loading...

An Analysis and Critics on ASEAN Principle of Non-Interference in Myanmar

Written by: Muhammad Rizky Andis Rafaldhanis


ABSTRACT

ASEAN is an intergovernmental organization, not a supranational organization, hence ASEAN does not have legal authority over the policies of its members unlike the EU. In its formation there's a theory which states that ASEAN was established with an initiative to stem the influence of communism in Southeast Asia under the auspices of the Containment Strategy. Thus, the founders of ASEAN agreed on the Principle of Non-Intervention. The principle of upholding human rights was only regulated in the ASEAN Charter at the 13th ASEAN Summit in 2007.

As a compromise on the balance between the country's internal problems and regional stability, I will provide an alternative solution because with the current situation it is not possible for ASEAN to establish a professional enforcement body as has been implemented by the United Nations, namely to establish a supervisory council much like UNHRC. A safer alternative solution is to investigate human rights violations that occurred in Cambodia through the ASEAN Human Rights Supervisory Board supported by elements of protection and supervision drawn from members of the ASEAN Coordinating Council. 

Keywords: Intergovernmental Organization, Principle of Non-Intervention, Human Rights Violation.


ABSTRAK

ASEAN adalah organisasi intergovernmental, bukan organisasi supranasional, sehingga ASEAN tidak memiliki otoritas hukum atas kebijakan anggotanya tidak seperti EU. Dalam pembentukannya terdapat teori yang menyatakan bahwa ASEAN didirikan dengan inisiatif untuk membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara di bawah naungan Containment Strategy. Dengan demikian, para pendiri ASEAN menyepakati Prinsip Non-Intervensi. Prinsip penegakan HAM hanya diatur dalam Piagam ASEAN pada KTT ASEAN ke-13 tahun 2007.

Sebagai kompromi terhadap keseimbangan antara masalah internal negara dan stabilitas regional, saya akan memberikan solusi alternatif karena dengan situasi saat ini tidak mungkin bagi ASEAN untuk membentuk badan penegakan yang profesional seperti yang telah didirikan oleh PBB yaitu dengan membentuk dewan pengawas seperti UNHRC. Maka dari itu, alternatif solusi yang lebih aman adalah mengusut pelanggaran HAM yang terjadi di Kamboja melalui Dewan Pengawas HAM ASEAN yang didukung oleh unsur perlindungan dan pengawasan dibawah Dewan Koordinasi ASEAN.

Kata Kunci: Organisasi Antar Pemerintah, Prinsip Non-Intervensi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Pendahuluan

ASEAN merupakan akronim dari Association of Southeast Asian Nations, dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara. ASEAN merupakan organisasi intergovernmental yang memiliki prinsip non-interferences. ASEAN didirikan atas asas-asas kolaborasi (kerjasama), perdamaian regional, dan mutual assistance yang saling menguntungkan kedua pihak.

Kata kunci yang harus dicatat adalah ASEAN mereupakan organisasi intergovernmental bukan supranasional sehingga ASEAN tidak memiliki otoritas hukum diatas kebijakan anggotanya tidak seperti EU. Sebagai organisasi intergovernmental maka lazim jika memang masih ada flaws dalam mengatasi urusan kedaulatan negara anggotanya. Maka dari itu dalam menangani isu-isu yang berhubungan dengan kedaulatan sebuah negara ASEAN tidak bisa sembarang bertindak walaupun telah terjadi pelanggaran HAM di tanah negara tersebut.

Perlu dicatat bahwa dalam pembentukannya ada teori yang menyatakan bahwa ASEAN didirikan dengan prakara untuk membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara. Teori ini didukung dengan adanya kecenderungan negara-negara pendirinya yang secara umum merupakan negara yang sedikit atau memang terpapar pengaruh dari barat. Tiga dari negara pendirinya (Indonesia, Thailand, Filipina) memiliki sistem pemerintahan otoriter yang didukung oleh perangkat militer sedangkan dua lagi merupakan negara dengan sistem pemerintahan negara satu partai dominan.

