loading...

Analisis Rising Power Negara Tiongkok melalui Perspektif Realisme dan Keterlibatan ASEAN dalam Menangani Konflik Myanmar melalui Perspektif Liberal Institusionalis

Btari Yasmin Auliya, Risa Mutia Limba, Mutya Laura Istiqomah, Rafly Haidar Yusnandi, Chusnul Amelia Wardani, Annisa Chandra M.R, Shofia Nur Khasanah

Students of International Relations, University of Lampung


Abstract

This article discusses two case studies using different perspectives, namely the Rising Power of the State of China through the Realism Perspective and ASEAN's Involvement in Handling the Myanmar Conflict through the Institutionalist Liberal Perspective. The case of China's Rising Power is considered to threaten the stability of the international structure, especially the United States and countries in the Asia Pacific Region, therefore this paper aims to analyze the case through a realism perspective with the concept of balance of power in an effort to balance China's power in the region. Asia Pacific cooperatively. Then, the discrimination experienced by the Rohingya Ethnic in Myanmar has claimed many lives due to repeated physical violence. Therefore, this paper aims to analyze the case through an institutionalist liberal perspective with ASEAN acting as an arbitrator institution to resolve collective interests in international stability.

Abstrak

Artikel ini membahas dua studi kasus dengan menggunakan perspektif yang berbeda, yaitu Rising Power Negara Tiongkok melalui Perspektif Realisme dan Keterlibatan ASEAN dalam Menangani Konflik Myanmar melalui Perspektif Liberal Institusionalis. Kasus Rising Power Negara Tiongkok dinilai dapat mengancam stabilitas struktur internasional terutama Amerika Serikat dan negara-negara yang berada di Kawasan Asia Pasifik, oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kasus tersebut melalui perspektif realisme dengan konsep balance of power dalam upaya menyeimbangkan kekuatan Tiongkok di Kawasan Asia Pasifik secara kooperatif. Kemudian, diskriminasi yang dialami oleh Etnis Rohingya di Myanmar telah menelan banyak korban jiwa karena terjadinya kekerasan fisik yang berulang. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kasus tersebut melalui perspektif liberal institusionalis dengan ASEAN yang berperan sebagai lembaga arbiter demi menyelesaikan kepentingan kolektif dalam stabilitas internasional.

Keywords: realisme, liberal institusionalis, china, etnis rohingya, balance of power, responsibility to protect


1.      Latar Belakang

Keamanan merupakan suatu hal yang kompleks dan tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang. Keamanan memiliki definisi yang berbeda seiring dengan perubahan waktu dan tempat dalam sejarah manusia (Rothschild 1995). Pemahaman terkenal dari Ken Booth, menyatakan bahwa keamanan dapat dipahami sebagai survival plus, yaitu adanya kebebasan dalam menjalankan pilihan hidup tanpa adanya ancaman (Ken Booth 2007). Dalam pemahaman relasional, keamanan merupakan hasil dari kepercayaan suatu hubungan antar aktor. Hubungan masing-masing aktor dapat mempengaruhi tujuan keamanan yang ingin dicapai. Isu-isu keamanan harus bertumpu pada komitmen, agar konflik dan ancaman dapat ditekan sehingga hubungan yang baik antar aktor akan terjadi. Unit analisis atau aktor yang berperan dalam keamanan tergantung dari perspektif mana kita memandang isu tersebut. Apabila kaum realis menganggap bahwa negara menjadi aktor utama dalam tanggung jawab keamanan, kaum liberal memandang bahwa seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keamanan baik negara, organisasi internasional, bahkan individu memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas keamanan.

