British Exit Dan Berkembangnya Perspektif Realisme

British Exit merupakan sebuah kebijakan Inggris untuk melaksanakan referendum. Kebijakan tersebut dilakukan Inggris agar rakyatnya dapat memutuskan, apakah Inggris harus keluar dari Uni Eropa atau tetap bergabung sebagai negara anggota Uni Eropa. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016 secara serentak di empat wilayah negara anggota Britania Raya, yakni Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara. Pelaksanaan referendum dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Pada masa kampanye yang dilakukannya sebelum memenangkan PEMILU di tahun 2010, David Cameron memang kerap mengangkat isu terkait dengan penyelenggaran referendum Inggris tersebut. Kebijakan referendum ini dipercaya sebagai sebuah kebijakan yang sesuai dengan prinsip demokrasi. Dalam artian, rakyat Inggris yang menjadi pemegang penuh hak politik di negara tersebut. Pasalnya, prinsip tersebut kemudian menjadikan isu mengenai referendum Inggris, sebagai sebuah perdebatan bagi beberapa pihak.
Masyarakat di Inggris, terutama mereka yang euroseptic sepakat bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa, akan memberi keuntungan yang lebih besar bagi Inggris. Hal tersebut tentu menimbulkan kontroversi, terkhususnya pada Uni Eropa. Dikarenakan, pandangan tersebut dianggap akan membawa banyak konflik serta menimbulkan ketidakpastian dan perubahan dalam struktur politik, komunitas bisnis, serta pasar modal. Situasi tersebut tidak hanya memunculkan banyak pertanyaan bagi Inggris, melainkan juga bagi Uni Eropa secara keseluruhan. Berbagai proyek serta program-program yang telah direncanakan oleh Uni Eropa, dapat dikatakan berada dalam posisi yang terancam. Mengapa? Kebijakan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa bukan hanya berdampak bagi hubungan bilateral kedua pihak, namun juga mempengaruhi negara-negara lain dalam skala internasional. Terlebih, mengingat bahwa Inggris adalah salah satu negara yang terbilang maju dalam lingkup global, sehingga Inggris juga memiliki peran yang cukup signifikan dalam tatanan sistem politik serta ekonomi internasional.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah, faktor apa yang sebetulnya membuat rakyat Inggris menyetujui hal tersebut? Dapat dikatakan, keputusan mayoritas rakyat Inggris yang setuju terhadap keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dilandaskan oleh kepercayaan bahwa Uni Eropa telah melanggar kedaulatan Inggris. Mulai dari kebijakan luar negeri, keamanan, serta isu-isu internal seperti penentuan standar upah pekerja-pekerja industri, kemudian terkait dengan kebijakan Perikanan dan Kelautan Inggris, yang mana seharusnya menjadi kewenangan penuh pemerintah domestik dalam rangka mempertahankan, serta menjalankan kedaulatan negaranya. Berkaca dari hal tersebut, Uni Eropa telah dianggap melakukan terlalu banyak intervensi dalam kebijakan pemerintah Inggris.
Dalam merumuskan kebijakan keputusan, sistem yang digunakan oleh Uni Eropa diambil melalui voting suara negara-negara anggota. Oleh karenanya, Inggris tidak mampu berdiri sendiri untuk menentang kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh organisasi supranasional tersebut. Inggris tidak mampu melawan mayoritas negara anggota lain yang setuju dengan kebijakan yang sudah ditetapkan. Salah satu contoh kebijakan yang kemudian menjadi pertimbangan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa ialah, “Open Door Immigration Policy” yang mengharuskan Inggris untuk membuka keamanan perbatasannya kepada para imigran serta pengungsi, agar dapat dengan bebas masuk serta menetap di Inggris. Walau kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh alasan kemanusiaan, dan kepentingan bersama negara-negara Eropa, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan tersebut membuat Inggris kehilangan otoritas mereka terhadap perbatasannya, Sehingga, kemungkinan akan terjadinya peningkatan arus imigran yang signifikan memasuki wilayah negara tersebut selama beberapa dekade terakhir, juga tidak dapat dipungkiri. Hal ini tentu akan menyebabkan konsekuensi ekonomi tertentu.
