Dilematika Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa
"Ini adalah saat
ketika fajar menyingsing dan tirai terbuka dalam drama nasional kita. Dan kita
akan menggunakan kekuatan ini untuk kembali meraih kedaulatan dan menunaikan
aspirasi para pemilih.”
-Perdana Menteri Inggris, Boris
Johnson-
Pendahuluan
Keluarnya
Britania Raya dari Uni Eropa bukanlah sebuah berita yang baru terdengar di
masyarakat dunia. Britania Raya adalah sebuah negara kesatuan yang diatur
dibawah monarki konstitusional dan sistem parlementer dengan ibu kotanya berada
di London (Wiradhatama Dkk, 2017). Anggota dari Britania Raya, yaitu Inggris,
Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales. Masing-masing negara memiliki kekuasaan
dan pemerintahannya sendiri-sendiri serta ibu kota yang terletak di negara
masing-masing. Ketika berita Britania Raya terdengar untuk keluar dari Uni
Eropa, istilah Brexit beredar
dimana-mana. Brexit adalah singkatan
dari Britain Exit, istilah yang
diperkenalkan oleh Peter Wilding untuk menggambarkan kemungkinan penarikan diri
Britania Raya dari Uni Eropa pada tahun 2012 (Hartanto, 2016). Sementara itu,
Uni Eropa adalah sebuah persatuan dalam bidang ekonomi dan politik di antara 28
negara di kawasan Eropa. Uni Eropa sendiri telah berdiri setelah terjadinya
Perang Dunia Kedua dan dibentuk berdasarkan hukum aturan yang tercantum dalam
perjanjian yang disetujui oleh negara anggota secara sukarela dan demokratis
(Bima, 2017).
Ketika terjadinya Brexit, pemberitaan banyak yang tertuju
pada Inggris, bukan kepada negara lainnya dalam Britania Raya seperti negara
Skotlandia, Irlandia Utara, dan Wales. Hal ini terjadi dikarenakan sebelum
bergabungnya Inggris ke dalam Uni Eropa, mengalami sejarah yang panjang dan
cukup rumit. Berawal dari runtuhnya imperium dan hilangnya kekuasaan Inggris di
dunia Internasional sejak 1939-1945 menyadarkan Inggris harus lebih
memperhatikan masalah-masalah dalam negerinya dan segera menyelesaikannya
(Kultsum, 2018). Sebelum bergabungnya Inggris ke Uni Eropa, Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE) menjadi pelabuhan pertama Inggris untuk membantu perekonomian
negaranya, hal tersebut dikarenakan kemajuan organisasi MEE dengan
memberlakukan bebas pajak antar negara anggota (Wallace, 2012). Selanjutnya,
setelah mengalami penolakan dan mendapatkan dua kali veto dari Prancis,
akhirnya Inggris berhasil bergabung ke dalam MEE pada tahun 1961. Perjalanan
Inggris di masyarakat Eropa tidak hanya berhenti melalui MEE, Inggris
selanjutnya memutuskan untuk bergabung ke Uni Eropa. Sama halnya dengan
permasalahan sebelumnya, bahwa masuknya Inggris ke masyarakat Eropa khususnya
Uni Eropa tidaklah mudah. Permasalahan pertama diakibatkan karena Inggris dan
Uni Eropa memiliki orientasi kebijakan yang berbeda. Uni Eropa dengan kebijakan
pertaniannya, sementara Inggris mengimpor hasil pertanian. Selain itu,
permasalahan selanjutnya mengenai hubungan Inggris dengan Amerika Serikat yang
disebut Anglo Amerika tentunya menjadi masalah. Walaupun demikian, Inggris
berhasil melewati semua permasalahan dan berhasil bergabung menjadi anggota Uni
Eropa dalam “Accession of Britain in the European Community” yang
ditandatangani pada 22 Januari 1972 dan tahun 1973 Inggris diputuskan bergabung
(Harmsen & Spiering, 2004).
Latar belakang sejarah yang rumit
dan memiliki berbagai permasalahan mengakibatkan Inggris menjadi sorotan ketika
pertama kalinya Brexit terdengar di
masyarakat dunia. Meskipun demikian, anggota lainnya seperti Skotlandia,
Irlandia Utara, dan Wales turut andil dalam keluarnya Inggris di Uni Eropa.