Di pembahasan artikel ini, terdapat dua studi kasus yang kami angkat dengan menggunakan perspektif yang berbeda. Dalam studi kasus pertama, kami membahas mengenai Rising Power Negara Tiongkok yang dapat mengancam stabilitas struktur internasional terutama Amerika Serikat dan negara-negara yang berada di Kawasan Asia Pasifik dari perspektif realisme dengan konsep balance of power. Perspektif realisme memiliki asumsi bahwa dasar dari security adalah negara dan militer, dalam hal ini negara merupakan actor utama sedangkan militer berperan sebagai material negara. [1]Menurut Waltz, apabila suatu negara ingin memaksimalisasi power, maka ia akan bergabung dengan negara yang menurutnya kuat atau biasa disebut dengan bandwagoning. [2]Menurut Mearsheimer, apabila suatu negara berupaya untuk menjadi kekuatan hegemon dengan meningkatkan power, maka system dunia akan turut meningkatkan kapabilitas militer serta membentuk koalisi terhadapnya. Dengan demikian, negara cenderung untuk melakukan balance of power, daripada melakukan maksimalisasi power. Rivalitas kedua negara ini dapat berpengaruh pada perimbangan kekuatan negara-negara di dunia. Sehingga negara di kawasan Asia Pasifik berusaha untuk terbebas dari pengaruh hegemoni dari Tiongkok dan AS dengan cara menyatukan kekuatan masing-masing negara sehingga stabilitas kawasan dapat tercipta. Upaya pencegahan hegemoni dari Tiongkok memerlukan kekuatan yang besar serta peran dari negara-negara kawasan Asia Pasifik tidak hanya Amerika Serikat. Maka dari itu diperlukannya strategi pemersatuan kekuatan yang kooperatif untuk dapat menyeimbangkan kekuatan negara Tiongkok.

Selanjutnya, pada studi kasus kedua mengenai peran ASEAN sebagai organisasi regional dalam menangani konflik yang terjadi di Myanmar dengan menjadikan Etnis Rohingya sebagai titik utama penyelesaian menggunakan perspektif liberal institusionalis. Perspektif liberal institusionalis ini diperkenalkan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye dalam menghadapi pemikiran realisme serta berdokus pada kerja sama dan pembentukan institusi internasional untuk mencapai keuntungan absolut maksimal. Dalam perspektif ini institusi atau lembaga internasional berfungsi sebagai fasilitator, pengengah, informan, dans sebagainya. Perspektif liberal institusionalis ini dapat mendorong negara untuk saling bekerja sama dalam mengelola institusi internasional dan meningkatkan kepercayaan antar negara, namun tidak menutup kemungkinan adanya hambatan seperti kecurangan atas ketidakpatuhan negara anggota institusi. Diskriminasi  etnis yang dialami oleh Etnis Rohingya di Myanmar terjadi sejak tahun 1948 dan telah menelan banyak korban jiwa yang disebabkan oleh adanya kekerasan fisik yang terus-menerus dilakukan. Dalam apabila dilihat dari perspektif liberalisme institusional, ASEAN dapat berperan sebagai arbiter dalam sengketa negara, karena lembaga internasional diyakini dapat menjadi sarana dalam menyelesaikan kepentingan kolektif dalam stabilitas internasional.

2.      Metode

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif dimana memiliki tujuan untuk menjelaskan, menggambarkan dan menganalisis kasus yang dibahas yaitu Rising Power Negara Tiongkok yang dapat mengancam stabilitas struktur internasional terutama Amerika Serikat dan negara-negara yang berada di Kawasan Asia Pasifik dari perspektif realisme dengan konsep balance of power, dengan menggunakan teori realisme, selain satu isu yang diangkat terdapat isu lain yaitu peran ASEAN terhadap konflik yang terjadi di Myanmar dengan menggunakan teori neo-liberalisme institusional.

Sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari sumber data sekunder. Data penelitian kami peroleh dari literatur-literatur seperti jurnal, buku, artikel ilmiah, berita di laman media massa atupun dokumen-dokumen yang memuat data yang diperlukan bagi penelitian ini. Data yang yang kumpulkan dari berbagai literatur tersebut kemudian disajikan ulang ke dalam jurnal ini dengan menggunakan kerangka ide dan gaya penulisan sendiri, tanpa menghilangkan esensi data yang didapatkan dan dengan tetap mencantumkan informasi mengenai literatur yang digunakankan sebagai sumber data di dalam penelitian ini.