Prinsip-prinsip seperti demokratisasi, liberalisme, dan perlindungan HAM bisa dibilang baru muncul setelah Perang Dingin tuntas dan ketika kawasan Asia-Pasifik terkena gelombang demokratisasi ketiga berlangsung kurang lebih dari akhir 1980-an sampai awal 2000-an. Deklarasi Bangkok di Agustus 1967 hanya memberikan tiga prinsip dasar yaitu kerjasama, persahabatan, dan non-interfensi tanpa ada maksud untuk saling menjamin dan memastikan kesejahteraan rakyat dari negara anggotanya melainkan agar meningkatkan kooperasi antarnegara dalam tujuan untuk mengembangkan ekonomi negara masing-masing serta menjaga perdamaian dan stabilitas wilayah Asia Tenggara.

Pokok Permasalahan

Implementasi prinsip menjunjung tinggi HAM, baru diatur dalam ASEAN Charter (Piagam ASEAN) di KTT ASEAN ke-13 tahun 2007. Namun keefektifan prinsip ini masih dipertanyakan karena merujuk ke prinsip dasar Non-Interferences tadi maka ASEAN sama sekali tidak punya kekuatan untuk menjatuhkan sanksi terhadap anggotanya yang telah melakukan pelanggaran HAM. ASEAN juga tidak memiliki badan pelaksanaan untuk mendesak negara anggotanya jika terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Krisis Myanmar merupakan isu primer yang sudah menjadi perhatian ASEAN, isu ini juga akan menguji dedikasi ASEAN dalam membuktikan komitmen negara-negara anggotanya terhadap prinsip Piagam ASEAN. Hasil yang masih buram dari kebijakan ASEAN dalam meminimalisir adanya pelanggaran HAM di Myanmar akan menentukan nilai praksis dari idealisme-idealisme ASEAN dan kita bisa lihat sejauh mana keberanian dewan keamanan politik ASEAN melakukan praktis kebijakannya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap prinsip-prinsip barunya.

Berdasarkan perkembangan baru-baru ini, ASEAN gagal dalam memaksa rezim militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing untuk menjamin lima konsesus, khususnya poin satu dan dua yaitu menjamin penghetian segera kekerasan dan dialog di antara semua pihak untuk mencari solusi damai. Sebagai bentuk sanksi ringan, pemerintahan junta Myanmar tidak diundang ke KTT ASEAN, bahkan ASEAN malah mengundang perwakilan sipil non-politik sebagai bentuk solidaritas kepada pemerintah yang sah. Namun undangan perwakilan tersebut ditolak oleh junta militer

Hasil dari KTT ASEAN ke-38 dan ke-39 di tanggal 26 Oktober itu tidak memberikan kemajuan yang signifikan dalam situasi Myanmar. Ada sebagian highlights hasil KTT ASEAN yang memiliki isu penting seperti ASEAN SHIELD, isu perubahan iklim, dan penghidupan kembali kesehatan dan ekonomi pasca-pandemi tetapi dari hasil-hasil tadi tidak ada yang memberikan dampak positif bagi perkembangan situasi di Myanmmar.

Ada beberapa tahap untuk mendirikan badan pelaksanaan hukum ASEAN sekaligus menumbuhkan jiwa Pan-Aseanism, (1) Common Political Basis, (2) Joint Peace Missions, (3) Standardisasi sistem dan doktrin operasi militer, (4) Cooperation of Maritime Security. Keempat tahap tersebut nantinya akan menjadi benih tumbuhnya sebuah organisasi keamanan regional khusus yang personilnya diambil dari perwakilan negara-negara anggota. Bahasa yang dapat digunakan sebagai lingua franca adalah Inggris dan Melayu dan layaknya seperti NATO (yan juga merupakan organisasi intergovernmental) dapat menggunakan perlengkapan universal sebagai cara agar anggotanya dependant dan obedient terhadap prinsip-prinsip ASEAN, badan enforcement ini mungkin dapat menjadi SEATO yang bebas dari campur tangan barat.