Adanya perbedaan pandangan diantara keempat negara juga semakin mengakibatkan
dilema yang terjadi di Britania Raya. Referendum Brexit yang terjadi pada tahun 2016 bukanlah hal yang asing
terdengar oleh masyarakat Britania Raya, pasalnya Britania Raya pernah
melaksanakan sebuah referendum untuk menentukan keanggotaannya di Komunitas
Eropa pada tanggal 5 Juli 1975 (Walsh,
2016). Akan tetapi, setelah David Cameron melakukan kampanye pada tahun 2013,
isu untuk melaksanakan referendum kembali disuarakan. Cameron berjanji jika
partai Konservatif memenangkan pemilihan umum pada tahun 2015, maka akan
diadakan referendum untuk menentukan bertahan atau tidaknya Britania Raya di
Uni Eropa (Munzilin, 2017). Akhirnya, pada tahun 2016, referendum Brexit dilaksanakan dan menghasilkan
keputusan yang berbeda-beda di antara keempat negara.
Setelah referendum tersebut berakhir, semua keputusan dan dilema berlanjut sampai pada akhirnya Britania Raya resmi untuk keluar dari Uni Eropa pada tahun 2020 dan selanjutnya mengalami masa transisi period. Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa menjadi suatu isu yang menarik dibahas karena dengan adanya Brexit, tidak hanya menyangkut urusan Inggris, tetapi juga urusan dari negara lainnya dalam Britania Raya. Perbedaan pandangan dari masing-masing negara baik dari Inggris, Skotlandia, Irlandia Utara, serta Wales semakin menghangatkan problematika keluarnya Britania Raya dalam Uni Eropa. Melalui artikel ini, semuanya akan diulas mengenai keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa.
Asal Mula Munculnya Brexit
di Daratan Britania Raya
Referendum untuk menentukan sebuah
keanggotaan bukan hal yang baru bagi masyarakat Britania Raya. Pada tahun 1975,
Britania Raya pernah melakukan referendum untuk menentukan keanggotaannya di
Komunitas Eropa. Akan tetapi, saat referendum tahun 1975, hasilnya menyatakan
sekitar 67,2% (40.456.877) dari warga Britania Raya memilih untuk bertahan di
Uni Eropa dan sisanya sebesar 32,8% (8.470.073 jiwa) memilih Britania Raya
keluar dari Komunitas Eropa. Suara sah 25.848.654 sedangkan suara tidak sah
sebanyak 54.540, total suaranya 25.903.194 (Startin, 2016). Hasil tersebut menandakan bahwa Britania Raya
masih memilih untuk tetap menjadi anggota Komunitas Eropa. Meskipun demikian,
dengan adanya referendum ini, banyak pihak yang memprediksikan bahwa akan
terjadi lagi referendum yang sama pada tahun-tahun berikutnya. Narasi tersebut
semakin bisa dibuktikan dengan adanya pernyataan Margaret Thatcher yang
menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri Inggris tahun 1979. Sebagai tokoh
yang berasal dari Partai Konservatif, Thatcher mempunyai pemikiran tentang Eurosceptic yang mendalam sehingga ia
memiliki pemikiran bahwa Britania Raya tidak sepantasnya untuk tunduk dalam
sebuah aturan dari Uni Eropa, karena Britania Raya sejak dulu merupakan sebuah
negara yang bangga dengan menunjukkan secara nyata rasa etnosentrismenya
(Gallagher, 1996).