 

  1. Pembahasan

a.      Teori Realisme

Realisme memandang manusia merupakan makhluk yang ‘chaos’ dan anarki. Selfish sudah menjadi ciri khas manusia sejak dilahirkan ‘given’. Dalam level negara realis menganggap bahwa suatu negara hanya akan mementingkan kepentingan nasionalnya dan akan melakukan apapun demi tercapai tujuan nasionalnya tersebut. Sifat egoisme yang dimiliki setiap negara di dunia akan menyebabkan konflik ketika adanya perselisihan atau pertentangan kepentingan. Negara merupakan aktor yang bersifat rasional, setiap keputusan yang diambil sebuah negara harus menguntungkan kepentingan negaranya. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan keadaan konfliktual yang didorong oleh keadaan anarki dalam struktur internasional. Struktur internasional disebut anarki karena tidak adanya otoritas yang berkuasa atau mengatur akan negara-negara di dunia dalam melakukan hubungan internasional, menyebabkan konflik sering terjadi. (Dunne and Schmidt, 2001). 

Setiap negara dapat melakukan apapun dalam mencapai kepentingannya jika negara tersebut memiliki kemampuan kekuatan yang cukup disampingnya. Karena kekuatan yang diraih oleh sebuah negara menentukan pengaruh mereka pada dunia maka dari itu muncul lah hirarki dalam negara-negara dunia, seperti big power. Akibat dari adanya hirarki ini, setiap negara merasa tidak aman akan berbagai ancaman dalam sistem internasional yang anarki. Maka dari itu banyak negara yang memaksimalkan kekuatan negaranya. Hal ini dilakukan untuk menghadapi dan mencegah terjadinya konflik yang akan berujung pada peperangan. Kennetz Waltz memunculkan teori balance of power yang membahas terkait penyeimbangan kekuatan dalam struktur internasional.

Balance of power masuk kedalam kategori realisme defensif dimana menjelaskan bahwa masing-masing negara harus mempertahankan status quo, dengan kata lain negara tidak diperbolehkan meningkatkan kekuatan militer yang akan menyebabkan hancurnya balance of power. Dalam teori ini percaya bahwa kerjasama atau komunitas penting dalam penyeimbangan hegemoni. Walaupun memang kepentingan negara-negara berbeda dan akan saling bertabrakan dalam kerjasama tersebut. Namun, komunitas ini sangat penting dalam upaya pengumpulan kekuatan bersama sehingga tercapainya balance of power. Dalam teori balance of power, struktur internasional terbagi menjadi 3, yaitu bipolar, multipolar, dan unipolar. Dalam teori ini juga muncul tindakan ‘balancing’ dimana negara-negara yang koperatif dan beraliansi untuk menjaga keseimbangan kekuatan akan melawan atau menekan negara-negara yang sedang atau akan rising power. Hal ini dilakukan agar keseimbangan kekuasaan dapat terjaga dan peperangan atau konflik dapat dihindari (Waltz, 2000, P. 32).

 

-          Pembahasan Kasus Rising Power Negara Tiongkok

Keamanan Asia telah mengalami perubahan yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi mendorong pencarian keamanan dan stabilitas yang lebih baik di negara kawasan. Sejak berakhirnya perang dingin, negara-negara telah mengalami perdamaian dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, munculnya China sebagai kekuatan tertinggi di Asia dan beralihnya fokus Amerika Serikat dari Asia-Pasifik ke Asia Barat telah membuat negara-negara di Kawasan memikirkan kembali keamanan mereka dengan mengolengkan kepercayaan dari Amerika ke China. Lebih penting lagi, peran China yang semakin meningkat di Asia, baik dibidang ekonomi maupun politik, menuntut interaksi yang lebih aktif di antara negara-negara di kawasan. Keseimbangan koperasi menjamin keamanan negara-negara kecil. Jika satu negara mencoba untuk mengintimidasi atau memutuskan untuk bertindak sepihak dan mengganggu status quo, Amerika Serikat dapat bekerja sebagai 'check and balance' di aparat keamanan Asia. Ini akan menghentikan negara-negara di kawasan itu dari memasuki persaingan bersenjata. Demikian pula, negara-negara besar di kawasan akan berhati-hati untuk bertindak ke negara lain, sehingga akan mencegah munculnya situasi perang dingin di Asia antara China dan Amerika Serikat, misalnya. Pada akhirnya, keseimbangan kooperatif akan membawa perdamaian dan stabilitas abadi di Asia.