Sasaran dari penulisan artikel ini untuk menghasilkan pendekatan yang lebih pantas untuk dilakukan demi meningkatkan keefektifan birokrasi dan kualitas sistematis dari prosedur ASEAN dalam menangani isu-isu yang bersentuhan dengan kedaulatan sebuah negara serta sebagai kritik atas prinsip non-interfensi ASEAN.


Pembahasan

Untuk dapat menghasilkan solusi maka lazimnya kita melihat sejarah politik internasional di kawasan Asia Tenggara. Pada umumnya masalah dan isu yang dirasakan sekarang merupakan bekas produk dari dekolonialisasi. Negara-negara Asia Tenggara (kecuali Thailand) merupakan bekas subyek bangsa-bangsa imperial maka tidak aneh jika dalam periode dekolonialisasinya banyak sekali pemerintahan otoriter. Mentalitas rakyatnya yang sering terkena tekanan dan biasa dengan kekerasan menghasilkan masyarakat yang berideologi ekstrim.

Prancis mencoba untuk mendirikan entitas politik yang dinamakan Union Française dalam maksud untuk mengganti sistem imperial dengan sistem yang mirip dengan persemakmuran Inggris. Namun sistem ini gagal setelah negara-negara Indochina mengundurkan diri, sistem Union Française pun diganti dengan sistem Communauté Française yang anggotanya merupakan bekas koloni Prancis di Afrika (nantinya akan digantikan oleh OIC). Kembali ke Asia Tenggara, pemerintahan di Indochina yang semuanya berbentuk monarki dan didukung Prancis tidak berlangsung lama. Indochina menjadi persemaian kompetisi mengambil alih kekuatan antara kelompok ekstrim kanan yang militaristic dan kelompok ekstrim kiri yang berhaluan komunis. Dekolonialisasi Prancis dan Inggris sangat berbeda dan saling menghasilkan negara merdeka yang beda, dimana Malaysia dapat dipandu oleh Inggris dan menjadi negara yang stabil sedangkan Indochina menjadi kawasan perang proksi bagi dua kubu di masa itu.

Pemerintahan Thailand setelah revolusi 1932 oleh Khana Ratsadon telah didominasi oleh kelas elit militer. Bahkan selama durasi Perang Dunia ke-II pemerintahan dipegang oleh Panglima Tertinggi Plaek Phibunsongkhram, pemerintahannya berakhir setelah dikudeta oleh Tentara Kerajaan Thailand yang dipimpin oleh Marsekal Sarit Thanarat yang berkuasa dari 1959-1963. Ironisnya, pemerintahan PM Sarit Thanarat berakhir setelah dikudeta oleh perwira yang telah membantunya dalam mengkudeta Plaek Phibunsongkhram, perwira tersebut adalah Thanom Kittikachorn yang merupakan pemimpin Thailand ketika ASEAN didirikan. Walaupun telah melalui periode demokratis yang singkat, Thailand kini kembali dikuasai pemerintahan militer.

Singkatnya, Asia Tenggara di periode Perang Dingin merupakan kawasan yang tidak stabil. Intervensi asing merupakan hal biasa di periode tersebut maka tak heran jika pendiri ASEAN mengeraskan prinsip Non-Intervensi dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. malahan mungkin ahli HI di masa itu menganggap prinsip ini sebagai necessity. Di masa ketika pemerintahan sebuah negara bisa digulingkan dalam waktu yang singkat ASEAN setidaknya menciptakan perdamaian dan stabilitas regional bagi anggota-anggotanya.

Isu di Myanmar sendiri bahkan lebih complicated dibanding Thailand yang walaupun sering terjadi pergantian pemerintahan lewat kudeta masih relatif stabil dibanding Myanmar. Asal muasal masalah di Myanmar bisa dilacak kembali ke pemerintahan otoriter Jenderal Ne Win yang pemerintahannya berlangsung 26 tahun lamanya (1962-1988). Walaupun Jenderal Ne Win lengser di 1988 setelah Pemberontakan 8888 beliau masih memiliki pengaruh dan mengontrol pemerintahan Junta Militer dari belakang layar.