Setelah sekian lama isu referendum tidak terdengar di daratan Britania Raya, akhirnya pada kontestasi politik pemilihan umum untuk memilih Perdana Menter. David Cameron selaku calon Perdana Menteri kala itu membawa isu referendum keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa melalui kampanye pada bulan Januari 2013. Melalui kampanyenya, David Cameron selaku perwakilan dari partai Konservatif berjanji bahwa jika ia memenangkan pemilihan umum tahun 2015, maka referendum untuk menentukan keanggotaan sebagai anggota Uni Eropa akan dilaksanakan. Bahkan, sebelum adanya kampanye yang dilakukan oleh David Cameron pada tahun 2013, ternyata istilah Brexit telah ada dan diperkenalkan oleh Peter Wilding pada tahun 2012. Brexit yang berarti Britain Exit telah dikenal sebelum David Cameron menggagasnya dikarenakan isu untuk keluar dari Uni Eropa sudah menjadi hal yang biasa terdengar di daratan Inggris (Hartanto, 2012). Selain itu, pada saat yang bersamaan, David Cameron juga merupakan perwakilan dari Partai Konservatif, partai yang memiliki latar belakang sejarah pemikiran Eurosceptic semakin menggambarkan kemungkinan Brexit bukan hanya sebuah utopis belaka.
Referendum Brexit serta
Dilematika Perpecahan Britania Raya
Di internal Britania Raya sendiri,
referendum ini menghasilkan polemik baru di antara keempat negara, yaitu
Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara. Keempat negara yang tergabung
dalam wilayah Britania Raya memiliki suara berbeda dalam menyikapi Brexit ini, hal ini bisa dilihat dari
persentase voting di antara warga
mereka. Dilihat dari statistik ini, warga Inggris dan Wales sepakat untuk
keluar dari European Union dengan
persentase vote sebesar 53,4%
dan 52,5% setuju untuk keluar dari EU sementara Skotlandia dan Irlandia Utara
lebih memilih untuk tetap menjadi bagian EU dengan persentase sebesar 62% dan 55,8% warganya memilih hak untuk
tetap menjadi bagian dari European Union.
Tentunya hal ini menimbulkan polemik baru mengenai bagaimana nasib Skotlandia
dan Irlandia Utara kedepannya. Dari sudut pandang politik, kedua negara ini
mengambil pendekatan yang berbeda terkait dengan munculnya polemik ini. Pada
2017, Irlandia Utara melakukan pendekatan berupa kongres internal di lembaga
eksekutif mereka yang menghasilkan bahwa mereka tetap keluar dari keanggotaan European Union dan pembagian kekuasaan,
yaitu antara pihak PM Arlene Foster dan Sinn Fein McGuiness. Keduanya merupakan
pihak oposisi terkait dengan wacana Brexit
sebelumnya. Namun, setelah kongres penentuan Irlandia Utara ini
dilangsungkan keduanya melunak dan mereka mendapat wewenang berbeda. Foster
berfokus pada hubungan dengan United
Kingdom sementara pihak McGuiness berfokus pada hubungan dengan Republik
Irlandia.
Sementara
Skotlandia sendiri melakukan pendekatan yang lebih ekstrim. Pada Maret 2017 PM
Sturgeon mengajukan referendum untuk Skotlandia agar merdeka dari United Kingdom. Namun, referendum tersebut ditolak di parlemen dengan rincian
suara, yaitu kalah pada 21 kursi dari 56 kursi voters. Sebagai gantinya, pihak Skotlandia sepakat untuk melakukan Soft Brexit dalam menyikapi isu ini,
yaitu membujuk UK untuk tetap berada di Pasar dan wilayah pabean yang sama dengan
European Union.
Di tahun 2020 sendiri, sudah terjadi perkembangan signifikan terkait dengan isu kedua negara tersebut. Kedua negara dipastikan keluar dari EU dengan berbagai penyesuaian kebijakan. Mengacu pada Perjanjian Belfast/Good Friday, UK akan mendapat penyesuaian berupa penghapusan aturan perbatasan dengan Republik Irlandia, selain itu mereka juga secara resmi akan keluar dari kawasan Pasar Bebas Eropa dan Wilayah Kepabeanan Eropa.
Faktor
Penyebab Brexit dan Dampak Potensial
Pasca Brexit
Ada beberapa isu yang mendorong UK
mengapa mereka melakukan referendum untuk keluar dari EU. Isu-isu Eurosceptic dan faktor ini datang dari
berbagai sektor, seperti keuangan, politik, pengungsi, keamanan dan sebagainya.