Masalah utama dalam menciptakan mekanisme keamanan yang konstruktif di Asia adalah bahwa negara-negara besar di kawasan itu terus saling tidak percaya, yang dimanifestasikan, misalnya, dalam perselisihan China yang belum terselesaikan dengan Jepang, India, dan beberapa negara Asia Tenggara. Keamanan Asia telah dijelaskan sebagian besar dalam hal teori realis keseimbangan kekuasaan. Teori tersebut mengatakan bahwa negara-negara kecil atau sekunder mencari keamanan melalui hubungan mereka dengan kekuatan besar (Ross, 2006, hal. 358). Amerika Serikat, kekuatan non-penduduk Asia, telah lama menjadi penjamin keamanan bagi sekutunya seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Singapura. Tetapi akhir-akhir ini, India, China, dan Jepang akan membentuk arsitektur keamanan Asia jika sistem aliansi tradisional yang dipimpin Amerika Serikat menjadi berlebihan. Amerika Serikat mengharapkan kontribusi yang lebih besar dari sekutu dan mitranya untuk stabilitas regional, tetapi negara-negara seperti Jepang tidak bersedia memainkan peran bawahan Amerika Serikat dan berkontribusi untuk mengembangkan mekanisme keamanan regional. Bahkan negara-negara kecil dari kawasan Asia Tenggara sangat tidak mungkin memainkan peran kedua setelah Amerika Serikat dalam tindakan penyeimbangnya melawan China. Akibatnya, peran dan kapasitasnya untuk melindungi kawasan dan jaminan keamanan kepada sekutu dan mitra akan terpengaruh secara serius.

China dengan program penjangkauan ekonomi dan pembangunan militernya bertujuan untuk membantu cina muncul sebagai kekuatan unggulan di Asia. Beijing baru-baru ini banyak berinvestasi dalam kekuatan angkatan laut untuk melawan dominasi Amerika Serikat di Pasifik Barat. China ingin berkonsolidasi di Pasifik Barat, menguasai Laut China Selatan dan memperluas pengaruhnya ke kawasan Samudera Hindia (IOR). Beijing juga baru-baru ini berusaha untuk meningkatkan kehadiran strategisnya di IOR dengan meningkatkan hubungannya dengan negara-negara pesisir seperti Pakistan, Myanmar, Bangladesh dan Sri Lanka. Beberapa fasilitas ini dapat digunakan untuk tujuan militer oleh China ketika ancaman keamanan nyata muncul. China membayangkan bahwa fasilitas ini akan memberikan pengaruh strategis yang sangat dibutuhkan dan mengubah keseimbangan kekuatan Asia menguntungkannya.

 

1.      Analisis Kasus dalam Perspektif Realisme

Melalui kasus diatas, dapat diketahui bahwa beberapa perilaku negara-negara diatas salah satunya terdapat pada konsep balance of power dari teori realisme, dimana pada kasus ini, negara-negara di Asia seperti Jepang, Filiphina, Korea Selatan dan Singapura menggantungkan keamannya kepada Amerika Serikat (yang merupakan keuntungan dari penggunaan teori tersebut). Selain itu, usaha Amerika Serikat dan beberapa negara untuk bergabung bersama dan membentuk sebuah aliansi merupakan sebuah pencegahan untuk mencegah salah satu sisi diaman yang dimaksud disini adalah China, menjadi lebih kuat dan bertujuan untuk menjaga keamanan negara masing-masing. Hal yang dilakukan oleh AS tersebut dinilai sama dengan apa yang telah dilakukan oleh Beijing yang mempererat hubungannya dengan negara-negara di pesisir semata-mata untuk menjaga keamanan negaranya sendiri.