Dari lengsernya Ne Win di 1988, pemerintahan Myanmar dikontrol oleh sekelompok petinggi militer lewat State Peace and Development Council atau Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara. Selama periodenya pemerintahan SPDC telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang tak terhitung jumlahnya. Pemerintahan SPDC berlangsung dari 1988 sampai 2011. 

Periode Liberalisasi di Myanmmar berlangsung dari 2011-2021 lewat reformasi yang mengangkat larangan atas partai NLD untuk ikut pemilihan umum. Di tahun 2015, NLD menang total dalam pemilihan umum 2015 menandai berakhirnya kekuasaan militer. Banyak reformasi yang dilakukan NLD namun mereka gagal untuk membatasi pengaruh militer dalam pemerintahan sipil. Sebagai balasan atas kerusuhan anti-Muslim di Myanmar tahun 2013, Tentara Pembebasan Rohingya Arakan melakukan penyerangan balas dendam namun dibalas dengan pembantaian yang dilakukan tentara Myanmmar dimana etnis Rohingya dibantai habis-habisan. Pemerintahan Aung Sang Suu Kyi menang lagi di pemilihan umum 2020 namun militer kembali mengkudeta pemerintahan tersebut di tahun 2021, mengganti pemerintahan sipil menjadi pemerintahan junta dibawah Jenderal Min Aung Hlaing.

Selama konflik di Myanmar tindakan ASEAN tidak selebih dari misi-misi humanitarian. Tidak ada intervensi atau sanksi atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Myanmar. Namun baru-baru ini, ASEAN mengeluarkan sanksi atas junta militer Myanmar karena tidak dapat memenuhi lima konsesus yang disepakati ASEAN dan Myanmar. Sanksi ini berupa tidak diundangnya junta militer ke KTT ASEAN ke-38 dan ke-39.

Tindakan ini menyebabkan reaksi campuran dari dunia Internasional. Kita bisa mengambil unsur positif sekaligus negatif dari tindakan ASEAN. Positifnya ini merupakan langkah pertama dalam merealisasikan prinsip dari ASEAN Charter namun negatifnya adalah tindakan ini belum cukup untuk menghukum junta militer Myanmar dan bahkan dapat memperkeruh hubungan antar ASEAN dan Junta.

Di era sekarang, isu-isu regional bukan lagi isu konvensional seperti proxy war dan isu tradisional lainnya namun beralih ke isu-isu yang relevan seperti demokratisasi, perlindungan HAM, human trafficking, dsb. Dengan beralihnya isu tersebut maka pendekatan yang digunakan seharusnya diperbaharui agar negara anggota yang sedang mengalami konflik internal tidak menjadi negara yang gagal yang berpotensial menjadi sarang kartel dan pengacau seperti yang terjadi di Myanmar dengan kartel segitiga emasnya. Sesungguhnya menjaga kestabilan regional merupakan prinsip dasar dari ASEAN itu sendiri namun kebanyakan negara anggota pasti berpikir mengapa mereka harus mengurusi negara orang lain jika negaranya sendiri masih memiliki masalah-masalah internal.

Maka dari itu sebagai kompromi pada keseimbangan antara masalah internal negara dan kestabilan regional saya akan menyediakan solusi alternatif karena dengan situasi sekarang tidak mungkin untuk ASEAN mendirikan badan enforcement yang professional seperti halnya yang telah diterapkan PBB yaitu untuk mendirikan dewan pengawas. Jika ASEAN tidak bisa mengganggu gugat kedaulatan negara lain maka ASEAN bisa memakai prakara lain seperti intervensi atas nama HAM yang dilakukan Vietnam terhadap rezim Pol Pot di Kamboja. 