Dari isu moneter, UK menganggap bahwa adanya potensi krisis dan krisis yang pernah dialami oleh sejumlah
negara anggota EU seperti Yunani, Portugal, dan beberapa negara yang pernah
mengalami krisis menimbulkan beban kerugian yang besar bagi UK. Mereka harus
membayar iuran kepada Bank Sentral Eropa untuk kemudian disalurkan kepada
negara-negara terdampak krisis. UK melihat hal ini sebagai salah satu kerugian.
Selain itu, UK juga melihat adanya ketidaksamaan visi lagi antara EU dan mereka
di sektor lain, seperti isu pengungsi, perdagangan, imigrasi, dan lainnya.
Keluarnya UK dari EU sudah pasti
akan menghasilkan dampak, baik itu dampak instan maupun dampak jangka panjang.
Untuk dampak instannya adalah pada tahun 2018, The Guardian melaporkan bahwa UK mengalami inflasi GDP sebesar 2.1%
dari total GDP sebagai dampak dari diumumkannya Brexit. Sementara
dari penelitian Financial Times
ditemukan bahwa UK mengalami kerugian pendapatan sekitar 0,6-1,3% pendapatan
nasional. Sementara di sektor investasi menurut laporan BBC News disebutkan bahwa EU sedikit mengurangi investasi mereka di UK
(Hossein, 2019, 5).
Sementara dampak jangka panjang dari
keluarnya UK dari EU adalah berkurangnya pendapatan GDP UK secara berkala. Pada
tahun 2020 sendiri, UK sudah tidak lagi bisa tergabung ke dalam Bank Investasi
Eropa dan bisa menarik modal awal mereka hanya 16% dari modal awal (Hossein,
2019, 6). Selain di sektor perekonomian, sektor lain seperti perdagangan,
liberalisasi dan aturan, kebijakan industri, seperti sektor ketenagakerjaan,
izin tinggal dan pariwisata juga terdampak. Pada 2021 ini, orang dengan
kewarganegaraan United Kingdom membutuhkan
visa jika mereka ingin mengunjungi atau menetap di kawasan Uni Eropa selama
periode 90-180 hari. Asuransi kesehatan akan dialihkan ke operator lain. Di sektor
perdagangan karena UK tidak lagi bagian dari Uni Eropa, mereka berhak untuk
membentuk kebijakan perdagangan sendiri dan bisa bernegosiasi dengan negara
manapun tanpa adanya hambatan. Pada 2020 sendiri, UK sudah memulai pembicaraan
kemitraan dagang dengan AS, Selandia Baru, dan Australia. Selain hubungan
kemitraan juga ada beberapa perjanjian berupa penetapan kuota komoditas,
pengetatan cukai, dan pengetatan produk ternak. Di sektor keuangan dan seperti
perbankan, arsitektur dan akuntansi akan mendapat pembatasan dan tidak lagi
bebas masuk pasar Uni Eropa. Pekerja di beberapa bidang terkait juga tidak lagi
mendapat kualifikasi profesional secara langsung apabila masuk pasar Uni Eropa.
Di Sektor Maritim, Selama 5,5 tahun ke depan UK akan mendapat komoditas ikan
yang lebih banyak. Pemerintah Britania Raya juga berhak melarang aktivitas
maritim Uni Eropa pada tahun 2026 dan Uni Eropa berhak untuk menetapkan pajak
tinggi ke produk ikan milik Britania. Untuk Sektor Yurisdiksi, UK tidak lagi
menjadi bagian dari Mahkamah Agung Eropa, hal ini menyebabkan apabila terjadi
sengketa, maka akan diselesaikan di lembaga peradilan independen. Sementara di sektor
pendidikan, UK tidak lagi bisa berpartisipasi ke dalam program pertukaran
pelajar Erasmus. Irlandia Utara mendapat pengecualian karena pada sektor
pendidikan ini berada pada naungan Republik Irlandia (Edgington & BBC News,
2020).