Perilaku negara-negara tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh T. V. Paul, dalam artikelnya, Introduction: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance mengatakan bahwa, “Tujuan utama dari segala strategi penyimbangan ialah untuk mengurangi kapabilitas pertarungan dari negara yang sangat kuat atau aktor yang mengancam, berbagai arti yang lain ialah negara mengadaptasi selain meningkatkan kemampuan militer atau membuat aliansi.” Yakni tujuan dari balance of power yang dilakukan oleh negara-negara tersebut ialah untuk meredam pihak-pihak yang sekiranya akan mengancam keamanan karena kekuatannya yang lebih besar. Konsep ini juga sesuai dengan pandangan para realis yakni sistem anarki dimana sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan sehingga setiap negara memiliki kesempatan dan kekuatan yang sama atau seimbang.

Co-operative Balancing Concept :

Penyeimbangan kooperatif adalah kombinasi keseimbangan kekuatan realis dan mekanisme keamanan kooperatif yang lebih mungkin untuk memastikan perdamaian dan stabilitas jangka panjang. Realis memprediksi bahwa China mencari status kekuatan besar, karena tujuan akhir dari setiap kekuatan besar adalah untuk memaksimalkan bagiannya dari kekuatan dunia dan akhirnya menjadi hegemon. Akibatnya, Amerika Serikat, hegemon global yang ada, mencoba untuk menyeimbangkan China. Dalam mekanisme penyeimbangan ini, negara-negara kawasan cenderung bergabung dengan negara adidaya global untuk melawan kekuatan regional dari mencari hegemoni dalam sistem regional. Realis mengatakan bahwa senjata nuklir adalah pencegah paling sukses dalam keamanan internasional saat ini.

 

2.      Teori Liberal Institusionalis

Perspektif liberal institusionalis memiliki pemahaman bahwa kerja sama antar aktor dapat memudahkan untuk mencapai keuntungan absolut maskimal yang mana semua partisipannya akan mendapatkan keuntungan itu juga, serupa dengan konsep Prisoner’s Dilemma yang pertama kali dibahas oleh Robert Keohane dan Joseph Nye. Perspektif tersebut erat dengan teori institusionalis yang dikemukakan oleh Richard Scott. Teori tersebut menjelaskan mengenai berbagai tindakan dan keputusan yang diambil oleh lembaga internasional, dasar pemikirannya ialah validasi serta dukungan terhadap kemampuan organisasi internasional dengan keyakinan bahwa organisasi tersebut sah, legal, dan capable dalam menyelesaikan suatu permasalahan sebab menurut teori ini suatu institusi ataupun organisasi ini terbentuk karena adanya tekanan terhadap suatu keadaan yang memaksa untuk institusionalisasi. Teori institusionalis cenderung berikatan dengan teori kerja sama internasional sebagaimana konsep yang dianutnya. Jelas saja, sebuah institusi tidak bisa terbentuk jika tidak ada kerja sama yang terjalin antar anggotanya.

Teori kerja sama internasional sendiri memiliki makna yang berbeda tergantung pandangan dari setiap penteorinya. Menurut Keohane, kerja sama internasional yang dimaksud ini menjelaskan bahwa fungsi dari institusi atau lembaga atau organisasi internasional ialah sebagai fasilitator, penengah, informan, dan jembatan bagi para anggotanya; rasa ketergantungan antar aktor juga menjadi pernyataannya. Disisi lain, menurut K.J. Holsti teori kerja sama internasional sendiri memiliki makna pendekatan antar negara untuk membantu satu sama lain dalam membereskan permasalahan yang ada serta mencapai kepentingan nasionalnya. Pada dasarnya, semua ini dilakukan agar proses perdamaian dan spiral yang terjadi tak sampai melibatkan maupun menyebabkan perang. Secara umum, bisa dikatakan bahwa perspektif ini melibatkan Hak Asasi Manusia dalam pengimplementasiannya. Aktor-aktor dalam perspektif ini ialah negara, aktor transnasional, Non-Governmental Organization (NGO), Intergovernmental Organization (IGO), dan lain-lain.