Solusi alternatif yang lebih aman adalah dengan melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap fakta pelanggaran HAM yang terjadi di Kamboja melalui Dewan Pengawas HAM ASEAN didukung oleh elemen-elemen perlindungan yang ditarik dari anggota Dewan Koordinasi ASEAN. Dengan meniru Dewan Keamanan UN di Peperangan Yugoslav, ASEAN dapat mendirikan pengadilan khusus HAM untuk kawasan Asia Tenggara (Special Court of Human Rights for Southeast Asia dibawah naungan IJC dengan prakara dan otoritas piagam ASEAN. Dengan bukti yang konkrit maka peradilan akan dilaksanakan secara efektif dan dunia internasional setidaknya dapat setuju dan mendukung upaya ASEAN.

Konsep ASEAN Corps dapat terealisasikan melihat dengan pandangan negara-negara yang berhaluan militer seperti Vietnam dan Thailand terhadap perkembangan situasi di Myanmar. Kedua negara pasti merasakan keresahan karena instabilitas yang dihasilkan dari kerusuhan sipil yang terjadi di Myanmar, apalagi Thailand pernah merasakan konflik spillover di Shan State.

Malaysia dan Filipina berpotensial untuk menyetujui didirikannya ASEAN Corps tersebut apalagi dengan adanya ASEAN Corps maka keamanan maritim di LCS dapat dijaga lebih efektif. Melalui ASEAN Corps, negara-negara ASEAN yang masih kurang kekuatan maritimnya bisa bergantung terhadap negara lain atas keamanan lautnya lewat ASEAN Combined Fleet. Hal positif lainnya jika ASEAN Corps terealisasikan adalah Intelligence Sharing, Technology Sharing, & Equipment Standardization. Konsep ASEAN Corps akan memperluas kapabilitas negara-negara Asia Tenggara dalam melawan musuh yang lebih kuat.

Situasi di Myanmar bisa dijadikan tolak ukur sebagaimana siapnya ASEAN dalam kerjasama keamanan dan pertahanan karena selama ini kerjasama yang lebih dominan dilakukan ASEAN adalah kerjasama sosial dan ekonomi. Kerjasama ini diharapkan menumbuhkan sebuah doktrin unik dalam misi-misi operasional ASEAN.


Penutup

Ada dua solusi dalam masalah Prinsip Non-Intervensi, kedua solusi memecahkan krisis prinsip ASEAN tanpa menghadapi masalah prinsip secara langsung. Jika dewan ASEAN menghabiskan waktu untuk membahas relevansi dari prinsip non-intervensi maka sama saja dengan menunda-nunda menyelesaikan isu yang sudah ada di depan muka. Perlu diingat bahwa solusi yang dipaparkan merupakan solusi umum yang sesuai dengan konteks isu yang sedang berlangsung sehingga contoh pelaksanaan dari solusi tersebut menggunakan gambaran solusi jika diimplementasikan dalam Krisis Myanmar.

Solusi pertama adalah dengan membentuk Dewan Pengawas Pelaksanaan Perlindungan HAM yang sifatnya situasional sehingga fleksibel bisa diaktifkan atau di non-aktifkan sesuai kebetuhan. Dengan terbentuknya dewan tersebut maka secara efektif isu-isu tentang kekosongan badan enforcement dan intervensi pun tereliminasi. Dengan pengumpulan bukti dan fakta maka ASEAN dapat menyakinkan terjadinya pelanggaran HAM dan bersedia untuk menegakkan perlindungan HAM dikawasannya karena ASEAN bertanggung jawab atas perlindungan HAM di Asia Tenggara sesuai dengan ASEAN Charter.

Solusi kedua merupakan solusi yang dinilai lebih agresif yaitu dengan membentuk badan enforcement dengan misi khusus yaitu memaksa pemerintah junta untuk bertindak sesuai lima konsesus. Jika dalam menjalani tugasnya badan enforcement tadi menemukan bahwa pemerintah junta terbukti telah lalai dalam menjalankan lima konsesus maka ASEAN memiliki pertimbangan dan alasan yang konkrit dalam menaruh sanksi-sanksi yang keras pada Myanmar.