Kesimpulan
Dilematika keluarnya Britania Raya
dari Uni Eropa akan selalu menjadi perbincangan yang menarik. Walaupun isu ini
telah lama berlangsung, tetapi dengan keluarnya Britania Raya di Uni Eropa akan
selalu mengundang isu-isu baru yang tidak terprediksi. Referendum keanggotaan
Britania Raya di Uni Eropa bukanlah hal yang baru terdengar karena hal ini
pernah terjadi di tahun 1975. Sehingga dengan adanya isu Brexit muncul kembali, maka tidak terlalu mengagetkan warga
Britania Raya. Dengan keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa mengakibatkan
hubungan antar negara di Britania Raya akan semakin renggang. Hal ini
dikarenakan karena pada saat referendum Brexit,
negara-negara di Britania Raya terbelah menjadi dua blok, yaitu blok yang
masyarakatnya menyetujui untuk keluar dari Uni Eropa melalui hasil referendum Brexit, seperti negara Inggris dan Wales.
Ada juga negara yang memilih bertahan dari Uni Eropa melalui hasil referendum Brexit, yaitu Skotlandia dan Irlandia
Utara. Tentu saja hal ini akan menimbulkan ketegangan baru dari internal
Britania Raya, walaupun ada negara yang memilih tetap bertahan di Uni Eropa
tetapi keputusan Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa telah sah terjadi.
Ada berbagai faktor yang sebenarnya menyebabkan Britania Raya bersikeras untuk
keluar dari Uni Eropa, mulai dari faktor ekonomi, kebijakan pemerintahan,
orientasi dalam perdagangan, serta hal lainnya yang bersifat politis. Dengan
keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa juga tentu memberikan dampak positif dan
dampak negatif, tetapi hal ini baru terjadi dan akan terus mengalami
perkembangan, apakah nantinya keputusan Britania Raya keluar dari Uni Eropa
adalah keputusan yang benar atau salah ? Mari kita tunggu proses yang berjalan
dan menanti hal-hal yang tak terduga lainnya.
Oleh : ACADEMIA KOMAHI UNSOED
Daftar Pustaka
Edgington,
T., & BBC News. (2020). Brexit: What
are the key points of the deal? bbc.com. https://www.bbc.com/news/explainers-55180293
European Parliament. (2020). Northern Ireland after Brexit.
europa.eu. https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2020/649416/EPRS_BRI(2020)649416_EN.pdf
Gallagher. (1996). Referendum Experience. MACMILLAN PRESS
LTD.
Harmsen
& Spiering. (2004). Euroscepticism :
Party Politics, National Identity, and European Integration. Rodopi B.V.
Hartanto.
(2016). Referendum Brexit dan Kembali Mengemukanya Kedaulatan Negara serta
Dampaknya Bagi Dunia dan Indonesia. Jurnal
Populis, 1(1), 51–62.
Hossein, M. S. (2019, October).
Brexit: What Next? A Critical Analysis. Journal
of the International Academy for Case Studies, 25(3), 5, 6. https://www.abacademies.org/articles/brexit-what-next-a-critical-analysis-8550.html
Kultsum,
F. F. (2018). Dinamika Inggris dan Uni Eropa : Integrasi Hingga Brexit. Factum, 7(2), 163–174.
Munzilin,
K. (2017). Brexit : Eurosceptic Victory In British Referendum In Term Of
Britain Membership Of European Union. Sosial
Politik Humaniora, 5(1), 1–21.
Nanda,
B. J. (2017). BREXIT : Pelajaran bagi ASEAN. Jurnal Hubungan Internasional, 6(4), 47–55.
Scottish Centre on European
Relations. (2018, April). Brexit,
Scotland and Northern Ireland Comparing Political Dynamics and Prospects in the
Two ‘Remain’ Areas (No. 6). Queen’s University, Belfast.
Startin. (2016). The EU, Euroscepticism and Brexit. 1061.
Wallace,
H. (2012). The UK : 40 Years of EU Membership. Journal of Contemporary European Research, 8(532–546).
Walsh,
J. (2016). Britain’s 1975 Europe
Referendum : How Will Northern Ireland unionist and nationalist vote on june
23?
Wiradhatama
Dkk. (2017). Implikasi Yuridis Brexit Terhadap Posisi London Sebagai Global
Financial Centre Berdasarkan Prinsip Free Movement Of Capitals Dalam Treaty Of
Lisbon 2007. Diponegoro Law Journal,
6(2), 1–18.
4 Comments