintah untuk mengatasi bencana kebakaran hutan.

Upaya penanggulangan dan penegakan hukum pemerintah untuk mengatasi kasus kebakaran hutan di Kalimantan merupakan permasalahan yang harus dibahas secara komprehensif dan menyeluruh. Karena selama ini solusi yang ditawarkan tidak cukup efektif untuk menanggulangi. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan fenomena yang sering terjadi terutama di musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang menimbulkan kabut asap juga menjadi sorotan dunia Internasional. Pada 2015, tercatat lebih dari 2,61 juta -hektar hutan dan lahan gambut di Indonesia terbakar. Kebakaran hutan merupakan penyebab kerusakan hutan yang paling besar, yang mana dalam waktu singkat dapat menghancurkan kawasan yang cukup luas. Kebakaran hutan mengakibatkan kerusakan ekologis, menurunkan nilai estetika, merosotnya nilai ekonomi kehutanan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, menurunnya keanekaragaman hayati dan ekosistem (Maylani & Mashur, 2019). Pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menuntut ganti kerugian dan tindakan tertentu terhadap lingkungan hidup yang diamanatkan Pasal 90 UUPPLH tentang Hak Gugat Pemerintah. Pemerintah pusat menggugat ganti kerugian terhadap PT. Waringin Agro Jaya karena membuka lahan dengan cara membakar yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan dengan menggunakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dan tidak lagi didasarkan pada Pasal 1365 KUHP perdata (Jonaidi & Wibisana, 2021). Dalam penanganan kasus kebakaran hutan di Kalimantan, pemerintah pusat telah mengambil beberapa upaya penanggulangan. Salah satunya adalah kebijakan restorasi gambut di Kalimantan Selatan. Kebijakan ini bertujuan untuk merestorasi kerusakan lahan gambut dan mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan gambut di masa depan. Namun, masih adanya pertentangan masyarakat terhadap implementasi kebijakan restorasi gambut, khususnya terkait pembangunan sekat kanal dan sumur bor yang dianggap merugikan. Dampak kebakaran hutan terhadap sifat fisika dan kimia tanah tergantung dari tipe tanah, kandungan air tanah, intensitas, dan lain-lain. Kebakaran hutan ternyata lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif terhadap sifat-sifat tanah dan terutama terhadap erosi. Kebakaran hutan juga menyebabkan dampak negatif terhadap tanah berupa penurunan kualitas tanah, meliputi sifat fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah, erosi, kapasitas menyimpan air tanah, penghilangan serasah serta humus, seluruhnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon selanjutnya di areal tersebut. Dalam penanganan kasus kebakaran hutan di Kalimantan, pemerintah pusat perlu membentuk lembaga yang bersifat independen yang dilengkapi dengan tanggung jawab hukum yang jelas dan diberikan kewenangan melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum administrasi karena selama ini Kementerian LHK tidak efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator dan terbukti dengan kebakaran yang terjadi setiap tahun. Hakim juga perlu memutuskan perkara harus menerapkan asas kehati-hatian yang dapat berakibat berubahnya pertanggungjawaban perdata dari PMH menjadi strict liability sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 yang kemudian diperkuat dalam Pasal 90 UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 tentang hak gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap perusakan lingkungan hidup. Dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap pelanggar UU PPLH masih mengalami kendala, terutama dalam hal pembuktian dan penuntutan. Pasal 88 UUPPLH mengatur tentang konsep Strict Liability atau tanggung jawab mutlak bagi setiap yang melakukan kerusakan lingkungan tanpa perlu adanya pembuktian terlebih dahulu. Namun, pasca disahkannya UU Cipta Kerja, terdapat perubahan yang menghapus frasa "tanpa perlunya pembuktian", sehingga semakin rapuhnya keadilan ekologis dalam perlindungan terhadap lingkungan hidup perlu adanya evaluasi dan perbaikan dalam implementasi konsep Strict Liability agar dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi lingkungan hidup. Kemudian pada rangka penanggulangan kasus kebakaran hutan di Kalimantan, pemerintah pusat perlu mengambil tindakan yang lebih tegas, efektif dan terukur serta memberikan efek jera untuk menegakkan hukum. Selain itu, pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembukaan lahan dengan cara membakar harus lebih diperketat. Masyarakat juga perlu diberikan edukasi dan pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan dan dampak buruk yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan (Johana Griselda Joy Saputro, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, & Fatma Ulfatun Najicha, 2021). Dari pemaparan diatas dapat ditarik garis besar dalam penanganan kasus kebakaran hutan di Kalimantan menjadi isu yang sangat penting dan memerlukan upaya penegakan hukum dan penanggulangan yang serius dari pemerintah pusat. Pemerintah perlu mengambil tindakan yang lebih tegas, terukur, efektif dan preventif untuk menegakkan hukum dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembukaan lahan dengan cara membakar. Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan edukasi dan pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan dan dampak buruk yang ditimbulkan dari kebakaran hutan supaya kejadian ini tidak berulang setiap tahunnya.