Sebagai tindak lanjut jika salah satu dari dua solusi memang tidak membuahkan hasil yang signifikan maka disediakan solusi yang terakhir yaitu intervensi militer dengan alasan penegakkan HAM dan perlindungan rakyat Myanmmar lewat program ASEAN Corps. ASEAN Corps akan bertindak sesuai prosedur yang diadopsi dari UN Peacekeepers yaitu menjaga perdamaian dan keamanan regional namun dengan tugas tambahan penegakan HAM.



Daftar Pustaka


Bandar Seri Begawan Declaration on the Strategic and Holistic Initiative to Link ASEAN Responses to Emergencies and Disasters, ASEAN SHIELD, 2021. Jakarta: Secretariat of ASEAN dalam https://asean.org/bandar-seri-begawan-declaration-on-the-strategic-and-holistic-initiative-to-link-asean-responses-to-emergencies-and-disasters-asean-shield/ [diakses 27/10/2021]


Khmer Times, 2021. “What does it take to implement ASEAN’s five point consensus on Myanmar” [online]. dalam https://www.khmertimeskh.com/50907246/what-does-it-take-to-implement-aseans-five-point-consensus-on-myanmar/ [diakses 27/10/2021]


Tribun News, 2021. “Menlu Retno Jelaskan 5 Hasil KTT ASEAN Tanpa Kehadiran Perwakilan Myanmar” [online] https://m.tribunnews.com/internasional/2021/10/26/menlu-retno-jelaskan-5-hasil-ktt-asean-tanpa-kehadiran-perwakilan-myanmar [diakses 27/10/2021]


CNN Indonesia, 2021. “Pemerintah Bayangan Myanmmar Minta Diundang ke KTT di Jakarta” [online] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210419092047-106-631527/pemerintah-bayangan-myanmar-minta-diundang-ke-ktt-di-jakarta [diakses pada 27/10/2021]


CNN Indonesia, 2021. “Junta Myanmar Marah Tak Diundang ke KTT ASEAN“ [online] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211026131521-106-712475/junta-myanmar-marah-tak-diundang-ke-ktt-asean [diakses pada 27/10/2021]


Mayers, D. (1983). Eisenhower's Containment Policy and the Major Communist Powers, 1953–1956. The International History Review5(1), 59-83.


Corthay, E. (2015). The ASEAN doctrine of non-interference in light of the fundamental principle of non-intervention. APLPJ.


Goh, G. (2000). The ‘ASEAN Way’. Pacific Review13(3), 439.


Jones, L. (2012). ASEAN, sovereignty and intervention in Southeast Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan.


Leviter, L. (2010). The ASEAN Charter: ASEAN failure or member failure. NYUJ International.


Kipgen, N. (2016). Myanmar: A Political History. Oxford University Press

.

Chin, K. L. (2010). The Golden Triangle. Cornell University Press.


Case, W. (2009). Low-quality democracy and varied authoritarianism: elites and regimes in Southeast Asia today. The Pacific Review22(3), 255-269.


Gunawan, Yordan & Elven, Tareq Muhammad Aziz. (2017). The Urgency of ASEAN Human Rights Court Establishment to Protect Human Rights in Southeast Asia. 6th International Conference on Law and Society


Rachminawati, and K. Azmin Mokhtar. “PROTECTION OF HUMAN RIGHTS IN SOUTHEAST ASIA WITH SPECIAL REFERENCE TO THE ROHINGYA IN MYANMAR: A CRITICAL STUDY OF THE EFFECT OF ASEAN’S POLICY AND ACTION ON ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR)”. Padjadjaran Journal of International Law


Beyrer, Chris, and Adeeba Kamarulzaman. (2017). Ethnic cleansing in Myanmar: the Rohingya crisis and human rights. The Lancet


Roberts, Christopher. (2009). ASEAN's Myanmar Crisis. ISEAS Publishing.


Glassman, Jim. (2020). Lineages of the authoritarian state in Thailand: Military dictatorship, lazy capitalism and the Cold War past as post-cold war prologue. Journal of Contemporary Asia


Smith, Tony. (1978). A comparative study of French and British decolonization. Comparative Studies in Society and History


0 Comments

Leave a comment