 

-          Keterlibatan ASEAN dalam Menangani Konflik Myanmar

Dahulu, Myanmar merupakan salah satu negara republik yang ibu kotanya berada di Yangon dan dikenal dengan sebutan Burma. Pada 18 Juni 1989, pemetintah Junta Militer mengubahnya menjadi Myanmar. Negara ini didiami sebanyak 135 etnis dan heterogen etnis Myanmar terbagj menjadi penduduk mayoritas dan minoritas. Salah satu etnis minoritas adalah etnis Ronghingya yang mendapatkan diskriminasi dan juga kekerasan, bahkan tersisihkan oleh negara. Lalu, untuk menghindari kekerasan yang terajadi, akhirnya muslim Rohingya mengungsi ke negara lain dan meninggalkan Myanmar. Secara historis, Inggris memegang peran penting pada kependudukan etnis di Myanmar. Hal tersebut karena Inggris mempekerjakan migran dengan memberikan laba yang tinggi, sehingga pada abad ke-17 banyak etnis Rohingya yang masuk ke Myanmar. Sebagai imbalan karena keloyalitasan muslim Rohingya terhadap Inggris, Inggris berjanji untuk memberikan posisi strategis dalam struktur pemerintahan dan daerah otonom, namun tidak direalisasikan secara langsung.

Karena sikap yang diberikan etnis Rohingya bertolak belakang dengan kubu nasionalis Myanmar yang mendukung Jepang, pemerintah menolak tagihan etnis Rohingya mengenai janji pembentukan daerah otonom, karena menanggap Rohingya mendapat keuntungan dari pemerintahan Inggris. Anggapan tersebut memicu bersatunya gerakan nasionalis kaum Budhisme dan membuat kebencian terhadap Rohingya semakin besar. Stigma yang diberikan bahwa Rohingya merupakan orang asing dan tidak diakui kewarganegaraannya membuat asumsi bahwa etnis Rohingya berbahaya dan mengancam stabilitas nasional yang dibangun selama 60 tahun. Penindasan terhadap Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar mencakup pemerkosaan, penyiksaan hingga pembunuhan, serta tekanan lain yang diberikan terhadap Rohingya terdapat di aspek finansial, korporasi Rohingya diakuisisi pemerintah, lalu mereka dijadikan sasaran kerja paksa, diserang secara fisik, dan ditahan tanpa pengadilan. Pemerintah juga mengeksklusi Ronghingya di sistem politik dengan larangan organisasi sosial politik. Ketika negara membuka program pendaftaran nasional ditahun 1977, Rohingya dianggap sebagai warga ilegal dan kekerasan terus berlanjut hingga 200.000 orang mengungsikan diri ke Bangladesh. Pelarian ini dimanipulasi oleh para pejabat untuk menegaskan stigma identitas ilegal Rohingya.

Rohingya telah menjadi komunitas tanpa kewarganegaraan dengan jumlah tertinggi di dunia, status ini membuat ketiadaan hukum dan tidak dipenuhinya hak dasar, Rohingya kehilangan akses kesehatan, pendidikan formal, dan sektor ketenagakerjaan. Membuat 80% etnis Rohingya buta huruf. Hak beribadah pun dilanggar, negara membatasi mereka untuk menikah, pembatasan jumlah dan bergerak bebas dan tidak hanya itu pemerintah membatasi dalam status properti maupun kepemilikan tanah. Jika mereka mereka melanggar aturan maka mereka layak dipenjara. Hal ini membuat berkurangnya populasi etnis Rohingya. Penganiayaan terus berlanjut walau meski Myanmar sudah beralih ke demokrasi. Baru-baru ini bencana kemanusiaan karena penyerangan pos polisi oleh organisasi pemberontak yaitu Arakan Rohingya Salavation Army, penyerangan yang juga diikuti dengan pembakaran rumah-rumah mereka, para perempuan diperkosa sedangkan para lelaki dipenggal kepalanya dan anak-anak dibunuh.