Dapat dikatakan bahwa saat ini, dunia seakan kembali pada era 1930-1940an. Dimana pemikiran, pandangan, pemahaman dan tendensi realisme kembali kuat. Fenomena Brexit menjadi salah satu pembuktian akan fenomena realis di era kontemporer, yang di dominasi oleh kaum liberalis. Dalam studi hubungan internasional, kepentingan nasional sebuah negara merupakan elemen yang terbentuk dari kebutuhan-kebutuhan mendasar negara tersebut, baik untuk meningkatkan perekonomian, keamanan, kesehatan, atau pendidikan yang layak bagi warga negaranya. Bagi kaum realis, fenomena Brexit bukanlah hal yang mengejutkan. Perspektif realisme sendiri menyatakan bahwa tidak ada aktor atau intitusi yang kedudukannya melebihi negara. Menurut kaum realis, kepentingan nasional dapat disamakan dengan upaya negara untuk mengejar power. Dalam artian, pada hal ini kekuasaan dianggap sebagai segala sesuatu yang dapat mengembangkan atau mengontrol suatu negara terhadap negara lain untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.
Untuk memahami Brexit sebagai manifestasi dari realisme, kita perlu terlebih dahulu paham tentang keadaan yang membuat setiap kejadian tersebut dianggap memiliki kaitan dengan pemikiran realisme. Fakta bahwa Inggris lebih suka mengejar kepentingan nasional dibandingkan kepentingan Uni Eropa, serta keinginan Inggris untuk mempertahankan poisisi hegemoni negaranya di dunia, tentu saja hal tersebut secara konkrit menggambarkan pemikiran realis. Dalam konteks ini, Inggris merasa dirugikan dan merasa terkekang dengan beberapa kebijakan atau regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh Uni Eropa. Salah satu prinsip dari Uni Eropa ialah pergerakan bebas setiap warga negaranya. Mengenai kebijakan Uni Eropa terkait dengan imigrasi, dimana Inggris harus membebaskan dan memudahkan warga Eropa untuk keluar-masuk negaranya, tidak sejalan dengan Inggris. Bahkan Inggris menyalahkan para imigran atas isu pengangguran, upah yang rendah, rusaknya sistem pendidikan dan kesehatan, hingga masalah kemacetan lalu lintas. Maka, terlihat bahwa fenomena Brexit memberi dampak dan perubahan yang cukup signifikan, bukan hanya dalam skala regional melainkan skala global. Pada skala regional, tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan Inggris merugikan Uni Eropa dan menghambat rencana-rencana yang sudah dicanangkan oleh Uni Eropa. Tetapi dalam skala global, konsekuensi yang ada terlihat lebih kompleks. Fenomena ini menghadirkan kembali pemikiran realisme di dalam dunia yang liberal. Terjadinya british exit, seakan menunjukkan ke dunia betapa rapuhnya institusi dalam sebuah sistem internasional.
Mengapa begitu? Nasionalisme dan kepentingan akan menjadi otonomi yang lebih berpengaruh dibandingkan sistem affairs. Asumsi dasar pemikiran realis, terkait dengan sistem internasional ialah sistem yang bersifat anarki. Hal tersebut kian dipertegas dengan adanya fenomena Brexit. Kemungkinan terjalinnya mekanisme kerjasama yang benar-benar bersifat saling menguntungkan, akan sangat kecil. Mengingat masing-masing aktor memiliki kepentingan tersendiri, serta semua aktor yang berusaha dengan seluruh potensi serta kemampuan yang dimiliki untuk dapat memenuhi kepentingan tersebut. Sehingga dapat dikatakan, kecil kemungkinan terciptanya jalinan kerjasama yang kondusif. Konsep terkait self-determination dan self-help kemudian menjadi elemen penting dalam hal ini. Para pemikir liberal/neo-liberal yang menganggap bahwa institusi dapat menjalin kerjasama antar negara melalui common sense yang berupa shared commitments, norms, dan values, tentu menjadi kontradiktif dengan implementasi yang terjadi. Brexit seakan-akan menjadi kritik tidak langsung bagi para kaum liberal/neo-liberalis. Kaum realis jelas menyanggah hal tersebut, karena kaum realis memandang bahwa institusi tidak bisa benar-benar memberi pengaruh atau memaksa aktor-aktor negara untuk patuh terhadap peraturan yang ada pada sistem internasional. Apalagi ketika institusi tersebut bermaksud untuk membuat aktor negara bertindak atau berkehendak diluar kepentingan mereka, maka disinilah self-determination kembali menjadi poin yang penting. Hal ini dikarenakan negara sanggup melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka, sehingga intitusi global tidak mampu memberi jaminan akan kooperasi atau stabilitas. Fenomena Brexit menunjukkan bahwa institusi tidak memiliki kekuatan koersif yang nyata. Diperkuat dengan betapa mudahnya Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, maka dominasi pemikiran liberal yang selama ini menguasai sistem internasional pun menjadi dipertanyakan disini.