Kesimpulan

Pulau Kalimantan merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sering mengalami kebakaran hutan. Meskipun Pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan penanggulangan dan hukum yang memadai untuk mengantisipasi kebakaran hutan, namun kebakaran hutan masih menjadi masalah yang berulang tiap tahunnya. Kebakaran hutan di Kalimantan tidak hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Asap dari kebakaran hutan dapat menyebar hingga ribuan kilometer dan menyebabkan polusi udara yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, penanggulangan kebakaran hutan di Kalimantan harus menjadi perhatian bersama. Upaya penanggulangan kebakaran hutan di Kalimantan telah dilakukan oleh berbagai pihak. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan masih perlu ditingkatkan. Masih banyak pelaku pembakaran hutan yang tidak ditindak tegas dan hanya diberikan sanksi ringan. Di lain sisi, diperlukan adanya revisi terhadap undang-undang terkait dengan pengelolaan lingkungan agar menimbulkan efek jera. Oleh karena itu, diperlukan upaya penegakan hukum yang tegas, terukur dan preventif untuk mengurangi jumlah kebakaran hutan di Kalimantan. kebakaran hutan di Kalimantan merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan yang serius dari berbagai pihak. Kebakaran hutan menimbulkan banyak problematika kehidupan di kalimantan dan sekitarnya. Tidak hanya dari segi lingkungan namun juga pada sektor ekonomi, kesehatan, transportasi, dan kesuburan tanah hutan di kalimantan. Selain upaya penanggulangan dan penegakan hukum yang lebih baik, diperlukan juga kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan menghindari tindakan yang dapat menyebabkan kebakaran hutan. Dengan kerja sama dan upaya bersama, diharapkan kebakaran hutan di Kalimantan dapat diminimalisir dan kelestarian hutan dapat terjaga.

Daftar Pustaka

Adharsyah, T. (2019, Mei 7). Ibu Kota Pindah ke Kalimantan, Bagaimana Nasib Hutan RI? Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190507144648-4-70994/ibu-kota-pindah-kekalimantan-bagaimana-nasib-hutan-ri

Ariyani, F., & Parameswari, P. (2021). Hasil Implementasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) di Indonesia dalam Penanganan Kebakaran Hutan di Indonesia Periode 2014-2019 . Jurnal FISIP Budiluhur.

Bappeda. (2019). Statistik Kalimantan Tahun 2019 "Analisis Pembangunan Ekonomi Regional Kalimantan Melalui Penguatan Pusat Pertumbuhan Wilayah". Retrieved from bapedda kaltim: https://bappeda.kaltimprov.go.id/storage/file/gbfbuMfN7lS6MsJk.pdf BBC. (2019, September 24). Kebakaran hutan: Sejumlah perusahaan di balik karhutla 2015- 2018 lolos dari sanksi serius. Retrieved from BBC Indonesia : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49806272

BNPB. (2019, Maret 4). 99% Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Adalah Ulah Manusia. Retrieved from Badan Nasional Penanggulangan Bencana : https://bnpb.go.id/berita/99- penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan-adalah-ulah-manusia

H, H., & H, S. (2011). Tropical forest susceptibility to and risk of fire under. Forest Policy and Economics , 227-233.

Johana Griselda Joy Saputro, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, & Fatma Ulfatun Najicha. (2021). Analisa Upaya Penegakan Hukum dan Pengawasan Mengenai Kebakaran Hutan di Kalimantan Barat. Jurnal Manajemen Bencana.

Jonaidi, & Wibisana. (2021). Konsep Gugatan Pemerintah Atas Pencemaran Lingkungan: Komparasi Antara Indonesia dan Amerika Serikat. Arena Hukum. doi:doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01402.4

Kartodiharjo, H. (2015). Masukan untuk Perpu Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan. Dokumen AMAN .

Kemenhan. (2014). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR. Retrieved from Kemenhan.go.id: https://www.kemhan.go.id/ppid/wp-content/uploads/sites/2/2016/11/UU-37-Tahun2014.pdf

Kemenkes RI. (2019, September 20). DINKES KALBAR SIAGAKAN 21,6 RIBU LEBIH TENAGA KESEHATAN. Retrieved from https://www.kemkes.go.id/article/print/19092000005/dinkes-kalbar-siagakan-21-6-ribulebih-tenaga-kesehatan.html

KLHK. (2020, April 23). Hutan Dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019. Retrieved from menlh.go.id: http://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5398/hutan-dan-deforestasiindonesia-tahun-2019

Litha, Y. (2020, 10 25). Greenpeace: 4,4 Juta Hektar Lahan Terbakar dalam Karhutla 2015- 2019. Retrieved from VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/greenpeace-4-4- juta-hektar-lahan-terbakar-dalam-karhutla-2015-2019-/5634750.html

Maylani, T., & Mashur, D. (2019). Collaborative Governance dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Gambut. Jurnal Kebijakan Publik. Sahat M, P., & Friyanto, S. (2008). Memahami penyebab kebakaran hutan dan lahan serta upaya penanggulangannya: kasus di Provinsi Kalimantan Barat. None, 44013.

Septianingrum, R. S. (2018). Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia Tahun 2015 dalam Kehidupan Masyarakat . Jurnal Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada.

Theola, E. D. (2018). Peran Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Dalam Menghadapi Kabut Asap Lintas Batas Di Asia Tenggara. Universitas Kristen Indonesia Intitutional Repository.

Walhi. (2008). Menjadi Environmentalis itu Gampang: Sebuah Panduan bagi Pemula. Jakarta Selatan

0 Comments

Leave a comment