Dengan adanya peran sentral ASEAN yang mampu menggerakkan pembangunan politik kawasan, ASEAN pun mampu membangun rasa saling memiliki di antara negara anggotanya, sehingga kebijakan yang ada dapat dipatuhi dengan berpartisipasi aktif. Karena hal tersebut, membuat negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, seperti Indonesia tertarik perhatiannya untuk saling membantu menyelesaikan konflik yang terjadi. Kemudian, pada 6 November 2017, Dewan Keamanan ASEAN meluncurkan pernyataan melalui Precidential Statement S/PRST/2017/22 yang memuat responnya terhadap konflik Myanmar. Adanya pernyataan tersebut, konsep Responsibility to Protect dapat dibentuk serta diterapkan untuk mengatasi kegagalan Myanmar dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi Etnis Rohingya. Selain itu, ASEAN juga membentuk badan ad hoc serta menggerakkan lembaga kemanusiaan AHA (ASEAN Humanitarian Assistence Coordination Center) dan ERAT (ASEAN Emergency Response and Assessment Team), guna menyelesaikan krisis kemanusian tersebut dan memfasilitasi pemulangan pengunsi-pengungsi Rohingya.

 

3.      Analisis Kasus dalam Perspektif Liberal Institusionalis

Dilihat dari pembahasan di atas, maka perspektif liberal institusionalis dengan teori institusionalis dan teori kerja sama internasional sesuai untuk mengkaji studi kasus penulis mengenai Keterlibatan ASEAN dalam Menangani Konflik Myanmar terkait konflik etnisnya. ASEAN ini merupakan organisasi internasional berbasis regional di Asia Tenggara. Sebagai jembatan dari anggotanya, ASEAN berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), membentuk tim khusus, dan berupaya melakukan diplomasi dengan bantuan Indonesia. ASEAN sebagai organisasi yang mengayomi Myanmar dan negara Asia Tenggara lainnya menginginkan keamanan dan perdamaian bagi setiap anggotanya.

Sesuai dengan teori liberal institusionalis, ASEAN hadir sebagai lembaga internasional yang mampu memberikan keputusan dan bertindak atas konflik yang terjadi. ASEAN dipercaya sebagai salah satu organisasi yang sah, legal, dan capable dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Maka dari itu, karena adanya keterlibatan ASEAN dalam konflik Myanmar, negara-negara yang tergabung di dalam ASEAN pun ikut andil bersamanya. ASEAN sendiri memiliki peran sentral yang senantiasa membangun rasa saling memiliki di antara negara-negara anggotanya, sehingga mereka dapat bekerja sama dalam mendukung program yang digalakkan oleh ASEAN seperti konsep Responsibility to Protect. Hal tersebut sesuai dengan teori kerja sama internasional yang berikatan dengan teori liberal institusionalis milik K.J Holsti, yang menggunakan pendekatan antar negara guna memberi bantuan kepada satu sama lain ketika menyelesaikan permasalahan serta memperoleh kepentingan nasional yang dimiliki.

 

  1. Kesimpulan

Pada dasarnya sifat egoisme yang dimiliki setiap negara di dunia akan menyebabkan konflik ketika adanya perselisihan atau pertentangan kepentingan. Setiap negara dapat melakukan apapun dalam mencapai kepentingannya jika negara tersebut memiliki kemampuan kekuatan yang cukup disampingnya, dan karena itu muncul lah hirarki dalam negara-negara dunia seperti big power, sehingga terdapat banyak negara yang memaksimalkan kekuatan negaranya dan apabila tidak dicegah maka akan berujung pada konflik. Namun, Kennetz Waltz memunculkan teori balance of power yang membahas terkait penyeimbangan kekuatan dalam struktur internasional. Dalam kasus China’s Rising Power, Realis memprediksi bahwa China mencari status kekuatan besar untuk menjadikannya sebagai kekuatan hegemon. Akibatnya, Amerika Serikat, hegemon global yang ada, mencoba untuk menyeimbangkan China melalui balance of power. Dalam upaya penyeimbangan kekuatan ini, negara-negara kawasan cenderung bergabung dengan negara adidaya global dalam melawan kekuatan regional dari mencari hegemoni dalam sistem regional.