Maka dapat dikatakan bahwa Brexit memang menjadi bukti implementasi kekuatan realis. Dalam artian, kekuatan seperti nasionalisme dan keinginan untuk otonomi yang sebelumnya sudah saya paparkan. Dinamika yang terjadi mengarahkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa saat ini, dominasi pemikiran liberal perlu dipertanyakan. Sedangkan disisi lain, pemikiran realis yang sebetulnya sudah dianggap tidak relevan, justru kembali hadir dan mendominasi. Apakah substansi pemikir liberalis saat ini dapat dikatakan masih sama? Ataukah sudah mulai bergeser? Apa yang terjadi dengan Inggris, serta fenomena Brexit yang ada, seakan-akan hadir dan menyangkal pemikiran liberalis akan dunia yang ter-interdepensi dan saling terhubung melalui institusi. Fenomena ini kembali menunjukkan bahwa sebuah sistem internasional yang ada, bersifat anarki dan kecil kemungkinan bagi dunia untuk membentuk sebuah sistem internasional yang mampu betul-betul menjamin keberlangsungan dari sebuah kooperasi dan stabilitas. Hal tersebut tidak lepas kaitannya dari Inggris, selaku aktor internasional yang berperilaku inward, nasionalis, dan ego-sentris. Dimana berarti, semua interaksi, segala kebijakan serta keputusan yang dibuat, berdasarkan faktor kepentingan.
Brexit menjadi contoh nyata dari hal tersebut, dimana Inggris memutuskan untuk keluar dari keanggotan Uni Eropa karena Inggris yang merasa negaranya akan semakin dirugikan apabila terus berada di Uni Eropa. Apa yang dilakukan oleh Inggris tersebut secara jelas menunjukkan pemikiran rasional yang penuh pertimbangan akan untung dan rugi. Yang mana, pemikiran tersebut pun termasuk cerminan dari teori turnan formal realisme, yakni rational choice theory. Lebih lanjut, apa yang terjadi pada Inggris dengan fenomena Brexit-nya, berpotensi untuk menciptakan disintegrasi pada Eropa dan menjadi peringatan awal bagi para liberalis yang bisa saja, nantinya memunculkan sense of distrust masyarakat dunia, terhadap institusi internasional.
Oleh : Gabriella Anindyacitta ( Universitas AMIKOM Yogyakarta )
REFERENSI
Hans. K. Morgenthau, 1952., “Another ‘Great Debate’: The National Interest of The United States”., The American Political Science Review
Hunt Jo, Rachel Minto., 2017., “Between Intergovernmental Relations and Paradiplomacy: Wales and the Brexit of the Regions”., The British Journal of Politics and International Relations, Vol. 19 issue : 4
Hophin Jonathan., 2017., “When Polanyi met Farage: Market fundamentalism, economic nationalism and Britain’s exit from the European Union”., The British Journal of Politics and International Relations, Vol.19
Louis Fawcett and Andrew Hurrel, 1995., Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order., Oxford: Oxford University Press, Hal. 4
Odey Joseph Ogbinyi Jr., Obinna Emmanuel Okereke, 2020. “Political Realism in International Relations: Brexit and Its Implications for Nigeria”. Open Journal of Sciences.
Robert Jackson and George Sorensen, 1999. Introduction to International Relations. Denmark: Oxford University Press.
Thompson Helen., 2017., “Inevitability and contingency: The Political Economy of Brexit.”, The British Journal of Politics and International Relations., Vol.19 issue : 3
Troitino, David R. et. Al. 2018. Brexit: History, Reasoning, and Perspectives. Cham: Springer International Publishing
Wincott Daniel, John Peterson and Alan Convery., 2017., “Introduction: Studying Brexit’s causes and consequences”., The British Journal of Politics and International Relations Vol.19 (3)
0 Comments