Perspektif liberal institusionalis berikatan dengan teori kerja sama internasional bahwa kerja sama antar aktor dapat memudahkan untuk tercapainya keuntungan bagi setiap anggota. Perspektif ini juga dilakukan agar perdamaian yang sedang diusahakan tidak berakhir pada peperangan melalui implementasi Hak Asasi Manusia. ASEAN dalam konflik Myanmar hadir sebagai lembaga internasional yang dapat bertindak serta memberikan keputusan atas konflik yang terjadi bersama dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya sesuai dengan konsep Responsibility to Protect dan pendekatan milik K.J Holsti bahwa negara memberi bantuan kepada satu sama lainnya dalam sebuah permasalahannya demi memperoleh kepentingan nasional yang dimiliki.









DAFTAR PUSTAKA

 

Burchill, Scott. 2001. Theories of International Relations: Realism and Neo-Realism. New York: Palgrave Macmillan, pp.70-102.

John Mearsheimer, Structural Realism dalam Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, International Relations Theories, New York: Oxford University Press, 2010, hal 81.

Kenneth Waltz, Theory of International Politics, 1979, Reading MA: Addison-Wesley, hal 126.

Kirshner, J. (2012). The tragedy of offensive realism: Classical realism and the rise of China. European Journal of International Relations, 18(1), 53–75. https://doi.org/10.1177/1354066110373949

K.J, Holsti & M.T, Azhary. 1998. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid 2.

Puspitasari, W. 2010. Doctoral Dissertation: Peranan Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) dalam Mengatasi Krisis Listrik di Sumatera Utara (studi kasus: proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTPB) sarulla di sumatera Utara). Universitas Komputer Indonesia.

Setiawan, I.P & Suryati, M.S.D. 2021. Keterlibatan ASEAN dalam Menangani Konflik Myanmar (Studi Kasus: Konflik Etnis Rohingya 2017-2018). POLITICOS: Jurnal Politik dan Pemerintahan, 1 (2): 83-97. Doi: https://doi.org/10.22225/politicos.1.2.2021.83-97

T.V. Paul, James J. Writz, and Michael Fortman. 2004. Balance of Power Theory and Practice in 21th Century. Stanford: Stanford University Press. Hal. 2-3.

Waltz, Kenneth N. 1979-2000. Teori Politik Internasional. California: Addison Wesley, p.32.

Wardhani, Tara. 2017. Pandangan Liberal Institusionalis Terhadap Organisasi Internasional. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2021 pukul 23.12 WIB dari http://tara-wardhani-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-170445-SOH304%20(Organisasi%20Internasional)-Pandangan%20Liberal%20Institusionalis%20terhadap%20Organisasi%20Internasional.html.

Wikke, S. R. 2018. Doctoral Dissertation: Pengaruh Tekanan Eksternal, Komitmen Manajemen, Akuntabilitas, Dan Ketidakpastian Lingkungan Terhadap Penerapan Transparansi Pelaporan Keuangan Daerah (Studi Empiris Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Magetan). Universitas Muhammadiyah Ponorogo.




*) Gambar/ilustrasi Artikel 

Foto: centerforsecuritypolicy.org







[1] Kenneth Waltz, Theory of International Politics, 1979, Reading MA: Addison-Wesley, hal 126.

[2] John Mearsheimer, Structural Realism dalam Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, International Relations Theories, New York: Oxford University Press, 2010, hal 81.

0 Comments

Leave a comment